Berdamai dengan Diri Sendiri untuk Menjadi Pribadi yang Produktif dan Bahagia

Published by ezmieraldamelissa on

Sebagai seorang perempuan, kita terbiasa untuk menjalankan banyak peran dengan setumpuk tanggung jawab yang saling tumpang tindih. Dan dalam menjalankan setumpuk tanggung jawab ini, kita sering dihadapi oleh berbagai dilema. Di satu sisi kita ingin menjadi pribadi yang produktif, berprestasi, dan kaya kontribusi bagi sekitarnya; di sisi lain, kita juga ingin maksimal melaksanakan peran kita di tengah-tengah keluarga. Kedua hal ini bukan saja dapat membuat seorang perempuan kewalahan, namun juga dapat membuat perempuan kehilangan jati dirinya. Banyak perempuan yang akhirnya memilih untuk mengesampingkan kebahagiaannya dan mendahulukan kebahagiaan orang lain. Padahal seseorang yang bahagia cenderung berpotensi untuk menjadi pribadi yang lebih produktif.

Di tulisan ini, saya hendak berbagi cerita bagaimana saya berupaya untuk berdamai dengan diri sendiri dengan tujuan untuk menjadi pribadi yang lebih produktif dan bahagia.

Seperti yang dialami oleh banyak orang di seluruh dunia, pandemi COVID-19 ini membawa tantangan baru bagi saya. Di tengah-tengah tanggung jawab untuk bekerja dari rumah, saya juga harus turut mengawasi dan memotivasi anak-anak yang menjalankan sekolah secara daring. Kebetulan saya tidak memiliki support system yang kuat dikarenakan orang tua yang sudah tidak ada dan suami yang bekerja jauh di bagian timur Indonesia. Selain itu sudah beberapa tahun terakhir memang kami tidak lagi menggunakan bantuan asisten rumah tangga.

Berbagai survei yang dilakukan mengenai dampak COVID-19 terhadap produktifitas perempuan menunjukkan bahwa pandemi yang memaksa kita untuk bekerja dan belajar dari rumah ini memang lebih banyak memberikan dampak bagi produktifitas perempuan dibandingkan laki-laki. Sebuah artikel yang terbit di Nature pada Mei 2020 menunjukkan bahwa jumlah perempuan peneliti di bidang eksakta yang mengirimkan hasil tulisannya ke jurnal akademis, maupun yang terlibat dalam proyek penelitian baru mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam periode Februari – April 2020. Dan hal inipun juga terjadi pada saya.

Di awal pandemi COVID-19, saya merasa sangat kewalahan dengan situasi baru ini. Tuntutan untuk mempelajari berbagai aplikasi pembelajaran online, rapat dan pertemuan virtual yang tidak lagi dibatasi oleh waktu kerja normal, anak-anak yang berada 24 jam di sekitar saya dan terus meminta perhatian, belum lagi banyaknya informasi mengenai COVID-19 yang perlu saya cerna untuk mempersiapkan diri guna melindungi diri dan keluarga dari penyakit ini; semuanya harus dipepatkan dalam keseharian. Sepertinya tengah hari pun energi saya sudah terserap habis menghadapi seluruh tantangan baru ini.

Di saat bersamaan, sebagai seorang akademisi, saya masih ingin tetap produktif dalam melaksanakan berbagai penelitian maupun menyelesaikan berbagai proyek penulisan yang sudah saya rencanakan. Saya juga ingin merealisasikan beberapa inisiatif pemberdayaan masyarakat yang sudah saya rancang dengan beberapa teman.

Apa mau dikata, pada akhirnya saya terpaksa memilih untuk membatalkan beberapa proyek penelitian, menolak ajakan untuk berkontribusi di forum keilmuan, dan memberitahu editor buku yang saya idolakan bahwa saya terpaksa tidak jadi ikut berkontribusi pada buku yang sedang disusunnya. Hal ini sejujurnya memberikan tekanan emosional tersendiri untuk saya. Karena seperti yang umumnya kita tahu dalam dunia akademisi, perkembangan karir dipengaruhi oleh besarnya produktifitas kita dalam kegiatan penelitian dan penulisan. Rasanya hati sedih dan kecewa. Rasanya diri gagal dan tidak berdaya.

Namun kemudian saya teringat salah satu nasihat terpenting yang diberikan oleh pembimbing saya saat saya studi S3 dahulu:

“Ezmie, you are not competing with anyone. This PhD journey is uniquely you and you alone. You’ll gain so much more when you are focusing on the process rather than thinking too much about the end result.” Nasihat ini yang menyelamatkan saya selama proses penyelesaian studi dulu, dan tampaknya juga nasihat ini yang dapat membantu saya untuk melewati masa-masa sulit saat pandemi ini.

Mulailah saya mengatur ulang skala prioritas saya, kali ini membuatnya dengan benar-benar mempertimbangkan keadaan saya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Saya belajar memilih untuk mengedepankan kebahagiaan saya di atas hal-hal lain. Hal ini juga berarti saya belajar untuk tidak mengharapkan hasil yang sempurna, tetapi berfokus pada melakukan yang terbaik saat prosesnya.

Kepada anak-anakpun saya mencoba lebih santai, lebih mendengarkan kesulitan belajar dan kebosanan yang mereka hadapi saat harus menjalankan pembelajaran jarak jauh. Saya juga menanamkan pada mereka bahwa yang terpenting mereka berusaha yang terbaik di proses pembelajarannya, kalaupun nanti hasilnya tidak sebaik yang mereka harapkan masih ada ruang untuk memperbaiki di lain waktu.

Saya juga berusaha lebih mendengar sinyal-sinyal dari diri sendiri. Apabila diri ini sudah merasa burn out, maka saatnya saya beristirahat. Biarkanlah dulu rumah yang berantakan, pekerjaan rumah anak-anak yang belum selesai, maupun artikel yang belum rampung. Setelah beristirahat, justru saya dapat menyicil tanggung jawab dengan lebih baik.

Dan yang paling utama, saya mencoba berhenti membandingkan diri saya dengan teman-teman. Mungkin si A bisa tetap menghasilkan banyak tulisan walau pandemi, mungkin si B mendapatkan hibah penelitian besar walau harus bekerja dari rumah; iya itu jalan mereka. Jadikan semua itu sebagai inspirasi, bukan kompetisi. Saya berbahagia buat mereka tapi juga menikmati perjalanan saya sendiri, yang mungkin melalui jalan yang lebih berliku.  

Saat ini saya masih dalam proses untuk berupaya berdamai dengan diri sendiri. Mungkin prosesnya masih panjang, namun yang pasti saya sekarang merasa lebih bahagia dan dapat kembali menata untuk menjadi pribadi yang lebih produktif.

*Tulisan ini adalah kontribusi dari Ezmieralda Melissa, seorang dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Swiss German di Tangerang.

Categories: Keluarga

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: