Habis Gelap Terbitlah Fashion Show?

Published by phdmamaindonesia on

Selamat Hari Kartini!

Simak obrolan saya dengan Mbak Hani Yulindrasari yang belum lama ini kembali dari Australia setelah menyelesaikan studi PhDnya di bidang pendidikan dan studi gender.

Hai Mbak, bagaimana kabarnya setelah kembali ke Indonesia?

Halo Mbak Kanti. Baik, Mbak. Senang bisa kumpul lagi dengan keluarga dan sahabat-sahabat. Tapi jujur saja setelah kembali dari studi rasanya kok saya malah lebih sibuk dibandingkan saat masih studi dulu. Tugas datang bertubi-tubi, hehehe. Tapi ya saya coba jalankan semampu saya karena kan sudah menjadi tanggungjawab profesi ya.

Minggu ini di sekolah-sekolah di Indonesia banyak diadakan peringatan hari Kartini. Apa pengamatan Mbak Hani?

Ya, saya kemarin mendapat edaran dari sekolah, ada permintaan agar anak-anak memakai baju adat spesial hari Kartini. Awalnya saya nggak terlalu memusingkan, tapi kemudian saat saya minta informasi tentang tempat penyewaan baju dan lain-lain baru saya terpikir.. Apa kaitannya ya hari Kartini dengan menyewa baju adat? Akhirnya saya tanya ke gurunya, apa sih nilai pendidikannya fashion show ini? Jawabannya: “ya, supaya anak-anak tahu kebhinekaan di Indonesia..” atau “ya, biar seru aja, Bu..”

Saya lalu menyampaikan bahwa seharusnya hari Kartini itu digunakan untuk merayakan perjuangan Kartini. Apa sih yang diperjuangkan oleh beliau? Ya diantaranya semangat untuk menuntut ilmu dan menggapai cita-cita.

Sekarang kita punya thematic learning di sekolah-sekolah. Kenapa tidak dikaitkan hari Kartini dengan tema nilai-nilai Kartini. Semangat mendobrak tradisi, yang membelenggu pikiran perempuan. Bahwa mereka tidak bisa sekolah apalagi mempunyai cita-cita. Kok dirayakan dengan berpakaian daerah lalu fashion show?

Jadi tidak tepat merayakan Kartini dengan berpakaian daerah?

Pakaian daerahnya sebetulnya tidak ada yang salah. Tetapi kurang tepat jika dirayakan saat hari Kartini menurut saya. Apalagi kemudian dilombakan dalam bentuk peragaan busana. Ini justru mengukuhkan pandangan bahwa perempuan itu harus cantik, harus bisa berlenggak-lenggok dengan menonjolkan keperempuanannya.

Padahal semangat Kartini itu ingin agar perempuan bisa mendobrak ide-ide semacam itu. Semangat perjuangan Kartini jadi hilang. Yang ada selebrasi fisik, selebrasi permukaan.

Pakaian daerah bisa saat perayaan Sumpah Pemuda misalnya, menunjukkan meski berbeda-beda budaya, kita itu adalah satu.

Lalu bagaimana bentuk perayaan hari Kartini yang lebih pas menurut Mbak Hani?

Ya itu tadi. Kaitkan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini. Misalnya dengan literasi, karena Kartini suka membaca. Anak-anak bisa diminta memilih satu buku yang mereka sukai untuk dibawa ke sekolah atau berpakaian seperti tokoh dalam buku itu.

Atau, seperti yang saya usulkan ke guru di sekolah, kalau tetap ingin ada pakai kostum dan fashion show, anak-anak bisa berpakaian profesi, selain pakaian daerah.  Ada yang jadi dokter, tentara, macam-macam. Ini untuk mengajarkan ke anak-anak supaya punya cita-cita yang tinggi. Meski Kartini sendiri sebetulnya tidak berhasil mencapai cita-cita yang tadinya ia impikan ya, sekolah ke Belanda dan lain-lain.

Apa pesan inti yang harusnya disampaikan lewat hari Kartini? Siapa yang harusnya memikirkan hal ini?

Ya untuk konteks pendidikan, hari Kartini lebih tepat untuk menyampaikan pesan, ayo perempuan, kita cinta membaca, jangan takut bercita-cita. Secara nasional, memang belum ada arahan terkait ini. Dulu ya diarahkan oleh almarhum Ibu Tien Suharto, oleh Dharma Wanita, supaya hari Kartini kita berkebaya. Tapi sekarang kan kita tidak lagi hidup di rezim orde baru, seharusnya kita bisa lebih kritis, lebih kreatif dalam melihat cara-cara selebrasi yang jauh dari esensi hari Kartini itu sendiri.

Kalau di sekolah anak saya, akhirnya guru mengontak Kepala Sekolah, dan saya mendapat tanggapan yang baik sekali. Karena Kartini itu tentang cita-cita. Akhirnya anak-anak bisa memilih pakai baju daerah maupun baju profesi. Anak-anak juga terlihat senang bisa pakai baju seperti jadi ilmuwan, polisi, dan anakku sendiri pakai baju dosen, meniru ibunya, hehehe.

Terkait gender, seperti apa sih pendidikan yang perlu diberikan pada anak-anak kita?

Ya, kita harus bisa menanamkan ke anak-anak menjadi perempuan atau laki-laki itu bukan penghalang meraih cita-cita. Termasuk didalamnya kita harus menchallenge ide-ide bahwa hal-hal tertentu itu hanya milik laki-laki atau milik perempuan. Baju ini adalah baju laki-laki, mainan itu adalah mainan perempuan.

Cita-cita tidak punya jenis kelamin. Benda tidak punya jenis kelamin. Permainan tidak punya jenis kelamin. Karena ini cikal bakal dari stigmatisasi dan diskriminasi. Laki-laki pakai baju pink itu banci. Perempuan manjat gunung itu tomboy. Kenapa kita harus berprasangka pada mereka yang ekspresi gendernya berbeda dari definisi gender yang menghegemoni?

Apakah ini tidak kemudian membuat anak-anak bingung gender? Lalu berujung pada meningkatnya homoseksualitas?

Nah, ketakutan semacam ini harus dibongkar. Karena homoseksualitas itu tidak sesederhana itu terjadinya. Kenapa kita berpikir bahwa laki-laki yang senang memasak itu akan jadi gay? Atau perempuan yang suka main bola itu lesbian? Orientasi seksual tidak ada kaitannya dengan peran gender.

Terakhir, bagaimana laki-laki bisa mengambil peran terkait hari Kartini?

Laki-laki punya peran besar bahkan dimasa Kartini sendiri. Contohnya, bagaimana ayah Kartini mendobrak tradisi walaupun mempertaruhkan harkat martabatnya sebagai bangsawan.

Kartono yang memberikan pintu ilmu ke Kartini. Suaminya yang mengizinkan dan membantu Kartini membuka sekolah untuk rakyat. Laki-laki sekarang juga perlu dilibatkan untuk menciptakan gender equality. Dilatih bahwa harga diri tidak tergantung dari kemampuannya menyesuaikan diri dengan peran gender tradisional. Dengan begitu, kedepannya kita bisa menciptakan keadilan. Bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menggapai cita-citanya sesuai potensi yang dimilikinya.

****

*Foto Kartini diambil dari infobiografi.com


phdmamaindonesia

Blog phdmamaindonesia.com digagas oleh Kanti Pertiwi, Ph.D, pada tahun 2016. Blog ini memuat cerita-cerita seputar perjalanan studi PhD serta strategi menjalani studi dari perspektif perempuan. Kirimkan tulisanmu ke Tim Redaksi di phdmamaindonesia@gmail.com

0 Comments

Leave a Reply

%d