Widya Paramita: Kecilkan yang Besar, dan Besarkan yang Kecil: Resep Menjaga Kewarasan Seorang Ibu sekaligus Mahasiswi S3
Dear Pembaca PhDMama Indonesia,
Perkenalkan, nama saya Widya Paramita, biasa dipanggil Mita atau Widya. Saat ini saya memasuki tahun ke 3 studi S3 saya di School of Marketing, University of New South Wales. Sebelum saya memulai cerita saya, saya ingin menyampaikan bahwa saya tidak lebih hebat dari ibu-ibu di manapun. Semua orang punya tantangan yang berbeda dalam hidupnya, khususnya menjadi ibu.
Sebaliknya, saya sering sekali merasa bahwa banyak hal yang kurang dalam diri saya, sebagai ibu, sebagai mahasiswi S3, dan juga sebagai istri. Saya banyak mendengar dari teman-teman saya mengenai pengalaman hidup mereka, dan saya banyak belajar dari mereka. Itulah yang memotivasi saya untuk menuliskan pengalaman saya menjalani dua peran ganda yang cukup menantang, sebagai ibu sekaligus sebagai mahasiswi S3.
Semua orang punya tantangan yang berbeda dalam hidupnya, khususnya menjadi ibu.
Berawal dari banyaknya pertanyaan, saya beranikan diri untuk menuliskan bagaimana saya bisa menjalani kehidupan saya sebagai seorang mahasiswi S3 sambil mengasuh dua balita, satu anak perempuan berumur 4 tahun dan satu anak laki-laki berumur 1.5 tahun. Saya tinggal di Sydney, Australia bersama dua anak dan suami saya yang juga menempuh Pendidikan S3 di Jurusan Geologi (Earth Science) di University of Wollongong.
Wollongong berjarak kurang lebih 80 km dari Sydney, kira-kira 2 jam perjalanan dengan kendaraan umum. Suami saya ke kampus setidaknya tiga kali dalam seminggu. Berangkat subuh dan tiba di rumah sekitar jam 7 malam. Sama seperti ibu-ibu lain yang punya dua anak balita, tangan ini rasanya selalu penuh, ke kamar mandi dibuntuti balita, jika masak indomie rebus seringkali baru bisa dimakan saat indomie sudah dingin karena terinterupsi dengan permintaan ini itu yang silih berganti, berhadapan dengan mood-swing balita, belum lagi saat anak sakit bergantian. Hal-hal yang sangat umum terjadi pada seorang Ibu.
Yang membuatnya berbeda adalah kondisi kami sebagai pelajar di tanah rantau yang menjauhkan kami dari keluarga dan zona nyaman kami. Keluarga yang selalu siap membantu kapan saja dan tanah air Indonesia dimana barang dan jasa yang relatif serba murah. Hal-hal seperti jasa gojek, jasa asisten rumah tangga, jasa laundry, jasa taksi, jasa pengasuh bayi rasanya bukan barang mewah khususnya untuk masyarakat ibukota. Semua kemewahan dan kemudahan tersebut tidak bisa dirasakan di negeri kanguru. Apalagi kami hanyalah pelajar dengan pendapatan murni dari beasiswa saja.
Sebetulnya saya juga menerima tawaran dari beberapa professor supaya saya mau menjadi tutor di kelas mereka, yang artinya saya bisa mendapat tambahan pemasukan. Tetapi, supervisor saya kurang berkenan dengan ide tersebut. “Tentu saya senang jika kamu menambah pengalaman mengajar sekaligus menambah penghasilan, tetapi itu akan menyita waktumu. Anak-anak di usia balita belum membentuk imunitas yang cukup kuat, apalagi anak-anakmu dititipkan di daycare. Sebagai seorang ibu, kamu tidak sepenuhnya mengontrol waktumu, jadi lebih baik jika kamu memanfaatkan waktumu dengan baik. Kecuali, jika kamu benar-benar membutuhkan tambahan uang. Tapi sekali lagi, itu hanya pendapatku, keputusannya ada padamu.” begitu katanya ketika kusampaikan maksudku untuk menerima tawaran menjadi tutor. Jawaban khas ala barat, tidak menuntut, tidak membatasi, dan sangat diplomatis.
