Ika Karlina: Pisang, Kopi, dan Studi PhD di Amerika bersama keluarga
Hai Ika, selamat atas kelulusannya! Boleh cerita, apa saja milestones kandidat PhD di Amerika dan apa pula tantangan di tiap milestone?
Hai Kanti, terima kasih ! Sebenarnya beda-beda tergantung jurusan dan universitasnya ya.. Tapi secara umum seperti ini:
Pertama, kita diminta mengambil mata kuliah (coursework) dulu selama 2-2,5 tahun. Course ini ada yg wajib di ambil di school, ada yg diambil di dalam college yg sama tapi dari school yang berbeda, dan ada yang harus diambil di luar college.
Saya cukup happy dengan sistem ini karena di Amerika akhirnya bisa ambil lintas jurusan dan college. Berhubung riset saya tentang government communication, saya sempet juga ambil course di school of public policy, sejarah, pendidikan, dan jurnalistik.
Nah, biasanya sih tahap ini selesai dalam 2,5 tahun. Kebetulan saya selesai dalam dua tahun saja karena selalu ambil banyak SKS (17-21). Pertimbangan saya karena beasiswa saya dari Fulbright-Dikti yang hanya 3 tahun sengaja ambil banyak tiap semesternya supaya cepat selesai. Saya tidak merekomendasikan cara ini, hehehe, tapi cukup doable. Di sini kalau 4 SKS ya berarti 4 jam pertemuan dan dosen disiplin dengan itu, hehehe.
Setelah course selesai, saya melakukan pertemuan komite disertasi untuk menentukan topik dan bahan bacaan yang harus disiapkan untuk ujian komprehensif. Anggota komite saya ada 4 orang (2 dari school saya sendiri, 1 dr school lain tp masih dalam satu college, dan 1 dari luar college). Saya berada di school of media arts and studies, nah school ini di bawah college of communication yang membawahi enam school, jadi satu komite saya dari school of journalism, dan satu lagi dari school of arts and history (ybs punya spesialisasi sejarah Asia Tenggara).
Setelah pertemuan komite, mereka membagi-bagi tugas untuk ujian kompre saya nanti siapa yang akan kasih soal tentang: 1. metode riset, 2. teori, 3. kajian kekhususan (tentang internet dan society, dan tentang Asia Tenggara). Lalu saat musim panas di tahun kedua, saya ujian kompre. Jadi total ada 4 soal karena masing-masing komite menyiapkan 1 soal.
Di school saya sistemnya: 1 soal (tepatnya 1 topik ya.. karena akhirnya soalnya beranak-pinak), dikerjakan dalam waktu 4 jam, di ruang tertutup dengan komputer tapi tanpa internet dan close-book. Jadi mirip ujian di SMA, hanya bedanya kita di ruangan sendiri dan ngetiknya di komputer. Sistem ujian ini bisa berbeda tiap school. Kuncinya bagaimana menjawab soal dengan baik dalam keterbatasan waktu yang diberikan. Tipsnya sih teman-teman suka membawa pisang dan red bull untuk energy boost saat mengerjakan ujian. Saya sendiri membawa kopi dan pisang, tapi tidak tersentuh saking banyaknya soalnya dan betul-betul 4 jam itu habis untuk mengetik!
Nah, di jurusan saya ada ketentuan 4 soal dikerjakan maksimal dua minggu, jadi saya atur seminggu dua soal, Senin dan Kamis.
Setelah ujian kompre kelar, lalu kita atur pertemuan lagi untuk ujian lisan. Intinya kita mempertanggungjawabkan apa jawaban kita di ujian tertulis. Kalau mereka puas biasanya pertanyaannya tidak akan sulit, teteapi bagi yang tidak puas ya akan bertanya lebih ekspansif. Ini sendiri waktunya sekitar 1,5-2 jam. Setelah dinyatakan lulus, biasanya kita menyebutnya ABD alias Anything but Dissertation.
Setelah itu baru saya mempersiapkan proposal dan ujian proposal. Sedikit perbedaan dalam kasus saya, ketika belajar ujian kompre, advisor (pembimbing utama) saya juga meminta agar saya menulis proposal. Jadi spring semester selesai bulan Mei dan Ujian Kompre bulan Juli . Jadi saya merasakan 1,5 bulan sambil belajar kompre sambil nulis proposal. Gila deh advisor saya, hahaha! Tapi dibalik itu, saya merasa bisa lulus berkat bimbingan tangan dingin beliau.
Belajar ujian kompre itu dari satu orang komite bisa memberi daftar bacaan 8-20 buku+artikel, jadi kira-kira sehari harus bisa selesaikan satu buku deh.. jujur masih tidak terbayang bagaimana saya melakukannya dulu!
Jadi intinya setelah ABD, proposal saya juga sudah siap. Dua minggu setelah ABD, saya ujian proposal. Nah setelah ujian proposal selesai, barulah resmi jadi PhD Candidate.
Jadi di Amerika itu ada istilah PhD student, ABD, PhD Candidate yang menandakan perbedaan progres masing-masing.
Setelah candidacy, saya mengurus revisi dan perijinan dewan etik riset, semua mahasiswa PhD pasti tahu gimana ribetnya dewan etik riset, hahaha!
Nah sambil urus dewan etik itu, saya menyusun rencana kepulangan pengambilan data. Harus selesai dalam 30 hari. Kenapa? Karena ada konsekuensi beasiswa, jika meninggalkan Amerika lebih dari 30 hari, stipend saya tidak dibayarkan hehehe.. Jadi sebelum pulang ke Indonesia saya sudah melakukan pendekatan calon responden dan merekrut asisten untuk teknis pengumpulan data di lapangan.
Saya melakukan survei ke pejabat pemerintahan sejumlah 250 orang dan tiga focus group discussion ke stakeholder pemerintah. Di bulan Desember 2017 pengambilan data selesai, lalu mulai menulis sampai akhir September. November 2018 sidang, dan dinyatakan lulus.
Adakah perasaan ragu saat memulai PhD – mengingat ada suami dan anak-anak yang harus diboyong?
Nggak sih. Alhamdulillah suami mendukung, juga mertua, orang tua, dan kakak ipar. Kebetulan suami saya punya seorang kakak yang sudah tinggal di Amerika lebih dulu.
Tentang anak juga tidak terlalu banyak hambatan karena yang sulung sudah SD, yang kecil waktu itu usia 11 bulan. Saya sengaja mencari apartemen yang lokasinya di seberang public library jadi kalau anak bosan tinggal menyebrang untuk menghabiskan waktu di sana.
Adakah pengalaman terkait rasisme selama di Amerika? Bisa ceritakan? Bagaimana menghadapinya?
Jadi pas saya datang itu kan bertepatan dengan kampanye presiden 2015. Sentimen sih banyaknya di media aja, mungkin karena Athens Ohio itu “rumahnya” Demokrat. Seringnya yang terlihat di media saja, di kehidupkan sehari-hari tidak terasa.
Yang saya suka, kampus saya aktif sekali mempromosikan kelompok muslim. Mungkin karena komunitas muslim di sini lumayan besar. Ada juga yang datang membawa dana yang signifikan dari pemerintahnya untuk belajar, dan mereka seringnya datang bersama keluarga. Yang single perempuan juga harus didampingi kakak/bapaknya.
Nah saat pertama kali datang, sentimen anti muslim sedang tinggi-tingginya karena kampanye politik. Akhirnya kampus saya menggelar forum Ted-ex. Topiknya sederhana, tentang: What does Islam mean to you?
Waktu itu ada dari Afghanistan, Tunisia, Imigran Somalia yang sudah jadi warga negara Amerika, dan saya dari Indonesia. Intinya kita ingin mempromosikan nilai-nilai positif Islam dan membuka forum tanya jawab tentang Islam.
Seru ya? Karena ini pengalaman pertama ngomong di forum Internasional dan topiknya langsung isu sensitif, hehe. Pakai belajar-belajar dulu hahaha dan diskusi plan B jika ada kejadian yang di luar ekspektasi. Tapi alhamdulillah sih responnya positif sekali. Malah ada mantan tentara yang pernah ditugaskan di Irak bercerita bagaimana ada hal-hal yang juga tidak dia sepakati tentang kebijakan pemerintahnya. Buat saya gong-nya adalah komentar dari si mantan tentara itu hehehe..
