Webinar #PengalamanPerempuan seri 3: Bersekutu Melawan Kekerasan Lewat Keluarga Pro-Keadilan dan Aktivisme Sosial

Published by fara nita on

Episode ketiga dari Webinar Seri #PengalamanPerempuan dalam rangka Hari Antikekerasan terhadap Perempuan dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 November 2020 dapat disimak melalui kanal Zoom dan Youtube @phdmamaindonesia. Narasumber pada episode ini adalah Bapak Nur Hasyim, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo – Semarang dan Ibu Pipin Jamson, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Gajah Mada (UGM) sekaligus mahasiswa PhD di Universitas Melbourne. Selaku moderator yaitu Ibu Amalia Sustikarini, alumni PhD Universitas Canterbury, New Zealand.

Dalam webinar ini, Pak Nur Hasyim atau Mas Boim memaparkan bagaimana bersekutu dengan laki-laki baik di dalam konteks keluarga maupun dalam aktivis di bidang sosial. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), 1 dari 3 orang perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik dan atau seksual dari pasangan selama hidupnya; angka yang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Studi lain sebagai komparasi diketahui bahwa di Indonesia 25% di pedesaan yaitu di Purworejo, 30% di perkotaan yang diwakili Jakarta, dan 59% di Papua, laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik dan atau seksual terhadap pasangannya. Di penelitian yang sama, dari 2500 responden diketahui bahwa 19.5% laki-laki di pedesaan, 26% di perkotaan dan 48.6% di Papua pernah melakukan perkosaan terhadap pasangan maupun non pasangan. Data tersebut mengonfirmasi jumlah perempuan yang mengalami kekerasan dan jumlah laki-laki yang melakukan hal tersebut. Laki-laki yang pada masa kecilnya menyaksikan kekerasan apalagi mengalami langsung hal tersebut, beresiko lebih besar menjadi pelaku kekerasan. Faktor lain yaitu  laki-laki meyakini bahwa mereka memiliki hak atas layanan seksual ada maupun tidak ada persetujuan dari pihak perempuan. Sikap menormalisasi kekerasan, penyalahgunaan alkohol, pola komunikasi yang buruk dengan pasangan, perilaku mengontrol laki-laki terhadap pasangan, memiliki pasangan lebih dari satu, norma sosial yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki dan merendahkan status perempuan, serta lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan juga menjadi alasan-alasan mengapa laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Sebagai upaya untuk menghentikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan, memberdayakan perempuan sangatlah penting. Hal ini juga diimbangi dengan  transformasi laki-laki dan keluarga dan aktivisme sosial bersama laki-laki. Transformasi laki-laki dan keluarga dapat dilakukan melalui dua hal. Yang pertama yaitu transformasi keyakinan laki-laki tentang maskulinitas, yaitu dari keyakinan akan peran gender yang kaku menjadi peran gender yang fleksibel, konsensus, dengan komunikasi positif dalam keluarga. Hal kedua yaitu memberikan kecakapan kepada laki-laki tentang berbagi peran publik, domestik dan pengasuhan anak.

Aktivisme sosial bersama laki-laki dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan melalui promosi norma sosial baru yang lebih egaliter dan anti kekerasan, serta advokasi kebijakan. Antara lain melalui penegakan hukum terhadap kasus kekerasan kepada perempuan, dengan pengesahan perundangan terkait dengan perlindungan perempuan.

Dalam kesempatan webinar ini, Mas Boim memberikan closing statement berupa “Laki-laki harus bersuara melawan kekerasan terhadap perempuan. Karena jika diam, laki-laki pelaku kekerasan mengira bahwa semua laki-laki setuju dengan apa yang mereka lakukan”. Untuk menegaskan betapa pentingnya peran laki-laki bersuara, Mas Boim menambahkan kutipan dari Ali Bin Abi Tholib “Manakala orang-orang yang baik berdiam diri atas suatu kejahatan, maka para pelaku kejahatan mengira tindakan mereka adalah benar dan baik”.

Sebagai pembicara kedua, Mbak Pipin banyak menyampaikan mengenai pengalaman beliau sebagai perempuan dalam melawan kekerasan terhadap perempuan. Mbak Pipin pertama kali menjadi aktivis perempuan dimulai di tahun 2007, dengan bergabung di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) setelah mendapat tugas kuliah untuk membuat sejarah diri. Dari tugas kuliah tersebut, kampus menjadi penting sekali sebagai wadah untuk belajar. Tidak hanya di dalam kelas, namun juga langsung di lapangan bersama praktisi, termasuk NGO dan aktivis lainnya. Sejak kecil Mbak Pipin-pun sudah diajarkan mengenai kebebasan mengutarakan pendapat dan pro keadilan. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesederhanaan dan pendekatan tentang hak anak yang diajarkan di lingkungan keluarga, menjadi alasan yang mendorong Mbak Pipin menjadi seorang Social Justice Warrior (SJW) yang mempunyai nilai kepekaan sosial. Kepekaan sosial Mbak Pipin terlihat saat ada salah satu teman yang dibully karena “kemayu”. Bahkan Ibundanya juga sependapat, seseorang yang mengalami kekerasan di lingkungannya perlu mendapatkan dukungan. Di kemudian hari Mbak Pipin menyadari bahwa lingkungan keluarga memberikan dorongan yang kuat untuk menjadi aktivis yang memperjuangkan kepekaan sosial.

