Liputan Webinar “Perempuan Dukung Perempuan: Bukan Cuma Slogan?”

Sumber: https://youtu.be/JsxnOhWBeSM
Webinar yang telah dilaksanakan pada hari Sabtu, 12 Desember 2020 ini merupakan bagian dari serial Talk Show yang bertajuk #pengalamanperempuan Indonesia yang diadakan oleh komunitas phd mama Indonesia dalam rangka memperingati Hari Ibu 2020. Tema webinar episode kedua ini adalah “Perempuan Dukung Perempuan: Bukan Cuma Slogan?” atau bagaimana sikap saling memberi dukungan bagi sesama perempuan.
Talk show ini dihadiri oleh 5 orang narasumber dengan berbagai latar belakang, yaitu; (1) Eva Nugraheni, lulusan Michigan State University yang saat ini mendalami pendidikan anak usia dini dan menjadi Manajer Keluarga; (2) Sagita Ajeng, seorang profesional di bidang kehumasan, dan juga aktivis Komunitas Single Moms Indonesia; (3) Anis Maris, seorang dosen di Politeknik Negeri Jakarta dan Univesitas Indonesia, sekaligus penggagas Down Syndrome Indonesia; (4) Cut Aja Fauziah, seorang kandidat PhD di Curtin University dengan mendalami bidang keilmuan yang didominasi kaum laki-laki yaitu petroleum and metalurgi tambang , dan (5) Hani Yulindrasari, seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia sekaligus menjadi penggagas Yayasan Aretautama dan pusat pendampingan krisis UPI. Untuk moderator pada acara ini adalah Shanti Nurfianti Andid, mahasiswa master di University of Queensland.
(1) Eva Nugraheni
Eva memaparkan bahwa terdapat beberapa stigma bagi perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi yang pada akhirnya memilih untuk bekerja di rumah. Stigma internal yaitu stigma yang berasal dari tanggung jawab kita kepada orang tua. Adapun stigma eksternal yaitu stigma yang bersumber dari luar, misalnya banyak ibu-ibu yang mempertanyakan, apakah tidak sayang gelar yang kita miliki jika memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja?
Eva menekankan bahwa memutuskan untuk bekerja di rumah bukan berarti gelar pendidikannya menjadi sia-sia. Dengan memutuskan untuk memilih bekerja di rumah membuatnya memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk menemani anak-anak di masa golden age-nya, mempersiapkan mereka menjadi anak-anak mandiri sehingga bisa menekuni bidang keilmuan dan nanti akan bermanfaat bagi masyarakat. Untuk menghasilkan generasi yang baik harus dimulai dari ibu yang baik. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tidak memberikan sumbangsih pada dunia luar. Eva mencontohkan bahwa meskipun di rumah saja, paling tidak dia memberikan dua sumbangsih kepada lingkungan sekitarnya. Pertama, menjadi pengajar bahasa Inggris dengan cara memberikan pembelajaran yang menarik kepada anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya. Ketika di Amerika, Eva mempelajari metode pembelajaran anak usia dini yang bisa diterapkan, yaitu metode pembelajaran story telling yang menarik anak-anak untuk belajar dan pendidikan pra sekolah dengan metode kooperasi, yaitu dengan mengikutsertakan orang tua dalam proses pembelajaran. Kedua metode ini cukup efektif dan penting untuk diadopsi di Indonesia. Sumbangsih Eva yang kedua adalah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan berperan aktif dalam manajemen keuangan RT/RW. Meskipun terlihat remeh, namun peran serta dalam lingkungan sekitar memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi masyarakat di lingkungan Eva. Eva juga memberikan contoh bentuk perempuan dukung perempuan dalam kehidupan bertetangga, misalnya ketika ada tetangga yang dinyatakan positif COVID, Eva dan beberapa ibu di lingkungannya bekerjasama untuk membantu keluarga tersebut dan keluarga yang lain.
Dari paparan yang diberikan Eva membuktikan bahwa mengenyam pendidikan tinggi itu tidak ada yang sia-sia walaupun akhirnya dengan segala pertimbangan memutuskan tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Memiliki pendidikan tinggi tidak harus diteruskan dengan karir yang sesuai dengan pendidikan. Namun juga bisa diterapkan untuk keluarga dan masyarakat lingkungan sekitar. Dengan menjadi ibu rumah tangga tidak hanya fokus di dunia domestik tetapi Eva tetap banyak membaca dan berkomunikasi dengan teman-teman yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama (Pendidikan Usia Dini), serta aktif membagikan ilmu dan pengalamannya di media massa.
(2) Sagita Ajeng
Ajeng merupakan salah satu penggerak Komunitas Single Moms Indonesia. Komunitas ini memiliki komitmen untuk menghargai keunggulan masing-masing anggota single mom, saling memberdayakan, saling support tanpa memperhatikan latal belakang masing-masing. Di komunitas ini ditekankan bahwa sesama perempuan harus saling menghargai, saling dukung tanpa saling menghakimi. Jadi lebih mengutamakan empati kepada yang lain sehingga mengikis stigma negatif tentang single mom.
Ajeng memaparkan menjadi single mom merupakan suatu hal yang berat, khususnya di daerah-daerah di Indonesia. Karena menjadi single mom kadang bukan merupakan pilihan kita. Namun, justru di masyarakat kita terdapat stigma negatif bagi single mom, yang merupakan budaya turun temurun yang tidak perlu dilestarikan. Seorang single mom memiliki kesulitan sendiri, kesulitan keluarga, dan kadang malah dibebani oleh lingkungannya. Banyak anggota dari komunitas Single Moms Indonesia yang dipandang sebelah mata oleh lingkungannya. Sebagai contoh, ada yang pernah ditolak untuk bekerja di suatu perusahaan dikarenakan statusnya sebagai seorang single mom.
Untuk itu, Komunitas Single Mom Indonesia memberikan wadah bagi para single moms di Indonesia untuk saling dukung dan menguatkan. Komunitas Single Mom Indonesia hadir untuk mengembangkan empati kepada anggota yang lain. Kuncinya adalah: Mengembangkan empati untuk mendukung single mom, membahagiakan diri sendiri sehingga aura bahagia ini bisa dibagikan kepada anak. Komunitas Single Mom Indonesia juga mengadakan berbagai kegiatan untuk memberdayai ibu tunggal di Indonesia. Contohnya adalah mengadakan seminar dan workshop tentang financial planner, parenting, dan kuliner. Beberapa kolaborasi yang dilakukan oleh Komunitas Single Mom Indonesia yaitu kolaborasi dengan ahli di bidang kedokteran dan kesehatan, kolaborasi dengan Kitabisa.com untuk memberikan dukungan materi kepada anggota yang mengalami kesulitan finansial di masa pandemi. Seorang single mom tidak boleh lemah, kita harus segera berdiri dan kuat kembali.
AJeng mengharapkan bagi perempuan di luar komunitas Single Moms Indonesia, bisa membantu para single mom, yaitu dengan tidak ikut-ikutan memberikan stigma negatif kepada mereka dan turut memberikan empati dan menghargai posisinya.
(3) Anis Maris
Anis memaparkan bahwa menjadi ibu perlu kekuatan dan ketangguhan, termasuk ketika dalam kondisi yang tidak diharapkan, misalnya memiliki anak dengan kebutuhan khusus (ABK).
Di Indonesia, ada trend tentang standar penilaian menjadi seorang ibu. Misalnya, seorang ibu yang melahirkan normal seolah lebih baik daripada ibu yang melahirkan dengan operasi; seorang ibu yang memberikan ASI penuh merasa lebih baik daripada ibu yang tidak bisa memberikan ASI, seorang ibu rumah tangga penuh merasa lebih baik daripada ibu yang sambil bekerja. Setiap ibu memiliki tantangan masing-masing yang di luar kontrolnya. Namun yang perlu diyakini bersama adalah bahwa setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak dan keluarganya. Anis mencontohkan menjadi ibu dari anak berkebutuhan khusus banyak yang tidak ideal, dimulai dari saat akan dilahirkan, pada saat pemberian ASI dan saat pertumbuhannya.
Anis menekankan bahwa kalau kita menggunakan satu standar ukuran untuk menilai satu ibu itu baik (berhasil) atau tidak, maka akan banyak ibu yang akan dianggap tidak sesuai. Hal tersebut memberikan beban yang berlipat ganda bagi ibu tersebut. Beban pertama, ketika ibu mendengarkan diagnosis bahwa putra/putrinya memiliki kebutuhan khusus. Beban kedua, selama proses merawat dan membesarkan putra/putrinya. Kadang kondisi kesehatan dan tumbuh kembang buah hati kurang optimal, pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat. Selama proses tersebut, ada masanya orang tua menjadi putus asa. Ketika orang lain atau lingkungan sekitar memberikan penilaian yang kurang baik, atau standar tertentu yang sulit dipenuhi karena memiliki anak ABK, tentu akan menjadi beban tambahan bagi ibu tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara keterbatasan anak, parental depression, dan efektifitas pengasuhan anak. Seorang ibu yang memiliki ABK cenderung memiliki persepsi diri yang rendah dan berpotensi mengalami risiko depresi. Ketika seorang ibu mengalami depresi, dapat menghambat pemberian perhatian dalam mengasuh anak. Padahal, pola pengasuhan untuk ABK memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada anak biasa. Kadang-kadang, omongan dari lingkungan sekitar bisa menjatuhkan mental ibu. Untuk itu kita sebagai sesama perempuan alangkah baiknya bisa mendukung para ibu yang memiliki ABK, paling tidak dengan tidak menyampaikan ucapan yang bisa menambah beban mental ibu.