Lebih lanjut terkait rasisme, yang awalnya saya khawatirkan itu rasisme terselubung. Namanya manusia pasti kita punya stereotype dan persepsi, cuma ya semua itu harus kita buktikan sih. Karena kadang kita mikir A, ternyata bisa B atau C.
Seperti apa Ika mempersiapkan diri dalam hal melamar beasiswa dan mencari kampus? Apa saja tips dan triknya?
Waktu awal cari beasiswa, inginnya ke Australia atau Selandia Baru karena dekat. Cuma dulu ada dorongan dari pimpinan di kampus untuk studi di Amerika karena mereka lulusan dari sana. Saya pernah meminta rekomendasi beasiswa ke salah satu negara, eh tidak diberikan karena orang yang saya mintai rekomendasi itu inginnya saya ke Amerika.
Saya mencoba daftar beasiswa juga ke Australia dan Fulbright tetapi malah untuk Australia saya tidak lolos seleksi berkas. Hehehe.. Fulbright pertama kali coba langsung lolos. Mungkin pengaruh nama besar memberi rekomendasi. Hahaha.
Di Fulbright itu stepnya kita menerima beasiswa dulu baru apply sekolah dan teman-teman bisa browse online juga karena sudah banyak cerita tentang ini.
Boleh cerita sedikit tentang disertasi dan apa manfaat praktisnya?
Disertasi saya menanyakan apakah institusi pemerintah Indonesia memanfaatkan teknologi komunikasi terbaru itu hanya sebagai “alat” (tools) atau sebagai media untuk mentransformasi pemerintah?
Hasil social network analysis dari daily communication, campaign communication, organizational crisis, dan emergency communication yang saya lakukan menunjukkan bahwa institusi pemerintah di sample penelitian saya hanya memakai medsos sebatas alat menyebarkan informasi dan saluran customer service. Ada minim sekali dialog yang terjadi yang bisa mentransformasi pemerintah.
Hasil survei ke petugas pemerintah, khususnya yang menangani medsos, juga menunjukkan bahwa praktik dominannya adalah untuk mendapat perhatian publik dan menyebarkan informasi. Jadi belum sampai ke level untuk membangun dialog dengan warga.
Manfaat praktisnya: riset ini sebenarnya bisa jadi bahan evaluasi government bagaimana kinerja mereka selama ini dalam melakukan komunikasi publik di medsos, faktor apa yang harus dikuatkan, dan apa yang perlu diperbaiki. Salah satunya bagaimana meyakinkan pentingnya dialog pemerintah dan masyarakat untuk mereka yang berada di posisi manajer/direktur di pemerintahan.
Hal apa yang ingin disampaikan untuk perempuan Indonesia yang ingin studi PhD?
Pertama, kan ada pandangan kalau perempuan sekolah tinggi-tinggi nanti nggak dapat jodoh. Yakinlah bahwa jodoh itu sudah ditakdirkan sama Allah bahkan sebelum kita dilahirkan. Jadi nggak usah takut nggak dapat jodoh. Kalau memang ada jalan untuk sekolah, ambil aja.. insha allah jodoh nggak akan kemana. Hahahaha.
Kedua, kalau sudah punya anak, baiknya mungkin dipikirkan lagi untuk PhD di luar negeri. Terutama soal anak-anak, karena mereka ikut merasakan berbagai tantangan ketika ikut ibunya hidup di tempat asing yang tidak ada keluarga. Saya dan suami juga merasakan beban itu ketika akhir pekan tidak bisa banyak melakukan aktifitas karena harus mendampingi anak-anak di rumah.
Selain itu, adaptasi ketika baru tiba dan ketika harus pulang ke tanah air juga menyelipkan tantangan tersendiri. Anak saya yang bungsu sempat stres ketika ikut pulang mengambil data, kaget karena di Indonesia orang-orang mencubiti pipinya karena gemas. Dia menangis sambil teriak: that guy hurts my cheek! Dia merasa dijahatin karena memang di Amerika personal space seseorang lebih luas, jadi nggak pernah ada orang main cubit pipi anak tanpa menanyakan dulu. Itulah kira-kira beberapa hal yang harus dipertimbangkan.
*Ika Karlina Idris adalah lulusan PhD dari Ohio University dan pengajar di Universitas Paramadina.
0 Comments