Annisa Sarah: Proses Melamar PhD by Project

Published by Eka Oktavia Kurniati on

Halo mbak Sarah. Boleh diceritakan terlebih dahulu latar belakang mbak Sarah, seperti pendidikan, bidang keilmuan, dan profesi?

Perkenalkan, nama saya Annisa Sarah, biasa dipanggil Sarah. Saat ini saya sedang menunggu proses keberangkatan ke Norwegia untuk melanjutkan studi S-3 di University of Stavanger mulai bulan April 2021. Sebelumnya, saya menempuh studi S-1 jurusan Teknik Telekomunikasi di Universitas Telkom, Bandung. Saya sempat bekerja di perusahaan swasta selama beberapa bulan, kemudian melanjutkan studi S-2 program studi Wireless Systems di KTH Royal Institute of Technology, Swedia, dengan dukungan beasiswa LPDP. Setelah lulus S-2, saya bekerja menjadi dosen di program studi Teknik Elektro di Unika Atma Jaya, Jakarta. 

Mengapa mbak Sarah tertarik untuk melanjutkan studi PhD?

Sebelum menjawab alasan melanjutkan studi PhD, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai ketertarikan saya di bidang keilmuan teknik telekomunikasi. Sejak SMA, saya berpikir untuk mengambil jurusan/pekerjaan yang bahkan sampai dunia perang pun ilmunya masih digunakan (apakah terlihat berlebihan? Haha). Karena memiliki minat di matematika, pikiran saya terbesit untuk masuk jurusan teknik. Lalu, saya mulai berkontemplasi (ed:merenung/berpikir), kira-kira ilmu apa yang krusial? Nah, ketika sedang perang atau pada kondisi darurat, tentunya yang paling penting adalah komunikasi. Lalu, saya memutuskan untuk mengambil teknik telekomunikasi. Saya pikir itu akan bermanfaat untuk masyarakat karena saya memegang pedoman “Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat”.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa saya ingin menjadi akademisi? Di tahun ketiga dan keempat perkuliahan S-1, saya mulai menyadari adanya ketimpangan antara ilmu yang diberikan di universitas dan yang dibutuhkan di lapangan. Untuk mengatasi hal ini, saya mengambil topik tugas akhir dengan kolaborasi bersama perusahaan penyedia layanan telekomunikasi seluler. Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, saya kaget saat mengetahui data penyebaran fasilitas dan infrastruktur telekomunikasi di daerah lain. Ternyata banyak daerah yang belum terjangkau oleh layanan seluler di tahun 2014. Bahkan sampai tahun 2020 saja banyak masyarakat yang kesulitan menjalani pembelajaran daring. Maka bisa dibayangkan bahwa pada tahun 2014 masih minim sekali akses komunikasi selulernya.

Sejujurnya, minat saya sangat besar di bidang telekomunikasi dan juga bidang pendidikan. Saya bercita-cita untuk menjadi profesor dan tenaga ahli yang bisa membantu pemerataan akses jaringan telekomunikasi dan juga menciptakan generasi-generasi baru yang memiliki semangat yang sama; pemerataan akses telekomunikasi untuk kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia.

Untuk mencapai kesana, PhD merupakan satu tahapan yang perlu saya lalui untuk melatih pola pikir dalam menganalisis, menciptakan hal baru, berinovasi, belajar menyelesaikan masalah, serta memupuk pengalaman dan jejaring penting di skala internasional. 

Bagaimana awal perjalanan mbak Sarah dalam melamar PhD sampai akhirnya mendapatkan kesempatan PhD di Norwegia?

Sejak menempuh pendidikan S-2, saya sudah berpikir untuk melanjutkan S-3 di negara Skandinavia (ed:kumpulan negara-negara yang terletak di wilayah utara Eropa, seperti Finlandia, Islandia, Swedia, Denmark, dan Norwegia) karena saya sangat menikmati tinggal di sana. Selain karena kehidupannya yang sangat work-life balance, egaliter dan keterbukaan akan hal baru merupakan poin penting untuk saya pribadi. Sebagai contoh, waktu pribadi itu sangat dihargai oleh kantor, terutama untuk hal-hal krusial seperti kesehatan anak. Jika anak sakit, membatalkan meeting menjadi hal yang sangat dimaklumi karena kita harus menjemput anak dan mengantar ke dokter. Hal ini pernah dilakukan oleh supervisor saya saat itu. Di Swedia kita juga memanggil profesor hanya dengan nama depan, tanpa “Professor” atau “Sir”. Jika ingin berdiskusi kita bisa datang langsung ke ruangannya dan mengetuk pintu. Selain itu perusahaan dan rekan kerja juga sangat menghargai waktu istirahat untuk keluarga dan melakukan hobi. Pada pukul 5 sore lingkungan kantor sudah sepi dan sangat jarang ada yang lembur karena mereka sudah terbiasa memiliki jam kerja yang efektif dari pukul 8 pagi hingga 5 sore.

Tapi sebelum melanjutkan studi S-3, saya ingin mendapatkan pengalaman kerja sebagai dosen di Indonesia. Pertimbangan tersebut diambil karena saya ingin mempelajari dan memahami kondisi perguruan tinggi di Indonesia dan juga kondisi sektor telekomunikasi di Ibu Pertiwi.

Pada tahun 2018 saya mulai bekerja sebagai dosen sembari mulai mencoba peruntungan melanjutkan S-3 di Skandinavia. Jujur saja prinsip saya saat itu adalah “just apply, no pressure”, karena jika memang belum saatnya diterima saya masih bisa bekerja. Untuk program S-3 di Skandinavia, umumnya dijalankan dengan skema PhD by project/employment, jadi kita mencari job vacancy dari kampus-kampus yang kita tuju, kemudian apply mirip seperti apply pekerjaan di jobstreet. Ketika mendaftar, kita harus mengisi formulir online dan mengunggah dokumen seperti CV, motivation letter, ijazah dan transkrip S-1 dan S-2 yang wajib ditranslasi menggunakan bahasa inggris, list of publications, dan publikasi yang dianggap relevan dengan proyek yang kita apply.

Sejak tahun 2018 sampai 2020 saya mendaftar kurang lebih 11 aplikasi untuk negara-negara seperti Swedia, Finlandia, Jerman, Korea Selatan dan Norwegia. Selama proses persiapan dokumen, saya mencoba berbagai cara untuk memperbaiki aplikasi; khususnya motivation letter atau cover letter. Misalnya, saya meminta bantuan rekan yang sedang menjalani S-3 di Singapura, Amerika Serikat, dan Eropa, untuk membantu peer-review motivation letter. Saya juga pernah mencoba mendaftar program mentoring S-3 yang ditawarkan oleh suatu lembaga, namun sayangnya saat itu ditolak. Saya rasa, proposal yang terlihat belum matang adalah alasan aplikasi saya saat itu ditolak. Tapi menurut saya hal tersebut wajar saja terjadi karena selama apply PhD, saya belum pernah membuat proposal. Untuk mengatasinya, saya sering menonton webinar di YouTube tentang bagaimana menyiapkan motivation letter yang baik. Kebetulan saat itu saya sering mengikuti sharing session dari @America. Untungnya beberapa lamaran PhD by project yang saya ajukan tidak membutuhkan sertifkat bahasa Inggris, sehingga saya tidak perlu menyiapkan diri untuk mengikuti ujian sertifikasi apapun.

Dari sebelas aplikasi yang saya ajukan, hanya ada dua panggilan interview dan satu penawaran kontrak. Pertama kali saya interview di pertengahan 2019, saat itu saya sudah sampai pada tahap akhir namun ternyata belum berjodoh. Waktu itu kondisi saya sedang hamil 5 bulan, jadi mungkin memang sudah takdir untuk di Indonesia dulu saja sampai anak sedikit lebih besar.

Di akhir tahun 2020 saya mendapatkan angin segar karena mendapat panggilan interview dari University of Stavanger. Proses rekruitmen yang dijalankan terdiri dari tiga tahap: pengunggahan berkas, pengerjaan soal untuk shortlisted candidate, dan interview. Para shortlisted candidate diberikan soal yang harus dikerjakan dalam waktu 5 hari, kemudian minggu depannya mengikuti interview. Pada interview tersebut, kandidat mendapat pertanyaan mengenai teori, hasil laporan dari ujian test, dan juga motivasi studi S-3. Alhamdulillah, dari 66 applicants dan 5 shortlisted, saya terpilih untuk proyek tersebut.

Apa saja hal yang membedakan antara PhD by project/employment dengan PhD pada umumnya?