Anis merupakan penggagas Komunitas Down Syndrome Indonesia yang berdiri pada awal tahun 2019. Sebagai platform untuk membantu para orang tua yang lain di Indonesia yang memiliki anak dengan down syndrome, yaitu dengan memberikan informasi yang beragam tentang down syndrome dan cara menanganinya. Contohnya, banyak orang tua khawatir kalau anak dengan down syndrome akan memiliki keterbelakangan mental, padahal tidak. Setelah orang tua memahami tentang hal tersebut, mereka akan lebih siap. Komunitas Down Syndrome Indonesia berusaha membantu orang tua untuk lebih mengetahui apa itu down syndrome dan bagaimana cara pengasuhan yang baik. Ditekankan bahwa seorang anak, bagaimanapun keadaannya, adalah berharga bagi orang tuanya. Orang tua harus yakin bahwa anak kita bisa memiliki penghidupan yang baik kelak. Kuncinya adalah, orang tua harus bisa menerima terlebih dahulu keadaan anaknya.
(4) Cut Aja Fauziah
Cut Aja mengawali paparannya dengan menceritakan tentang ketertarikannya dengan sains yang menjadi dasar beliau memilih kuliah di bidang teknik. Ketika kuliah di luar negeri Cut Aja merasa selalu mendapat dukungan dan tidak pernah mendapatkan diskriminasi dari lingkungannya. Mereka juga tidak memberikan perlakuan khusus dengan alasan gender. Sebagai contoh, ketika Cut Aja harus memanjat tower sebagai kewajibannya jika harus mengambil data ke lapangan. Namun mereka juga akan siap monolong apabila Cut Aja meminta bantuan dalam hal-hal terntentu. Justru selama ini, Cut Aja merasa mendapatkan stigma negatif dari teman-teman perempuan sendiri. Banyak teman yang menganggap remeh karena memilih bidang keilmuan yang didominasi oleh laki-laki, dengan pemikiran harusnya perempuan tidak berkarir di bidang tersebut, selain dianggap sebagai perempuan tomboy.
Cut Aja juga menambahkan di Australia, dukungan kepada perempuan lebih terorganisir. Ada departemen khusus yang menangani perempuan, misalnya jika mengalami perlakuan kurang menyenangkan, atau jika diskrimasi dalam pekerjaan.
(5) Hani Yulindrasari
Hani menjelaskan bahwa manusia, perempuan atau laki-laki, memiliki kecenderungan untuk melakukan komparasi sosial antara dirinya dengan standar ideal yang secara dominan berlaku di masyarakat. Standar ideal yang memicu komparasi sosial, sehingga hampir setiap perempuan merasa dirinya kurang baik, bukan ibu yang sempurna. Selanjutnya, komparasi sosial individu berubah menjadi komparasi sosial kelompok. Mereka melakukan komparasi sosial kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Intinya, komparasi sosial tersebut dilakukan agar merasa dirinya lebih baik. Padahal, masing-masing orang, masing-masing ibu memiliki jalan sendiri-sendiri. Berdasarkan hasil negosiasi antara seorang istri dan suaminya, mereka memutuskan bagaimana cara terbaik untuk keluarga mereka. Sehingga Hani menekankan bahwa pengalaman hidup masing-masing individu adalah spesifik masing-masing individu. Jadi tidak perlu kita membuat standar yang tidak realistis.
Hani menggarisbawahi bahwa pemikiran tentang perempuan bersekolah tinggi adalah untuk mendapatkan pekerjaan merupakan pemikiran kapitalistik. Perempuan bersekolah tinggi seharusnya lebih berpikiran terbuka untuk mempersiapkan diri bagaimana dengan pendidikan tinggi yang dimilikinya dapat memberikan kontribusi baik ke keluarga maupun kemasyarakat. Seharusnya kita sesama perempuan harus saling mendukung dengan menghargai jalan hidup dan keputusan masing-masing. Tidak perlu ada satu standar yang harus dipenuhi oleh semua perempuan. Kuncinya adalah bagaimana bisa belajar memberikan empati dengan kondisi orang lain.
Kesimpulan dari paparan dari para narasumber pada talk show ini antara lain adalah:
1. Setiap perempuan memiliki kondisi dan pengalaman yang beragam. Bersama-sama kita perlu mengembangkan empati, bahwa setiap pengalaman dan keputusan itu unik sehingga perlu dihargai. Setiap orang pasti sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
2.‘Perempuan dukung perempuan’ bukan hanya sekedar slogan, baik dalam skala keluarga, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Kita bisa mendukung perempuan yang lain di sekitar kita. Memberikan empati kepada yang lain, mencari teman-teman yang memiliki kondisi yang serupa, untuk saling menguatkan dan mendukung.
3.Kita tidak perlu membandingkan diri sendiri ke orang lain. Adanya perbedaan adalah manusiawi, tetapi harus berhati-hati dalam menyikapinya.
4.Jika kita belum bisa memberikan solusi dari masalah orang lain sebaiknya jangan menambahkan beban kepada yang lain.
5.Sebagai perempuan kita harus memahami apa yang menjadi kekuatan dan kekurangan kita. Untuk memperkuat kekuatan kita, jangan membandingkan dengan perempuan lain.
6.Perbanyak mendengarkan. Jangan memberikan nasehat kepada orang lain tanpa diminta. Walaupun maksud kita baik tetapi jika kita memberikan nasehat tanpa diminta, mungkin bisa menambah beban bagi yang diberi nasehat.
*Artikel ini bersumber dari webinar yang telah ditanyangkan pada youtube @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Widya Rahmawati dan diedit oleh Yuhanast.
0 Comments