Sebagai seorang mahasiswi dengan beasiswa LPDP dan suami saya mendapat beasiswa dari pemerintah Australia (Australia Award Scholarship), hidup kami berkecukupan untuk gaya hidup yang sederhana. Kami bisa jajan pada saat akhir pekan, beli mainan untuk anak-anak, pergi ke tempat-tempat wisata walaupun tentunya jajan makanan yang sederhana saja, mainan yang tidak mahal, pergi ke tempat wisata dengan mengandalkan annual pass sehingga kami selalu pergi ke tempat yang sama hampir tiap minggu (yaitu kebun binatang). Selebihnya, kami mencoba berhemat dengan selalu memasak setiap hari dan mencoba mengontrol pengeluaran dengan baik.
Mungkin orang bertanya-tanya, kok segitunya sih? Pos pengeluaran terbesar memang pada akomodasi dan childcare yang terbilang sangat mahal di Sydney dan memakan ¾ dari seluruh beasiswa kami. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mengambil tawaran menjadi tutor dan fokus pada pekerjaan saya dan anak-anak. Bukan karena saya takut dengan dosen pembimbing saya, tapi memang begitulah seorang PhD Mama dengan anak balita: “the best plan A that we can make is, to plan a plan B”.

Rutinitas sehari-hari mengantar jemput anak ke daycare
Selain urusan anak sakit, pengasuhan balita yang cukup menantang, pengelolaan uang sehari-hari, perkuliahan dan ujian, serta riset, di kampus saya menemukan satu hambatan lagi. Walaupun secara umum orang-orang di kampus sangat memahami dan mendukung PhD Mama seperti saya, ada juga yang cenderung meragukan dan tidak percaya bahwa seorang PhD Mama mampu menjalani kehidupan sebagai mahasiswi S3 sehingga saya harus menjalani evaluasi tiap semester (mahasiswa S3 pada umumnya hanya dievaluasi sekali setahun).
Saya tidak takut dievaluasi karena saya yakin pada kinerja saya dan tentu saja, dengan bantuan supervisor saya yang bersedia memberikan bimbingan ekstra untuk saya. Tak jarang pula beliau lah yang menyesuaikan waktunya untuk saya. Tuhan Maha Baik telah mempertemukan saya dengan supervisor saya ini. Alhamdulillah saya mampu menjalani evaluasi tahap demi tahap dengan hasil yang cukup memuaskan. Berkat kesabaran dan bimbingan supervisor saya, pada bulan November 2018 yang lalu saya dinyatakan lolos ujian kandidasi dengan minor revision yang cukup melegakan.
Teringat kembali saat saya harus fokus mempersiapkan ujian kandidasi ketika saat itu beban kerja suami saya sedang sangat tinggi, ditambah lagi anak kedua saya sakit cukup lama. Beruntung Bapak Ibu saya masih sehat dan selalu rela berkorban untuk membantu saya. Meskipun harus mengorbankan urusan pribadi mereka, mereka tinggal menemani dan membantu saya selama satu bulan. Pengorbanan mereka sungguh luar biasa.
Walaupun demikian, tentunya menghadapi ujian demi ujian membawa stres tersendiri. Well saya yakin, banyak ibu-ibu yang mengalami stres (tidak hanya PhD Mama). Seringkali dampak stress yang dialami ibu-ibu meluas ke anak-anak dan hubungan rumah tangga. Dalam kondisi kami, resiko tersebut sangat besar mengingat semua anggota keluarga berada pada tingkat stres yang cukup tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa-bisa berdampak pada kesehatan mental anak dan (keutuhan) rumah tangga lho! Lalu bagaimana saya mengelolanya?

Presentasi Proposal untuk Ujian Kandidasi di School of Marketing, UNSW Business School
Saya pun masih belajar dan masih sering gagal mengelola stress. Tapi saya beruntung pernah mengampu 4 kelas parallel mengenai negosiasi bisnis dan khatam membaca the holy book of negotiation yang berjudul “Getting to Yes: Negotiating Agreement without Giving In” sehingga saya hampir hapal isi buku tersebut di luar kepala. Karena pada dasarnya hidup (termasuk berumah tangga) itu soal negosiasi dan komunikasi. Buku ini sangat handy dan practical untuk belajar mengelola hubungan social dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa prinsip yang selalu saya pegang adalah being mindful. Kita harus mengenali kondisi diri kita dan partner kita (suami atau anak-anak). Kita harus sadar dan mengakui kondisi kita, begitu juga suami dan anak-anak.