Menjalani kegiatan sebagai aktivis kekerasan terhadap perempuan adalah tidak mudah bagi Mbak Pipin. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti pengelolaan wellbeing sebagai aktivis ketika memperjuangkan hak orang lain. Selain itu, ketika berusaha meng-upgrade diri dengan kuliah PhD di luar negeri yang jauh dari pasangan dan anak. Ketika pasangan mau berkontribusi untuk mengurus anak, itu merupakan salah satu contoh keadilan gender yang sangat praktikal – yaitu berbagi peran di dalam rumah tangga. Pemaparan Mbak Pipin menggambarkan bahwa setiap cerita perjuangan personal sangat berharga untuk didokumentasikan untuk mendukung kesetaraan gender.

Di sesi tanya jawab, Mbak Kanti bertanya pada Mas Boim mengenai pengalaman PhD Mama yang sedang mengumpulkan dukungan untuk melanjutkan sekolah saat sudah mempunyai suami dan anak. Ada beberapa yang kesulitan untuk mendapatkan restu tersebut. Terkait transformasi yang disampaikan tadi, apakah kunci yang dapat menggugah pandangan laki-laki untuk bisa memberikan dukungan terhadap pasangan untuk melanjutkan studi.

Mas Boim menyampaikan bahwa hal yang bisa mendorong laki-laki untuk berubah dapat dilakukan dengan pendekatan reflektif. Yaitu mengajak laki-laki dari cara yang berbeda dari yang mereka hadapi, dan dengan mengingat apa yang mereka ingat tentang ayah mereka. Sebagian dari mereka lebih banyak mengingat tentang hal negatif yang mereka dapatkan dari seorang ayah. Dari ingatan tersebut, dilanjutkan dengan pertanyaan “Apakah Bapak-bapak ingin diingat anak-anak Bapak dengan cara yang sama?” Berangkat dari pertanyaan tersebut, di rumah tangga masing-masing mereka mulai melakukan refleksi dan menerapkan mulai dari hal kecil, seperti turut serta dalam pengasuhan dan pembagian tugas rumah tangga. Dari pengalaman kecil ini, ayah merasa anak menjadi lebih dekat dengan sosok ayah. Ada sesuatu yang akan ayah dapatkan yang berupa insentif ketika mereka terlibat dalam pengasuhan, yaitu berupa kedekatan emosional dengan seorang anak. Hal ini dapat menjadi solusi ketika pasangan ingin mengambil sekolah lebih lanjut. Peluang untuk memberi bekal pada anak menjadi generasi yang lebih baik. Ketika kita mampu menghadirkan generasi terbaik, maka kita juga telah berkontribusi menghadirkan negara yang lebih baik. Sehingga keputusan untuk mendukung pasangan mengambil peluang sekolah lebih tinggi akan berpengaruh penting, tidak hanya untuk pasangan, namun tentu untuk kesejahteraan anak bahkan keluarga. Metode reflektif dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda ini menjadi salah satu formula dalam menghadapi suami yang cenderung resistan ketika istri ingin sekolah lanjut.

Moderator – Ibu Amalia juga menambahkan, bahwa tujuan yang besar seperti turut serta dalam membangun peradaban dunia yang lebih baik juga menjadi motivasi lain yang bisa disampaikan kepada pasangan ketika ingin meminta izin untuk lanjut sekolah.

Dalam kesempatan webinar ini, Mbak Cahya Yunizar yang sedang mengambil kuliah tentang family science juga turut berbagi pengalaman. Di penelitiannya yang dilakukan di Situbondo – Jawa Timur pada pasangan yang mengalami pernikahan dini, diketahui bahwa definisi istri yang baik menurut mereka adalah apabila seorang istri yang bisa menyiapkan makanan dan minuman sebelum dan setelah suami pulang kerja. Definisi yang timbul tersebut membuat orang-orang yang bisa menempuh pendidikan tinggi menjadi merasa bersyukur, karena pendidikan masih menjadi previlege di Indonesia terutama bagi seorang perempuan.

*Artikel ini bersumber dari webinar yang telah ditayangkan di Youtube @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Desi Utami dan diedit oleh Faranita.

Categories: Keluarga

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: