PhD Mama Diana: Menuntut ilmu tak cuma untuk ibu tetapi untuk kebaikan keluarga dan masyarakat
Mbak Diana boleh cerita sedikit apa sih yang memotivasi Mbak untuk berangkat studi S3 ke Australia – seperti apa obrolan dengan suami juga kedua putri kecil waktu itu?
Sekolah buat saya adalah perjalanan menuntut ilmu. Tujuannya sudah jelas yaitu menuntut ilmu. Biar ilmunya bertambah untuk ngajari muridnya, karena saya seorang dosen.
Agar juga cukup ilmu untuk memperbaiki masyarakat.
Rencana sekolah S2 dan S3, sudah menjadi salah satu topik saat ta’aruf mau menikah dengan Pak Rizki. Jadi memang sudah menjadi agenda keluarga. Anak-anak diajak ngomong dalam kerangka menuntut ilmu. Mengajarkan mereka untuk mencintai ilmu.

Kenangan 2010 ketika memboyong anak-anak dan suami ke Australia
Apa tantangan pertama yang Mbak temui saat baru memulai studi dan bagaimana Mbak mengatasinya?
Banyak sekali tantangannya, namanya juga pindah sekeluarga, hehe. Mulai dari keterbatasan uang beasiswa untuk menopang hidup sekeluarga, mencari co-supervisor, hingga mencari topik yg tepat dan bisa memenuhi syarat studi PhD.
Cara saya mengatasinya: Pertama, dengan terhubung erat dengan komunitas Indonesia, jadi ada support, termasuk link kerjaan untuk suami dan juga aktivitas-aktivitas sepulang sekolah untuk anak-anak. Kedua, lakukan diskusi intensif dengan supervisor – cari pembimbing pendamping yang respect pada supervisor dan cocok dengan kita.
Banyak yang mengatakan studi PhD itu penuh dengan kejutan, bagaimana menurut Mbak?
Ya, kehidupan PhD itu dinamis. Kita kan mengatur sendiri perjalanan kita, idealisme kita, ritmenya dan lain-lain.
Tapi karena bersama keluarga, yang saya kenang adalah nikmat menghadapi setiap kejutan itu bersama keluarga.
Anak-anak juga bersosialisasi dengan dunia baru yaitu dunia sekolah. Membuat dunia kami penuh warna dan dinamika setiap harinya.
Ketika studi di Melbourne dulu Mbak dan suami berkolaborasi membuka layanan penitipan anak, apa yang melatarbelakangi keputusan itu? Bagaimana pula Mbak menyisihkan waktu untuk riset ditengah kesibukan mengurus keluarga dan juga mengasuh anak-anak yg dititipkan dirumah?
Yang melatarbelakangi keputusan itu adalah bahwa kami mencari pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa mengorbankan idealisme. Idealisme untuk tetap dekat dengan anak-anak kami dan menumbuhkan keluarga bersama. Idealisme untuk bisa mendidik anak-anak tentang nilai-nilai kehidupan dilingkungan Barat.
Bagaimana kami membagi waktu? Kerjaannya kan dikerjakan berdua. Jadi saat saya pergi ke kampus, saat saya mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan PhD saya, suami saya yang mengambil peran utama dalam pekerjaan tersebut.

Membuka layanan daycare adalah upaya kami supaya bisa bekerja sambil menjaga idealisme
Ditahun terakhir studi Mbak Diana kemudian melahirkan seorang putra – bagaimana Mbak mengatur ritme dengan penelitian agar semua kewajiban bisa dipenuhi dengan baik?
Iya anak laki-laki kami lahir saat PhD thesis sudah dipenghujung. Alhamdulillah menjalani semua dengan bahagia aja. Si bayi juga bisa dibawa kemana-mana. Supervisor tidak keberatan saya konsultasi membawa baby… Jadi Alhamdulillah terkendali.
Seperti apa hubungan Mbak dengan supervisor di kampus – kelihatannya mereka adalah sosok yang penuh perhatian? Mengapa bisa demikian – menurut Mbak?
Benar. Saya merasa perjalanan saya menuntut ilmu sangat menyenangkan untuk dikenang karena keempat supervisor saya sangat kompak, solid, sayang dan perhatian. Mereka memotivasi banget selama perjalanan. Bagaimana saya bisa menemukan mereka semua? Saya tulis di buku keroyokan bersama teman-teman :”Merantau ke Australia”.
Mengapa bisa demikian? Ya karena saya beruntung dapat mereka yang memang baik. Lalu selebihnya ya pandai-pandai membawa diri lah. Berusaha membuat progress seperti yang mereka harapkan. Mengenal hal-hal kecil tentang mereka, juga keluarga mereka. Mereka juga mengenal suami dan anak-anak saya. Jadi ada persahabatan lebih dari sekedar hubungan antara murid dan supervisor.

Beruntungnya saya punya supervisor yang perhatian pada saya dan anak-anak
Bagaimana dengan suami dan anak-anak – apa saja yang mereka dapatkan dari 4 tahun mendampingi bundanya studi di Australia?
Banyak sekali. Pertama, mendapat ilmu kehidupan dari negara lain. Tentang sekolah,
tentang mendidik anak, tentang sistem kesehatan, tentang sistem sosial kemasyarakatan, tentang budaya, dan lainnya. Kedua, mendapat kesempatan nabung. Ketiga, mendapat kesempatan berhaji dari luar negeri yaitu dari Australia. Keempat, mendapat kesempatan mengembangkan ilmu: berbagai program di daycare kami berbasis pada ilmu desain dan sinematografi yang dimiliki suami saya. Sebagian program kreatif anak-anak di daycare kami, seperti bikin desain dan bikin film misalnya, dikembangkan dari latarbelakang suami yang pernah bekerja di industri kreatif.
Jika ada seorang ibu yang juga berkeinginan studi PhD di luar negeri, kira-kira saran/tips apa yang Mbak hendak berikan?
Kalau ibu itu punya anak, saran saya, jangan tinggal anak-anak, harus diajak… rugi jika yang belajar hanya ibunya.
Niatkan hijrah ke Australia sebagai jalan dan kesempatan untuk menumbuhkan keluarga. Niatkan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya yang nanti dikembalikan untuk masyarakat.

Kenangan tak terlupakan bisa berangkat haji bersama anak-anak dari Australia
Terakhir, boleh cerita sedikit tentang kesibukan Mbak Diana saat ini terkait penelitian S3 yang lalu?
Satu bulan setelah lulus PhD saya diamanahi memimpin Centre for Public Mental Health di Fakultas Psikologi UGM. Disana saya bisa mengembangkan semua ilmu yang saya pelajari di Australia sekaligua mengembangkan jaringan dengan network yang saya bangun di Australia.
Fokus dari pusat tersebut adalah berkontribusi meningkatkan kesehatan mental masyarakat di Indonesia dengan fokus pada isu-isu seputar: kesejahteraan keluarga, kesehatan mental berbasis sekolah, kesejahteraan di tempat kerja, kesehatan mental di lokasi bencana dan kesehatan mental masyarakat secara keseluruhan.
1 Comment
anbars · November 30, 2019 at 10:53 pm
Masya Allah, inspiratif sekali.
Setuju, sebisa mungkin anak diajak, jangan ditinggal..