Ada saatnya dimana anak pertama saya stress karena di daycare ketemu teman-teman yang kurang cocok dengannya lalu menjadi sangat demanding dan cranky di rumah. Bersamaan dengan itu, anak kedua saya yang masih bayi juga stres karena educator (istilah untuk pengasuh di daycare) yang biasa bersamanya di daycare sedang cuti sehingga dia sedih dan sulit tidur di sekolah sehingga rewel karena capek saat di rumah.
Suami yang juga stres dengan studinya, ditambah kelelahan fisik harus pulang pergi ke Wollongong, sampai di rumah disambut seabrek pekerjaan rumah tangga ikutan bete melihat anak-anak yang tampaknya tidak kooperatif. Pada saat-saat seperti ini, sangat besar godaannya untuk kemudian memberikan label bahwa anak kita bandel, anak kita rewel, anak kita nakal, suami kita pemarah! Tapi ketika kita menyadari bahwa semua itu berasal dari stres masing-masing dan keyakinan bahwa Tuhan memberikan kekuatan lahir dan batin kepada siapapun yang dikehendakiNya, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya akan menjadi lebih mudah.
Saat di rumah, saya lupakan masalah saya di kampus. Saya mencoba berempati kepada dua anak saya (terutama) dan mencoba menguatkan suami saya. Mencoba menempatkan posisi saya pada posisi mereka membuat saya urung membentak atau memarahi keduanya sampai-sampai teman-teman saya bertanya: bagaimana kamu bisa sabar menghadapi anak-anakmu?
Ya, kuncinya adalah empati. Saya juga meluangkan waktu untuk bisa ngobrol berdua dengan suami, mendengarkan masalah yang dia hadapi di kampusnya. Memahami bahwa dia membutuhkan seseorang untuk bercerita, tetapi seringkali waktu kami habis untuk anak-anak. Bahkan makan pun kami harus buru-buru dan bergantian. Ada kalanya, saya pun habis kesabaran melihat apa yang dikerjakan suami saya (seperti mencuci piring, mengurus anak-anak) tidak sesuai dengan standar saya lalu saya mengomel.
Saya juga meluangkan waktu untuk bisa ngobrol berdua dengan suami, mendengarkan masalah yang dia hadapi di kampusnya.
Sekali lagi, saya menyadari bahwa dalam kondisi berbeda (saat saya tidak stres) saya tidak akan mempermasalahkan hal kecil semacam ini. Sehingga saya selalu menjelaskan pada suami saya segera setelah saya mengomel, bahwa memang saya berharap pekerjaan dia lebih baik karena dia satu-satunya orang yang saya andalkan, tapi saya minta maaf jika kata-kata saya tidak mengenakkan. Itu semata-mata karena saya pun stres.
Ya, mengakui kekurangan atau kelemahan diri sendiri itu juga penting. Selain itu, penting untuk melihat dan ‘menyalahkan’ situasi dalam artian mengakui bahwa kadang situasi dalam hidup kita memang tidak mudah, bukan menyalahkan orang lain. Penting untuk tetap yakin bahwa keluarga saling menyayangi walaupun kadang ‘meledak’. Penting untuk melihat hal-hal kecil sebagai keindahan yang besar dan melihat kemarahan-kemarahan besar sebagai bagian kecil dari perjuangan menuju kebahagiaan yang lebih besar. At the end of the day, when my husband and my kids sleep next to me and wake up with me in the morning, that’s the biggest spirit to help me face whatever problems in my PhD life.

Menghabiskan akhir pekan di Darling Harbour, Sydney, bersama keluarga tercinta
**Kirimkan cerita pengalaman Anda menempuh studi PhD di negeri rantau ke phdmamaindonesia@gmail.com
0 Comments