PhD Mama Deti: Tentang pilihan untuk studi lanjut dan mendampingi putra berkebutuhan khusus
Halo Mbak Deti, bagaimana ceritanya sampai memutuskan untuk menjalani studi PhD di Queensland bersama keluarga, sambil mendampingi putra yang memiliki kebutuhan khusus?
Pada mulanya terus terang saya kurang berminat untuk mengambil PhD karena sedang menikmati pekerjaan saya sebagai PNS di Bappenas. Namun, kemudian suami saya mendapat letter of offer dan beasiswa LPDP untuk menempuh studi PhD di University of Queensland, Australia yang dimulai pada Januari 2015.
Sejak selesai Master di University of Auckland, New Zealand di 2011, suami memang sangat semangat untuk melanjutkan ke jenjang PhD. Bukan hanya untuk kepentingan pribadinya, melainkan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak, terutama si bungsu yang didiagnosa mild autistic, untuk menikmati kehidupan yang lebih layak.
Saya dan suami menyadari bahwa kehidupan di Jakarta yang sangat sibuk membuat waktu kami untuk anak-anak sangat terbatas. Berdasarkan pengalaman saat kami berdua menjalani kuliah master tersebut, kami bisa berkumpul dengan anak-anak lebih intensif, bisa mengurus mereka sendirian, tanpa mengandalkan bantuan asisten rumah tangga, dan mengawasi mereka lebih baik sehari-hari. Dengan alasan untuk mendapatkan quality time dengan keluarga inilah, suami saya bersikeras mengambil PhD. “Lumayan kan bisa punya waktu 3 sampai 4 tahun intensif mengurusi anak-anak,” kata suami saya.
Setelah suami saya mendapatkan beasiswa PhD, saya mempunyai dua pilihan, yaitu total menjadi ibu rumah tangga selama kurun waktu suami PhD atau melamar PhD juga. Awalnya, saya condong dengan pilihan pertama dengan harapan bisa fokus mengurusi keluarga. Namun, suami saya mengingatkan bahwa saya mungkin stress kalau hanya mengurusi pekerjaan rumah tangga seperti yang dia alami saat tahun pertama kami di New Zealand dulu.
Di samping itu, suami saya menyayangkan kalau otak saya tidak dipakai untuk berpikir lebih serius. Hahaha. Suami juga paham kalau saya fans Drama Korea, makanya beliau khawatir kalau saya menjadi ibu rumah tangga biasa, mungkin saya akan menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal yang tidak produktif seperti nonton Drama Korea, karena rumah akan kosong saat anak-anak sekolah. Hahaha.
Akhirnya dengan pertimbangan untuk bisa selalu berkumpul dengan keluarga dan meng-upgrade skill saya sendiri, saya memutuskan untuk melamar PhD di kampus yang sama dengan suami. Saya juga mendaftar untuk dua program beasiswa, LPDP dan AAS. Bahkan, untuk LPDP, saya ikut dua kali tes setelah gagal di gelombang pertama. Ternyata, pengumuman beasiswa LPDP keluar lebih dulu dari AAS, akhirnya saya mengambil beasiswa LPDP untuk memulai PhD di bidang perencanaan kota di University of Queensland pada Januari 2016.

Quality time bersama keluarga
Lantas, bagaimana proses kepindahan dari Indonesia ke Australia? Bagi anak-anak- terlebih untuk anak berkebutuhan khusus- proses adaptasi mungkin bukan hal mudah untuk dilakukan?
Kami sudah menyiapkan anak-anak sejak mereka masih di Jakarta. Bersama-sama kami google foto-foto calon sekolah mereka di Australia dan seragam sekolahnya. Setelah mereka tiba di Australia, sekolah memberikan kesempatan untuk tur di sekitar sekolah sebelum mereka mulai belajar.
Sekolah juga membantu proses adaptasi ini dengan menugaskan murid-murid di kelas anak kami untuk menyambut anak kami saat hari pertama masuk sekolah. Selain itu, karena mereka berpengalaman tinggal di New Zealand, proses adaptasi bisa dilakukan lebih baik dan lebih cepat.
Saya dan anak-anak pindah ke Australia dalam waktu yang berbeda. Waktu itu karena komitmen pekerjaan di Jakarta, saya baru bisa pindah ke Australia pada akhir bulan Desember 2015. Sementara, anak-anak pindah dari akhir Agustus 2015.
Selama 3 bulan itu suami saya menjadi single parent untuk kedua anak-anak saya. Jadi, tantangan terberat itu justru dihadapi suami saya karena pada saat beliau harus menyiapkan PhD confirmation review-nya, perhatiannya harus terbagi dengan urusan kedua anak kami. Saat saya pindah, otomatis anak-anak sudah settle dengan urusan sekolahnya.
Anak kami yang berkebutuhan khusus berusia 9 tahun ketika pindah ke Australia. Kondisinya jauh lebih baik dibandingkan dengan saat kami sekolah master dulu. Saat itu, dia masih berusia 3 tahun dan kosa katanya masih terbatas. Jadi, masa-masa itu dia sering sekali tantrum karena tidak bisa berkomunikasi dengan baik.
Dengan terapi wicara, anak kami akhirnya bisa bicara dengan baik dan cenderung cerewet. Sifat autis-nya masih kental dengan berulang-ulang cerita hal yang sama. Anak kami juga sangat terobsesi dengan kereta dan pesawat.

Helgi si bungsu penggemar kereta api, saat mendapat surprise birthday treat
Sebagai ibu dari putra berkebutuhan khusus sekaligus mahasiswa PhD, bagaimana membagi waktu antara studi dengan mendampingi keluarga?
Saat ini kami merasa sudah lebih memahami kondisi anak kami, akhirnya waktu untuk mengerjakan tesis pun kami sesuaikan dengan pola rutin kegiatan anak kami. Memiliki anak berkebutuhan khusus, berarti kami harus meluangkan waktu untuk bertemu rutin dengan tim anak berkebutuhan khusus di sekolahnya, mendampingi anak kami saat kegiatan sekolah yang tidak melibatkan teacher aide seperti saat interschool sport yang biasanya dilakukan di luar lingkungan sekolah.
Kami juga harus membawa dia rutin bertemu dokter anaknya untuk memantau perkembangannya. Setiap malam saya juga harus mendampingi anak kami mengerjakan PR-nya. Saat weekend, anak kami juga sering minta jalan-jalan mencoba berbagai jalur kereta api di Brisbane dan sekitarnya.
Biasanya saya dan suami bekerja di kampus saat mereka sekolah. Kami sekeluarga biasanya makan pagi dan makan malam bersama. Namun, ketika deadline tiba, kami juga biasa mengerjakan draft thesis kami di rumah, dan mau tidak mau akhirnya terpaksa anak-anak kami biarkan bermain sendiri, terutama dengan gadget-nya. Kadang-kadang, kami juga ungsikan anak-anak untuk bermain dengan anak-anak teman kami di sini.
Kami juga berupaya mengajarkan anak-anak kami, termasuk si bungsu, untuk belajar mandiri. Contohnya, mereka kami ajarkan untuk berangkat atau pulang sekolah sendiri sejak mereka di bangku SD, baik jalan kaki maupun naik sepeda. Kami juga memasukkan mereka untuk les karate supaya bisa menjaga diri. Alhamdulillah, dengan kondisinya yang terbatas, si bungsu juga bisa mengikuti les karate dengan tekun.
Adakah masalah yang dihadapi anak-anak di sekolah?
Baru-baru ini kami menghadapi masalah terkait bullying. Beberapa teman sekolah anak kami melakukan cyber bullying terhadap si bungsu. Karena social skill-nya yang terbatas, si bungsu sepertinya tidak menyadari bahwa teman-temannya melakukan cyber bullying di Whatsapp Group. Saya bisa tahu adanya bullying ini karena saya memonitor penggunaan media sosial si bungsu.
Setelah saya, suami, dan anak sulung kami berdiskusi untuk menyelesaikan masalah ini, kami memutuskan melaporkan hal ini kepada pihak sekolah. Ternyata, pihak sekolah merespon positif laporan kami dan memastikan bahwa sekolah mempunyai kebijakan zero tolerance terhadap bullying dalam bentuk apa pun dan terhadap siapa pun.

Ameera dan Helgi, si sulung dan si bungsu
Apa saja fasilitas dan layanan yang diberikan pemerintah Queensland untuk siswa berkebutuhan khusus?