Pelamar program PhD secara umum perlu menyiapkan tiga hal: proposal penelitian, pendekatan/pencarian supervisor dan pencarian funding. Jadi seringkali proposal sudah diterima dan supervisor sudah bersedia namun funding belum ada, atau sebaliknya, funding sudah ada namun belum ada supervisor yang bersedia. Sedangkan pada PhD by project/employment, status PhD dianggap sebagai pekerja/research fellow, khususnya di Skandinavia. Jadi program PhD ditawarkan sebagai suatu pekerjaan, yaitu memiliki proyek yang sudah ditentukan (tidak perlu membuat proposal sendiri), memiliki supervisor yang sudah pasti (tidak mencari sendiri) dengan funding yang sudah pasti juga (tidak perlu dana riset, namun kita digaji bulanan). Sebagai contoh, kontrak saya bersifat temporary yang hanya berlaku selama tiga tahun, sehingga saya harus menyelesaikan PhD saya dalam waktu tiga tahun saja. Selama tiga tahun akan banyak dilakukan evaluasi, misal dalam 3 bulan pertama akan ada evaluasi research planning dan sebagainya. Beban proyek yang dapat diselesaikan dalam waktu tiga tahun sudah disepakati sebelumnya oleh saya dan fakultas secara bersama-sama pada scope proyek. PhD by project/employment sangat bergantung dengan research grant yang didapat oleh supervisor, sehingga sangat minim kemungkinan untuk dapat diperpanjang jika belum selesai.

Tetapi perlu dicatat bahwa PhD by project/employment ini tidak selamanya indah. Pertama, di saat universitas lain mungkin bisa menerima 10 mahasiswa PhD di laboratoriumnya, universitas di Skandinavia mungkin hanya membuka satu posisi/lowongan untuk proyek tersebut, sedangkan pendaftarnya bisa mencapai ratusan. Sehingga bisa dikatakan bahwa kompetisinya cukup sulit. Kedua, jika kita memiliki peminatan topik riset yang kurang umum, lowongan yang ada sangat sedikit sekali, jadi harus sabar dan rajin mencari informasi mengenai lowongan proyek karena tidak semua lowongan sesuai sama yang kita inginkan. Lagipula jika latar belakang kita tidak cocok dengan topik lowongan, kita juga tidak akan dipanggil untuk mengikuti tahap rekrutmen lebih lanjut. Jadi kuncinya adalah ekstra sabar dan selalu punya back-up plan.

Sedikit pesan untuk teman-teman yang ingin mendaftar PhD by project/employment, ada baiknya untuk membuka wawasan terhadap topik yang mungkin bukan topik prioritas kita, karena di masa depan ilmu multidisiplin merupakan hal yang sangat penting. Ada beberapa teman saya yang topik S-1, S-2 dan S-3 berbeda semua, namun justru hal tersebut menjadi kelebihan dan menjadi penjembatan antar bidang ilmu. Walaupun pasti akan berat di awal karena kita harus mengejar ketertinggalan fondasi ilmu tersebut, namun saya pikir mahasiswa PhD itu diterima bukan karena dia sudah pintar, tetapi karena potensinya untuk berkembang dan menyelesaikan proyek disertasi.

Apa saja yang harus dipertimbangkan dalam memilih program PhD?

Menurut saya pribadi ada beberapa hal penting, khususnya jika kita sudah berkeluarga. Terkait kondisi PhD by project/employment di mana kita tidak bisa memilih supervisor, maka yang perlu dipastikan adalah kecocokan topik akan proyek. Topik proyek tidak harus selaras dengan topik S-1 atau S-2 kita. Ketidakselarasan topik membuat kita bisa mencoba sedikit “menjahit” keterkaitan antar topik dan alasan kuat mengapa kita mau mengambil topik S-3 tersebut. Misalnya, topik S-1 saya tentang optimasi teknologi seluler CDMA suatu perusahaan, topik S-2 saya tentang 5G Wireless Systems untuk rural dan remote area, dan topik S-3 saya tentang 5G Network untuk Smart City. Berdasarkan pengalaman S-1, saya menyadari bahwa ada kesenjangan pengetahuan antar universitas dan industri, sehingga perlu ada kerjasama antar universitas dan industri dalam melakukan penelitian. Pada penelitian S-2 saya sadar bahwa ada keterbatasan tertentu pada air interface sehingga sulit untuk berinovasi, dan strateginya adalah membuat algoritma dan perancangan network/jaringan yang adaptif dan efektif untuk kondisi trafik tinggi (kota) atau trafik rendah (rural area).  

