Tentang impostor syndrome di tahun pertama PhD dan nasihat dari Rumi
Barangkali masih ada orang yang mengira, lulusan PhD adalah sosok yang jenius. Jika demikian, bagi saya ini adalah mitos yang selayaknya dibongkar hingga ke akar-akarnya. Bagaimana tidak? Pengalaman studi PhD dari tahun 2011-2016, membuat saya justru merasa sebaliknya.
Di tahun pertama studi PhD, ada yang mengatakan mahasiswa PhD biasanya akan mengalami “impostor syndrome” – merasa mereka sebetulnya tidak layak masuk program PhD! Tidak pintar seperti yang lain alias cuma modal keberuntungan. Perasaan “tidak cukup” seperti ini juga pernah singgah di hati saya. Bahkan ada juga teman yang bilang, perasaan itu tak pernah hilang hingga setelah selesai studi sekalipun!
Menghadiri berbagai seminar riset di kampus, menyaksikan penyaji menyampaikan temuan-temuan dan analisisnya tidak jarang membuat saya merasa minder. Mendengar seribu istilah baru dan nama-nama besar para sarjana di bidang saya tak jarang menimbulkan tanya dalam hati. Kok saya belum paham ini ya? Karya si X bisa saya baca di mana ya? Belum lagi kendala bahasa yang masih saya rasakan sebagai pengguna bahasa Inggris sebagai bahasa tambahan. Bisakah saya seperti mereka? Apalagi di semester pertama saat masih ikut perkuliahan metodologi riset, seorang dosen senior berkomentar: “Tulisanmu ini seperti tulisan mahasiswa Sarjana!” Oh tidak!
Saya memungut serpihan rasa percaya diri yang terserak. Perlahan saya yakinkan diri, program PhD ini memang bukan program main-main. Saat ini saya sedang ikut pelatihan intensif agar di masa depan bisa jadi seorang peneliti yang mumpuni.
Seorang penjemput ilmu tidak boleh takut dan jangan benci dikritik. Karena kritik demi kritik itu hadir untuk menempa kita menjadi peneliti yang mumpuni.
Presentasi demi presentasi ilmiah yang harus saya lakukan mengajarkan bahwa meski di satu sisi saya merasa terekspos — mata saya dibukakan atas kekurangan-kekurangan saya, studi PhD berhasil menundukkan hati dan gambaran diri seorang mahasiswa PhD yang konon katanya adalah tipikal high-achiever. Sifat merunduk ini juga penting dalam mempersiapkan mental menghadapi review rekan sejawat dalam proses publikasi ilmiah.
Seorang teman mengutip Rumi dalam akun medsosnya: “If you are irritated by every rub, how will you be polished?” Inilah nasihat yang sengaja saya pampang di atas meja kerja saya di kampus, yang menjadi obat hati saya saat sedang galau terkait riset yang tak kunjung menunjukkan titik terang.

Ya, menerima koreksi dari orang lain sering jadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Apalagi banyak yang bilang mahasiswa PhD rata-rata adalah orang yang ambisius dan percaya diri. Studi PhD betul-betul bisa merekonstruksi gambaran diri seseorang tentang dirinya.
Jauh dari uji kepintaran, PhD adalah uji ketangguhan mental. Apakah kita cukup sabar dan telaten melakukan penelusuran literatur, tangguh menerima kritik, rendah hati memperbaiki segala kekurangan dengan memetik pelajaran dari setiap episode dalam perjalanan studi kita. Tentunya asupan doa dan dukungan nyata dari orang-orang terdekat menjadi amunisi yang tak ternilai harganya.
Selanjutnya, tahun demi tahun yang dilalui dengan penuh peluh dan sesekali segaris senyuman, berjuang memenuhi satu milestone ke milestone berikutnya, membukakan kesadaran betapa manusia itu kecil dan miskin ilmu.
Meraih gelar PhD tidak membuktikan bahwa saya lebih pintar atau lebih jenius dari orang lain. Saya tidak serta-merta jadi manusia super yang bisa menjawab semua pertanyaan tentang sebuah topik, melainkan menjadi manusia yang paham dan mampu menghasilkan desain penelitian yang solid dan sadar akan tanggungjawabnya dalam produksi pengetahuan. Semoga.
*Kontribusi Kanti Pertiwi, alumni PhD Universitas Melbourne, dapat dihubungi di kanti.pertiwi@ui.ac.id
0 Comments