Farahdiba Bachtiar: Tentang Sekolah atau Menikah dan Ibu sebagai sumber Inspirasi
Pada tanggal 19 Desember 2020 lalu phdmamaindonesia (PMI) mengundang dua orang narasumber penting untuk mengenang Hari Ibu di tahun pandemic COVID-19. Dialah Diba, alumni Royal Melbourne Institute and Technology (RMIT) yang hadir bersama ibunda, Dra. Hadijah. Dipandu alumni University of Auckland yang juga dosen di BINUS Business School, Tatum Syarifah, dengan ceria Diba membagi pengalaman studinya dan pilihan-pilihan hidup yang dibuatnya.
Sebagai penerima beasiswa LPDP 2015-2019, Diba menempuh program doktor di Hubungan Internasional (HI) di RMIT, Australia, yang sekaligus merupakan hatricknya menuntaskan linearitas program studi. Dosen UIN Alauddin Makassar itu sebelumnya mengenyam pendidikan HI di Universitas Gajah Mada pada jenjang master dan Universitas Hasanudin untuk jenjang sarjana.
Tentang Pilihan
Diba memilih tidak menunda kuliah yang telah ia cita-citakan. Lepas dari UGM ia pilih Negara Australia untuk membuat karir akademisnya komplit. Memilih untuk kuliah lagi di usia muda bukan tanpa rintangan, ia dihadapkan pada stigma umum masyarakat: menikah atau sekolah. Hal ini menurut Diba semakin terasa karena adat Bugis Makassar yang mempunyai tradisi uang panaik ketika meminang seorang perempuan, dan semakin tinggi kualifikasi seorang perempuan, masyarakat menganggap semakin mahal pula yang panaiknya. Tekanan dari keluarga dan kerabat cukup besar bagi Diba yang saat itu berusia 27 tahun.
Tapi kesempatan tidak datang dua kali, pikir Diba. Maka ketika dorongan kuat dari Ibu yang juga pensiunan Guru SMK tata boga itu merasuki jiwanya, di 2015 Diba mantap memacu usia 27-nya bukan untuk mengarungi mahligai rumah tangga tapi merajut asa di masa tersulit dalam proses belajar formal. Dilakukan di luar negeri lagi, yang sistem pendidikannya tentu berbeda dengan yang sudah ia jalani sebelumnya. Diba benar-benar memilih jalan sepi.
Itulah pilihan hidup seorang Diba. Sebagai perempuan ia mencoba membuktikan keyakinan dirinya untuk menghempaskan asumsi umum tenang beban peran kewanitaan untuk lebih mengutamakan berkeluarga ketimbang menggapai cita-cita menuntaskan pendidikan tertingginya. Diba juga mencoba memupus kekhawatiran pewawancara LPDP tentang ini. Diba seolah berteriak: Pilihan perempuan untuk sekolah bukan sesuatu yang harus dipertanyakan!
Ibu Diba, yang modern dan berfikiran terbuka, menguatkan anaknya yang keras kemauannya dalam menggapai cita. Ibu Diba meyakinkan jodoh akan datang setara dengan hasil pencapaian anaknya. Tidak perlu dikhawatirkan. Alih-alih menghambat ia malah mendorong Diba, karena dalam kamus hidupnya perempuan harus cerdas, berpendidikan tinggi, berdaya dan mandiri. Dengan pendidikan tinggi, perempuan membimbing generasi. Dengan kemandirian, perempuan bisa membantu suami menghidupi keluarga: tidak selalu menggantungkan hidup pada suami.
Di mata ibu, Diba adalah anugrah. Pada anak dengan kemauan yang tinggi untuk mencapai cita-citanya, ia hanya butuh mengarahkannya. Ia tidak pernah waswas terhadap anaknya. Hanya dengan mengamati perilaku kesehariannya, ia yakin Diba bisa menjaga dirinya. Memposisikan diri semestinya. Jauh sebelum ibu Diba dorong untuk studi strata tiga di mancanegara, ia sudah melepas jauh anaknya saat harus melakukan pertukaran pelajar di umur yang sangat belia: 15 tahun.
Studi PhD Perempuan Single
Bulat keyakinan, dorongan ibu, dan dukungan keluarga adalah modal yang mengantarkan kelancaran hari-hari Diba. Dengan itu saja, studinya seolah selesai separuhnya. Diba tidak temukan kesukaran. Kuliahnya lancar dan dosen supervisor membimbingnya dengan baik.
Sedikit kesusahannya: kompromi dalam academic writing. Cara komunikasi Diba dalam bahasa Indonesia sedikit berbenturan dengan efektivitas komunikasi bahasa Inggris yang supervisor anut. Hanya soal academic writing yang membuat jalan sepi yang Diba tempuh kadang menimbultenggelamkan “perasaan sendiri” dan kegalauan tentang apakah ia akan berhasil melewati empat tahun masa sulitnya. Atau sesekali tentang masa depan pekerjaan di Indonesia, sedangkan selebihnya aman.
Cara studi mahasiswa PhD agak sedikit berbeda dengan jenjang master. Umumnya, mahasiswa PhD punya beban lebih untuk fokus pada penyelesaian studi. Itu semua mengalahkan aktivitas glamour lainnya. Jadi walau peluang menuntaskan studi tidak banyak terganggu oleh status keluarga, Diba punya tantangan tersendiri dengan status lajangnya. Berjuang sendiri dan hanya dikuatkan oleh teman sesama PhD diruangannyalah yang menguatkan langkah kakinya selama di Melbourne.
Pencapaian Diba Muda
Diba sadar benar, dalam empat tahun masa PhD, ia harus siap dengan segala kemungkinan terburuknya. Perjalanannya sangat dinamis. Patah hati dan kondisi galau yang sempat menyerang pada masa sulitnya ia tepis dengan prinsip hidup masyarakat Bugis: “kualleangi tallang na taoalia” (pantang biduk surut ke pantai). “Sekali melakukan sesuatu jangan pulang sebelum sukses”, menjadi pegangan Diba memanen hasil-hasilnya.
Diba dua kali mendapat travel grant untuk theory forum di the University of Queensland. Pertemuan itu dihadiri oleh seluruh mahasiswa PhD Australia yang mengambil spesialisasi politik internasional. Sudah barang tentu pencapaiannya telah melalui proses dan ujian yang tidak mudah. Karena kegigihannya menghadapi rintangan studi, Diba sukses menyuguhkan penelitian yang boleh dibilang sangat sensitif dengan mengangkat isu internasionalisiasi BUMN. Studi sosial yang tidak bisa dibilang gampang untuk mengurai benang merahnya termasuk dalam menelitinya.
Tapi Diba punya latar belakang pengalaman. Makanya, PhD thesis diambil dari pengalaman penelitian sewaktu S2. Waktu itu hasilnya telah diterbitkan dalam bentuk buku. PhD thesis yang diajukan dibuat lebih dalam dengan studi kasus yang berbeda namun masih tentang internasionalisiasi BUMN. BUMN Indonesia yang sudah membuka pabrik di Vietnam dan Bangladesh dirasa Diba menarik untuk dibedah dalam PhD Thesisnya. Walapun dana penellitian menjadi tantangan, namun hubungan pertemanan dan koneksi secara personal telah mengantarkan Diba menyelesaikan penelitian yang fokusnya pada kebijakan internasionalisasi yang diusung oleh BUMN Indonesia.
Pada saat studi PhDnya sudah kelar administrasi dan syarat lainnya, ia menemukan cinta sejati untuk menjalani fase hidup selanjutnya. Itulan jalan takdir yang ia capai.
Dalam profesinya sebagai dosen HI di UIN Alauddin Makassar, kini Diba banyak melakukan pengabdian. Ia menghimpun para peneliti muda dalam sebuah forum yang dia inisiasi. Beranggotakan banyak peminat, forum ini telah melakukan banyak event bemanfaat yang dilakukan secara regular dan berseri. Inisiasi forum peneliti muda yang ia gagas tidak lepas dari pengalamanya selama studi di luar negeri. Ia ingin menciptakan atmosfer yang mendukung seperti yang pernah ia temui. Misalnya dahulu di beberapa kampus Diba selalu punya kesempatan mengikuti banyak kegiatan seminar yang gratis, namun dimasa ia menjalani profesinya sekarang ia kurang merasakan situasi yang sama. Maka alih-alih menggerutu yang tidak menyelesaikan masalah, ia berbuat sesuatu sendiri meski mungkin efeknya kecil dan sangat sederhana. Namun inisiasinya ini semakin hari semakin mendapat tempat dan dinilai sebagai gagasan yang bagus.
Pesan Penting
Akhirnya, Diba menegaskan bahwa yang ia jalani bukan keberuntungan, ada doa dan perjuangan di dalamnya. Kepada semua pembaca, jangan pernah berfikir bahwa Diba beruntung dan kisahnya tidak akan terjadi pada yang lain. Diba berpesan bahwa setiap perempuan punya pilihan dan jangan sekali-kali terfokus pada asumsi orang. Apa yang dianggap benar kalaupun berbeda dengan stigma asumsi masyarakat, maju terus selama tidak melakukan hal yang negatif. Jadilah perempuan yang bisa meyakinkan orangtua. Yakinkan mereka dengan perilaku baik supaya orang tua tidak cemas melepas, untuk cita-cita yang digantungkan. Wallohua’lam.
Artikel ini bersumber dari hasil wawancara Tatum Syarifah yang telah ditayangkan pada youtube @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Nanang Zulkarnaen dan diedit oleh Yuhana Astuti.
0 Comments