Kemudian saya pikir perlu dipastikan bahwa proyek dan program yang kita tuju memang membantu kita untuk mencapai cita-cita di 10 hingga 20 tahun kedepan. Termasuk juga cita-cita keluarga (suami dan anak), apakah akan terbantu dengan studi S-3 kita?. Saya pribadi memang ingin menempuh studi S-3 di ranah pengimplementasian jaringan 5G dan kebetulan mendapatkan tawaran di Norwegia. Suami saya bercita-cita untuk membuat perusahaan sendiri di Indonesia, sehingga ia perlu memupuk pengalaman kerja yang lebih, khususnya di ranah internasional. Selain itu, saya dan suami ingin memberikan exposure internasional kepada anak kami.

Selanjutnya perlu dipertimbangkan mengenai rencana keluarga saat disana, apakah suami akan bekerja? Apakah lingkungan, aturan, bahasa yang digunakan, memungkinkan suami untuk bekerja? Bagaimana dengan anak, siapakah yang menjaga khususnya jika belum umur sekolah? Bagi saya dan suami, kota Stavanger dan Norwegia merupakan tempat yang cukup mendukung rencana kami. Di sana cukup ramah untuk berbahasa Inggris dan kesempatan bekerja untuk suami di ranah IT juga cukup besar. Untuk tempat penitipan anak juga cukup beragam dan aman.

Bagaimana persiapan mbak Sarah untuk membawa keluarga ke Norwegia?

Pertama tentu saja kami mempersiapkan visa atau residence permit yang diperlukan untuk saya, suami, dan anak perempuan kami. Untuk di Skandinavia sendiri, PhD student dianggap sebagai pekerja, sehingga permit yang diberikan ke saya adalah tipe “skilled-workers”. Sedangkan untuk suami dan anak ialah dependent residence permit. Nantinya dengan permit ini, suami bisa bekerja tanpa ada batasan jumlah jam kerja, dan anak akan mendapatkan fasilitas yang sama dengan penduduk Norwegia (berhak mendapat potongan biaya sekolah, uang bulanan, dan sebagainya). Di Skandinavia semua PhD dianggap sebagai skilled-worker dan tidak ada skema PhD biasa seperti di Amerika Serikat atau negara lainnya.

Dokumen yang diperlukan sangat banyak, dan proses yang dilalui juga cukup panjang. Di masa pandemi ini banyak instansi yang memiliki keterbatasan sehingga segala proses dokumen menjadi terhambat. Namun alhamdulillah dokumen kami sudah submitted dan kami hanya tinggal menunggu decision dari imigrasi Norwegia.

Berikutnya tentu saja perlu kesepakatan dan komitmen saya dan suami. Kami sepakat bahwa pada enam bulan pertama di Norwegia suami belum akan mencari kerja dan fokus menjaga dan mengawal proses adaptasi kami bertiga. Saya pikir hal ini cukup krusial untuk meminimalisir konflik saat merantau disana. Terakhir, kami masih perlu mencari baju winter untuk anak kami, kebetulan saya dan suami sudah ada karena kami dulu sama-sama S2 di Swedia.

Boleh diceritakan penelitian apa yang akan mbak Sarah lakukan dan manfaat praktisnya?

Proyek saya berjudul “5G Orchestration” dengan fokus pada optimasi jaringan 5G untuk multi-vendor applications. Orkestra yang dimaksud bukan orkestra pada musik klasik. Teknologi jaringan 5G merupakan perkembangan dari teknologi komunikasi yang dapat mendorong perkembangan industri dan juga kemudahan hidup manusia. Jaringan 5G dapat membantu realisasi Smart-Farming, Industry 4.0, Smart City, Self-Driving Cars, dan lain-lain. Namun, penyedia layanan 5G ini terdiri dari beberapa perusahaan/vendor yang masing-masing memiliki keunikan sendiri. Padahal, teknologi 5G akan maksimal jika dapat terintegrasi satu sama lain. Penelitian saya terkait bagaimana sebaiknya kita menyelaraskan (orchestration) atau mengintegrasi jaringan secara optimal sehingga layanan komunikasi dapat diberikan secara efektif, efisien, aman, dan reliable. Manfaat praktis dari proyek ini adalah untuk membantu rencana realisasi Smart City di Stavanger, Norwegia. Namun besar harapan saya bahwa sepulangnya dari Norwegia nanti, saya dapat membantu Pemerintah dalam merealisasikan konsep smart city di Indonesia dengan memberikan rancangan infrastruktur jaringan telekomunikasi yang efektif, efisien, aman dan reliable.

*Artikel ini merupakan wawancara via email yang ditulis oleh Eka Oktavia Kurniati, dengan editor Amelia untuk blog phdmamaindonesia


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: