Dian Nur Ratri: Tentang homebirth, kolaborasi dengan suami dan mengumpulkan bekal kehidupan di Belanda
Hai Dian, bisa cerita seperti apa pengalaman melahirkan di Belanda di saat yang sama Dian juga sedang studi Ph.D.?
Hai Kanti. Saya berangkat studi ke Belanda bersama keluarga saat usia kehamilan sudah melewati tujuh bulan. Alhasil, di sela-sela kesibukan beradaptasi dengan segala sesuatu yang baru, saya harus mempersiapkan segala keperluan dan juga mempersiapkan mental untuk menyambut kelahiran anak ketiga.
Saya sudah banyak mendengar cerita dari bos yang dulu juga kuliah di Belanda kalau di negeri asal bunga tulip ini bidan berperan sangat besar selama kehamilan hingga proses persalinan. Saya mencari informasi lebih banyak lagi dengan browsing di internet tentang metode persalinan di Belanda yang dikenal konvensional ini.
Saya belajar bahwa kontrol rutin kehamilan dilakukan oleh seorang verloskundige atau bidan, bukan dokter spesialis kandungan. Lalu, jangan berharap USG dilakukan sesering di Indonesia, multivitamin selama kehamilanpun tidak pernah diresepkan. Makan sehat dan seimbang dianggap sudah cukup. Terlebih tentang obat penguat janin, di Belanda sang bidan tidak akan memperkenalkan itu karena kehamilan yang dianggap natural ini berfilosofi bila janin tidak kuat maka tidak usah dipaksaan.
Oke lah, no drugs, aku kan memang sedang hamil, bukan sedang sakit. Ibu hamil pun tetap beraktivitas secara normal. Aku tetap melakukan risetku sebagai mahasiswi Ph.D., tetap menjalankan peran sebagai IRT yang berberes-beres rumah, mengurus anak-anak, bahkan aku tetap bersepeda dan membonceng seperti biasa.
Apa yang mendorong Dian memilih melahirkan di rumah?
Di Belanda dan di beberapa negara di Eropa, melahirkan di rumah adalah pilihan banyak para ibu. Bahkan aku pernah baca bahwa negara Ratu Wihelmina ini tercatat sebagai pelaku homebirth tertinggi di Eropa. Sebelum persalinan, ada daftar kebutuhan lengkap persalinan yang harus dipersiapkan oleh sang ibu sendiri bahkan sampai mencari alat untuk menaikkan tempat tidur agar mempermudah proses persalinan. Kamar tidur pun disulap menjadi kamar bersalin untuk sang ibu dan buah hatinya nanti.
Adakah rasa khawatir?
Cemas dan banyak pikiran sebelum melahirkan pastinya ada. Seperti kekhawatiran bila terjadi sesuatu, maka nantinya saya akan di bawa ke RS mana? Naik ambulan atau mobil si bidankah atau penggil taksikah? Siapa dokter siaganya? Siapa nanti yang akan jaga anak-anak di rumah kalau proses persalinannya malam/dini hari? Dan masih banyak pikiran-pikiran lain di otakku.
Tapi ternyata, setelah semua terlewati, saya bisa bilang ini adalah persalinan paling nyaman yang saya pernah rasakan. Proses persalinan pada musim dingin 2015 pukul lima sore waktu setempat itu Alhamdulillah berjalan lancar. Dukungan keluarga dan teman-teman tidak akan pernah saya lupakan. Mereka sabar menemani hingga saya tidak merasa sendiri meskipun jauh dari keluarga besar di Indonesia.
Selain itu, dua orang kramzorg (perawat) juga siaga mengembalikan kondisi kamar tidur seperti sedia kala, bersih dan siap untuk istirahat di malam persalinanku. Pelayanan bidan dan perawat tidak berhenti begitu saja sampai bayi lahir. Mereka setiap hari tetap datang ke rumah untuk mengecek pemulihan kesehatan ibu dan bayi selama tujuh hari (tapi sebenarnya ini tergantung asuransi yang dimiliki setiap orang).
Bahkan kramzorg selain memeriksa rutin ibu dan bayi (seperti luka bekas jahitan, mengukur suhu badan bayi, dan melihat tekstur feses dan urine bayi serta menghitung frekuensinya) juga membantu menyelesaikan pekerjaan rumah (seperti bersih-bersih, menjemur, dan menyetrika baju) dan bermain-main bersama para kakak. Bidan juga akan membantu menghubungi consultatiebureau (posyandu) terdekat sehingga kami langsung tersambungkan dengan dokter anak.
Setelah proses persalinan, kehidupan saya dan suami yang juga sedang studi S2, kembali berlanjut. Setelah proses persalinan dan menidurkan para kakak, si abah langsung lembur membaca diktat-diktat kuliahnya. Esok harinya, suami harus berangkat ke kampus untuk mengikuti ujian.
Menyenangkan dan sangat mengharukan, jadi satu. Dan, Janeeta Autumn, pemberian Tuhan di musim gugur yang sangat dinantikan pun sekarang berada di tengah-tengah keluargaku. Bidadari ini sekarang sudah bisa kompak bermain bersama para kakak.
Kebahagian dan senyuman mereka adalah semangat menjalani multi peran , saya dan suami di sini sebagai momi dan abah, sebagai “ibu rumah tangga” dan “bapak rumah tangga”, sekaligus sebagai mahasiswa yang sedang menimba ilmu di rantau.

Meski terkadang berat, menjadi kuat untuk anak-anak adalah proses yang kujalani setiap harinya
Bagaimana Dian menjalani peran ganda itu agar studi dan tugas sebagai ibu bisa berjalan sebaik-baiknya?
Ya, saya yakin semua ibu merasakan hal yang sama denganku, berat saat harus berangkat bekerja dan meninggalkan anak di rumah. Lebih berat lagi bila saat membuka akun media sosial yang muncul adalah artikel-artikel yang amat memojokkan wanita yang berkarir, ibu bekerja versus ibu di rumah, menghabiskan waktu delapan jam di kantor? What? Itu ibu atau karyawan? Duh.
Aku yakin semua ibu ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya, tidak ada istilah “sekedarnya”.
Agar semua berjalan baik, ada beberapa pilihan yang harus saya buat. Sehari-harinya, saya berkantor di KNMI (Koninklijk Nederlands Meteorologisch Instituut), yang berlokasi di De Bilt, berjarak satu jam dari Wageningen. Saya sangat beruntung karena dikelilingi teman-teman yang baik, yang bersedia meluangkan waktunya untuk datang ke rumah dan bermain bersama anak-anak. Saya memilih menitipkan anak-anak (di rumah) karena daycare tanpa subsidi sangat mahal di Belanda.
Saya tak bisa mendapatkan subsidi karena status sebagai Ph.D. eksternal, bukan dibiayai langsung oleh universitas. Jadi, mustahil untuk memasukkan anak di daycare. Pilihan daycare di rumah, di mana anak-anak dijaga oleh teman-teman sendiri dengan perhitungan biaya yang sangat kekeluargaan, sangat membantuku. Apalagi Janeeta saat itu masih bayi.
Saat seperti inilah media sosial terasa manfaatnya. Saya dan suami memastikan dari saat sebelum kami berangkat ke Belanda bahwa akan ada teman-teman yang bersedia menjaga anak-anak kami di rumah.
Kami bergabung pada Facebook group PPI Wageningen dan akhirnya terhubung dengan teman-teman di Wageningen yang sudah banyak berpengalaman menjalani kehidupan di sana.
Selanjutnya, ketika nanti anak-anak telah memasuki usia dua tahun, mereka bisa masuk ke kinderopvang dua hari seminggu, pukul delapan pagi hingga pukul satu siang dengan subsidi biaya dari Gemeente (kota madya). Dengan subsidi ini, kami hanya cukup membayar sekitar belasan euro per bulannya. Nantinya anak-anak bisa mendapatkan tambahan satu hari setelah logopedische (terapis bahasa) bertemu dengan anak kita dan melihat perkembangan kemampuan berbahasa Belanda-nya. Anak-anak akan mendapat dukungan lebih untuk belajar bahasa Belanda dengan diberikan ekstra hari di sekolahnya.

Senyum mereka menjadi sumber semangatku
Bagaimana Dian menyiasati quality time dengan anak-anak di sela jadwal yang padat?
Ya, meski anak-anak sudah mulai punya aktivitas sendiri, manajemen waktu tetap berperan penting. Harus ada jatah waktu bermain bersama anak-anak, waktu di dapur, waktu menyelesaikan riset, dan waktu belajar bersama anak. Sampai sekarang saya belum bisa menjaga pola konsisten aktivitas-aktivitas di rumah. Tidak jarang saya terlena saat musim panas dengan matahari yang masih terik sampai pukul 10 malam dan aktivitas-aktivitas yang sudah dijadwalkan pun berantakan.
Idealnya, semua pekerjaan rumah tangga teratasi, bisa mendapat nilai ujian yang bagus, bisa mendapat feedback tulisan yang positif dari pembimbing serta urusan anak-anak yang lancar. Di sinilah kami benar-benar belajar untuk berusaha memanfaatkan waktu seefektif mungkin agar semua berjalan lancar. Saat kami dikejar deadline, waktu sore tetap kami dedikasikan untuk bersama anak-anak, kami lebih memilih bangun lagi di malam atau dini hari untuk menyelesaikan tugas kami, ataupun terkadang setelah anak-anak tertidur dengan lelap.
Kampus juga memberi kami pilihan untuk bekerja di rumah. Asalkan progress bagus, kerja jelas, maka tidak masalah bila satu atau dua hari bekerja dari rumah, di perpustakaan dekat rumah atau di mana saja.
Saat bekerja di rumah, jarum jam rasanya berlari sangat kencang, karena kami harus benar-benar membagi waktu dari mengantar anak sekolah, fokus bekerja saat di rumah dan kembali ke sekolah untuk menjemput anak-anak, dan bermain bersama Janeeta.
Bagaimana dengan tugas-tugas terkait penelitian?
Dalam hal ujian-ujian mata kuliah yang harus dihadapai selama studi di jurusan Meteorology and Air Quality (MAQ), saya beruntung karena tidak harus melewati ujian sit-in. Yang harus saya lakukan adalah memberikan laporan kemajuan kepada promotor dan pembimbingku, melakukan presentasi oral, poster, atau meeting dengan tim penelitianku. Kalaupun ada perkuliahan yang harus diikuti biasanya tugasnya berkelompok. Tapi bukan berarti saya terbebas dari deadline-deadline pekerjaan.
Berbeda halnya dengan suami, ia harus melewati beberapa ujian yang sering kali berdekatan dengan deadline makalah-nya. Dikejar deadline untuk segera submit rasanya memicu adrenalin sampai tingkat dewa. Karena pagi, siang, sore, malam, kami juga dikejar-kejar anak-anak yang sangat ingin menghabiskan waktunya bersama kami.
Bagaimana Dian dan suami berkolaborasi memikul beban rumahtangga sambil sama-sama menuntut ilmu?
Alhamdulillah dengan kondisi rumah yang meriah dengan tawa dan tangisan anak-anak, ia berhasil melewati semua ujian-ujiannya dengan baik. Biasanya kamar anak-anak dijadikannya tempat semedi meskipun tetap sering diketuk untuk sekedar mengganti baterai mobil remot, untuk diajak bermain bola di halaman, atau minta diantar beli es krim di luar.
Saling mendukung, tetap berdoa, berusaha, dan bersabar adalah kunci kami bertahan.
Ya, masih ada beberapa bulan lagi di depan yang harus saya hadapi, apalagi saat ini suami sudah kembali ke Indonesia berhubung studinya sudah rampung dan sudah harus kembali ke pekerjaannya.
Perjalanan saya dan keluarga ini bukan tanpa maksud. Saya berharap perjalanan ini selalu diberkahi Allah SWT sehingga saya dan keluarga bisa menyelesaikan dengan baik semua lakon yang sedang diperankan.
Pulang membawa bekal kehidupan dan pendidikan yang lebih baik.
**Dian Nur Ratri bekerja di BMKG Jakarta sejak tahun 2006. Saat ini Dian sedang menempuh program doctoral di Wageningen Belanda. Sebelumnya Dian mendapatkan gelar masternya dari Melbourne University dan gelar sarjana dari IPB, semua di bidang meteorologi dan klimatologi. Ibu dari tiga anak ini hobi memancing. Kontak: dianuratri@gmail.com
0 Comments