Ezmieralda Melissa: Tentang durian runtuh, kerja paruh waktu dan dukungan orang-orang terkasih
Hai Ezmi, selamat ya sudah menyerahkan disertasinya. Bisa cerita sedikit apa motivasi awal ingin studi PhD?
Alhamdulillah, terima kasih. Motivasi utama tentu saja terkait pekerjaan sebagai akademisi. Tapi memilih menjadi akademisi pun sebetulnya juga bukan rencana hidup. Awalnya justru ingin kerja di perusahaan karena background studi dulu public relations (PR) dan marketing, tapi Papa (alm) bilang aku seperti cocok untuk jadi pengajar.
Nah, suatu ketika setelah mentok melamar kesana kemari untuk pekerjaan PR tidak ada yang sesuai harapan, akhirnya ikut teachers training dari Cambridge di Indonesia. Dari satu ke lain hal, akhirnya aku ambil S2 dan mendapat kesempatan menjadi dosen di salah satu PTS di Jakarta.
Jujur aja aku suka bagian ngajarnya, karena banyak interaksi sama mahasiswa. Mahasiswa buatku enak jadi teman diskusi.

Berfoto di salah satu lorong kampus University of Western Australia yang bersejarah
Lalu kapan memutuskan ingin studi PhD?
Hmm, ini juga banyak faktor takdir sepertinya. Aku sudah tahu bahwa konsekuensi karir sebagai dosen adalah cepat atau lambat akan ambil PhD. Tapi dulu belum kepikiran kapan waktunya karena saat itu, Papa, orang tua satu-satunya yang masih hidup, jatuh sakit.
Saat itu aku berpikir pokoknya kalaupun nanti PhD, di dalam negeri saja. Aku nggak bisa jauh dari Bapak yang sakit.
Tapi takdir bicara lain. Saat aku hamil besar anak kedua, sudah ambil cuti tapi belum melahirkan juga, aku iseng daftar sebuah konferensi di UI, mempresentasikan makalahku. Kebetulan keynote speakernya salah satu dosen ternama dari Australia, sebutlah beliau Ibu K. Aku ingin sekali ngobrol dengan beliau seusai sesi tapi selalu terselak sama orang lain.
Tapi siapa sangka waktu aku mau presentasi, kebetulan Ibu K masuk ke ruanganku dan mendengarkan presentasiku. Beliau bertanya, ini riset PhD ya? Oh bukan, ini riset Master dengan data yg diperbaharui, jelasku. Dia bertanya apa ada keinginan PhD? Ya aku menjawab apa adanya, sedang hamil besar dan belum ada rencana. Dia tanya lagi, kapan due untuk melahirkan, dan berpesan kalau sudah settle, setelah lahiran, dipertimbangkan aja, “karena saya tertarik jadi supervisormu!” Jujur saja mendengar itu rasanya seperti mendapat durian runtuh!
Tetapi setelah melahirkan, Papa terkena sakit gula dan ginjal, jadi aku masih tidak terlalu antusias memikirkan PhD. Baru kemudian setelah Papa meninggal, terpikir untuk merencanakan sekolah lagi. Mungkin di sini hikmahnya, aku bisa berangkat studi tanpa ada beban perasaan meninggalkan orang tua yang sakit.

Presentasi di Western Australia Indonesia Forum 2017
Selanjutnya?
Ya, akhirnya aku kontak lagi Ibu K. Aku disarankan mencoba beasiswa Australia Awards tahun 2013, dengan memasukkan nama beliau sebagai supervisor. Gagal, bahkan tersandung di seleksi berkas. Kabarnya karena dosen swasta dan bukan di studi yang prioritas, jadi lebih sulit untuk lolos. Kemudian coba LPDP, tapi karena sempat ada kisruh waktu itu LPDP tidak menerima aplikasi dari dosen yang ber NIDN, aku tidak bisa mendaftar. Ya bukan rezeki.
Masuk tahun 2013, aku mempertimbangkan beasiswa Dikti, meski besarannya kecil dan sering terlambat, tapi di sisi lain aku ingin segera merealisasikan peluang dibimbing dosen top seperti Ibu K.
Seperti apa obrolan dengan suami?
Suamiku setuju aja sebetulnya, sudah tahu keinginanku meski belum serius mendiskusikannya. Kebetulan suami juga berkeinginan studi S2 dan semangat berburu beasiswa. Setelah menunggu 5 tahun, aku pun memutuskan untuk ikut berburu beasiswa. Apalagi waktu itu ada informasi bahwa untuk tahun 2 dan 3 Dikti punya kebijakan memberikan tunjangan keluarga, akhirnya aku putuskan untuk mencoba. Alhamdulillah semua mulus dan pertengahan 2014 berangkat.

Dengan anak-anak, suporter paling setia
Respon keluarga besar?
Keluarga suami saat itu sebetulnya kurang setuju, karena takut karir suami di salah satu kementerian terhambat. Bos suami malah berkomentar, “kenapa suami kok ikut istri”, yang sejenis itulah. Cuti 3 tahun dari instansi jadi susah sekali mendapatkannya.
Untungnya, suami lebih memahami kondisiku, aku tidak sanggup kalau tidak ada dia. Saat itu aku sampaikan secara jujur, aku tidak bisa berangkat sendiri, harus membawa anak-anak, karena tidak ada orang tua yang bisa dititipi. Itu artinya, mengandalkan beasiswa saja tidak akan cukup. Suami perlu ikut untuk bekerja dan membantu menunjang hidup yang serba terbatas dengan beasiswa Dikti.
Seperti apa masa adaptasi?
Masa-masa awal bagi kami cukup berat. Lingkungan baru, beasiswa terlambat, cari kerja susah. Itu mengapa dalam 8 bulan progres studiku baru bisa menyelesaikan proposal. Semester kedua dan ketiga kondisi membaik setelah suami dapat pekerjaan.
Meski demikian, dengan kondisi punya anak kecil, banyak juga kesempatan yang harus dilewatkan misalnya seminar atau konferensi, karena harus menjaga anak-anak. Juga dengan kondisi suami kerja shift malam, setiap ada agenda diskusi malam di kampus, aku terpaksa tidak ikut. Aku pernah bertanya apakah boleh membawa anakku ke sebuah acara, jawabannya kurang positif, meski aku lihat ada beberapa kampus yang cukup ramah anak.
Apa tantangan terberat?
Studi PhD ini jujur aja tidak sefulfilling seperti yang aku bayangkan. Aku sering harus menomorduakan ikut konferensi dan menulis artikel jurnal karena harus menjaga anak atau bekerja menutupi kekurangan beasiswa. Dari mulai kerja cleaning, tutoring privat maupun di kampus, apa saja.
Di tahun terakhir, suami pulang karena cuti sudah habis. Semakin sulit rasanya memenuhi target-target pribadi seperti analisa-analisa tambahan dan teori-teori lanjutan.
Dukungan supervisor?
Ibu K sepertinya gemes banget sama aku, karena dia juga menginginkan banyak hal untukku. Tapi beliau selalu positif, bantu menyederhanakan apapun tantangan yang aku hadapi di depan. Supervisorku yang satu lagi yang bagaikan malaikat, sangat perhatian dengan kondisi mentalku. Selalu membesarkan hatiku dan membandingkan bahwa dulu dia menempuh PhD tanpa anak, suami, keluarga, itu saja sudah stres banget.. jadi kamu itu hebat sekali! Itu katanya. Dukungan beliau penting sekali untuk kesehatan mentalku.
Support system lainnya?
Tentunya ada. Komunitas Indonesia di University of Western Australia itu luar biasa banget bantuannya. Suatu ketika aku harus kerja di alumni office untuk beberapa bulan, kerjaan malam, dari jam 6-9, untuk bantu finansial karena beasiswa yang sudah habis. Aku dibantu oleh teman-teman yang menjaga anak-anakku 3 kali seminggu. Buatku, PhD ini adalah atas jerih payah dan kebaikan hati banyak orang.

Teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam suka dan duka
Pesan untuk sesama pejuang PhD?
Ya, perjalanan studi PhD itu berbeda-beda untuk setiap orang. Penting sekali untuk belajar sabar dan tawakkal kepada Allah. Jangan membandingkan diri kita dengan orang lain karena setiap orang menghadapi skenarionya masing-masing.
Studi PhD ini bukan cuma apa yang dihasilkan selama studi dalam bentuk thesis dan publikasi, tapi lebih besar lagi PhD adalah training, pembekalan untuk menjadi ilmuwan yang mumpuni di kemudian hari, juga kemampuan mengelola emosi dan ekspektasi diri sendiri dan banyak orang. Tidak perlu gelisah dan merasa gagal karena mungkin belum bisa mencapai apa-apa yang dicapai orang lain, fokus pada tujuan-tujuan pribadi dan sesuaikan dengan kondisi yang ada.
Ezmieralda Melissa adalah Kandidat PhD di School of Media and Communication, University of Western Australia, dapat dihubungi di ezmieralda.melissa@research.uwa.edu.au.
0 Comments