Pemerintah Queensland memberikan perhatian yang baik untuk siswa berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus mendapat pengawasan dari tim khusus yang menangani anak-anak istimewa ini. Anak kami juga mendapat bantuan teacher aide dan selalu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sekolah, termasuk school trip ke tempat yang jauh seperti ke Canberra dan New South Wales.
Sekolah membantu mendidik anak-anak berkebutuhan khusus untuk lebih mandiri. Sekolah juga mengijinkan anak kami menjadi anggota Choir tanpa khawatir bahwa anak kami akan mengganggu performance team. Sekolah juga selalu memberikan appresiasi ketika siswa berkebutuhan khusus mencapai achievement tertentu. Terkait kesehatan, asuransi OSHC (Overseas Student Health Cover) juga meng-cover biaya pemeriksaan rutin untuk anak kami.
Jika kelak studi sudah rampung dan kembali ke tanah air, apakah sudah ada rencana selanjutnya untuk meneruskan pendidikan dan fasilitas bagi anak-anak?
Kami berharap untuk dapat terus memasukkan si bungsu di sekolah inklusi. Tujuan kami memasukkan anak kami ke sekolah itu sebenarnya sederhana saja, yaitu memastikan bahwa anak kami bisa berinteraksi dengan anak-anak lain, terutama teman-teman sebayanya, menunjukkan kepada anak kami bahwa di luar dunianya ada dunia orang lain dan dia juga harus belajar memahami dunia tersebut.
Saat ini cita-cita anak kami menjadi masinis kereta, pilot, atau penyelidik kecelakaan pesawat. Jadi tantangan kami nanti saat pulang ke Indonesia adalah mencarikan sekolah yang bisa mendukung cita-cita anak kami tersebut.
Bisa cerita sedikit tentang topik riset yang mbak Deti lakukan? Apa harapan untuk kontribusi riset mbak ke depannya?
Topik PhD saya tentang proses tata kelola dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jika PhD saya sudah rampung, saya akan kembali bekerja di Bappenas dan berharap bisa mengaplikasikan ilmu baru saya, minimal dalam pekerjaan rutin saya karena salah satunya adalah menangani proyek-proyek pembangunan yang dibiayai pinjaman dan hibah luar negeri bilateral. Saya berharap findings thesis saya nanti bisa memberikan kontribusi untuk pelaksanaan pengadaan tanah yang lebih baik di masa yang akan datang.
Ada tips-tips yang hendak dibagikan bagi para mama PhD yang ingin melanjutkan studi sambil membawa anak berkebutuhan khusus?
Tentukan dulu niat utama mengambil PhD, apakah hanya untuk kebutuhan mama atau juga untuk perkembangan anak mama yang berkebutuhan khusus. Apabila niatnya memang sekaligus untuk perkembangan anak mama, berarti mama harus sudah siap dengan konsekuensi-konsekuensinya.
Ada kalanya dibutuhkan negosiasi dengan kondisi anak mama yang membutuhkan perhatian lebih dari mama. Jangan sampai anak mama yang istimewa itu dianggap menjadi batu sandungan ketika menghadapi masalah pelik dengan urusan thesisnya. Sharing kondisi anak mama dengan para supervisor juga sebaiknya dilakukan sejak awal sehingga mereka bisa memahami apabila suatu saat mama mungkin terpaksa mengutamakan urusan anak daripada thesis.
Mengingat anak berkebutuhan khusus biasanya memerlukan perhatian lebih, pertimbangkan pula bahwa mama mungkin membutuhkan partner untuk berbagi tugas selama tinggal di luar negeri. Jangan sampai mama stress atau depresi karena tesisnya maupun urusan anak-anak.
Apabila keadaan memaksa mama menjadi single mother selama menjalani PhD, pastikan bahwa anak-anak dititipkan di daycare yang memang memberikan perhatian sangat baik terhadap anak-anak kita.
Cobalah berikan kesempatan yang seoptimal mungkin dan kepercayaan kepada anak berkebutuhan khusus kita untuk menikmati hal-hal yang dilakukan anak-anak normal lainnya semampu dia, seperti dengan mempercayai dia untuk pergi sekolah sendiri. Terakhir, be the super and happy mom for your beloved special child!

Bersama suami tercinta, Emir Chairullah, belajar serta berbagi tugas mengurus rumah tangga
0 Comments