Andin: Motivasi untuk Melanjutkan Studi PhD

Nama saya Andin, mahasiswa PhD tahun ketiga di Australian National University. Sebelum melanjutkan studi S3, saya bekerja di sebuah perusahaan konsultan manajemen rumah sakit di Surabaya selama 8 tahun. Keinginan studi lanjut di luar negeri adalah impian lama saya, yang terus menyala meski sudah bertahun-tahun terlupakan karena kesibukan sebagai ibu dan istri. Keraguan sempat hadir karena saya bukan dosen seperti kebanyakan orang yang melanjutkan studi S3. Pun tidak ada tuntutan dari tempat kerja saya saat itu. Semua murni dari impian dan motivasi internal.
Melalui web PhD Mama Indonesia, saya akan berbagi motivasi dan pengalaman saya menghadapi berbagai tantangan hingga saya berada di posisi saya saat ini.
Semua bermula dari enam bulan sebelum saya menikah, bertepatan dengan saya menyelesaikan tesis S2, ibu saya meninggal dunia. Setelah lulus S2 dan kemudian menikah saya masih belum ingin mempunyai anak. Setahun kemudian saya merasa siap dan langsung hamil. Sayang sekali kehamilan pertama gugur karena adanya endometriosis, yang menyebabkan saya harus menjalani operasi laparotomy. Enam bulan kemudian saya hamil lagi, dan saya merasa bersemangat menjalaninya. Saya mempersiapkan semuanya, termasuk ketika sahabat saya menyarankan untuk mengikuti kelas edukasi menyusui yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Jawa Timur. Singkat cerita, karena merasakan manfaat dari kelas ini dan juga sadar betapa informasi tentang menyusui masih belum tersebar luas, maka saya bergabung sebagai pengurus AIMI Jawa Timur sejak 2012.
Proses menyusui anak pertama (Ayra) diwarnai dengan puting lecet dan berbagai tantangan lain yang umum dihadapi, namun sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan menyusui. Meskipun demikian, saya berhasil menyusui anak pertama saya hingga ia berusia 2,5 tahun bertepatan dengan 8 bulan usia kehamilan anak kedua saya. Saya mengambil pelatihan sebagai konselor menyusui di tahun 2013, saat anak pertama berusia 20 bulan. Anak kedua lahir dan saya merasa lebih percaya diri. Namun Allah menaikkan level ujian saya. Anak kedua lahir dengan kelainan jantung bawaan, sehingga proses menyusuinya kembali mendapat tantangan yang lebih tinggi. Saat usia 10 bulan, Axel menjalani operasi jantung terbuka selama 5 jam di Jakarta. Total perawatan di rumah sakit selama 9 hari. Saya sadar betul bahwa proses menyusui Axel juga sangat membantu proses penyembuhannya.
Pengalaman kerja dan juga pengalaman pribadi ini yang membuka mata saya bahwa, sayangnya, tidak semua rumah sakit dan tenaga kesehatan mampu dan memiliki kebijakan yang mendukung menyusui. Sempat gagal di tahun 2016, akhirnya saya lulus sebagai konsultan laktasi internasional dari IBCLC (International Board-Certified Lactation Consultant) pada tahun 2017, bersamaan juga dengan proses pencarian beasiswa dan calon supervisor. Motivasi saya saat itu murni ingin mencari tahu kenapa rumah sakit tidak semua menerapkan kebijakan mendukung menyusui dan bagaimana saya dapat berkontribusi di bidang itu. Mendukung menyusui tidak sekadar menuliskan slogan bahwa RS mendukung menyusui, namun ada praktik-praktik yang wajib diterapkan di rumah sakit, seperti prosedur inisiasi menyusu dini (IMD) minimal selama 60 menit pasca melahirkan dan prosedur rawat gabung bagi bayi sehat (merawat bayi dan ibu dalam satu ruangan yang sama). Praktik-praktik tersebut tidak dapat dilakukan jika tenaga kesehatan dan manajemen RS tidak paham bagaimana dan mengapa praktik itu penting untuk dilakukan.
Meski saya memiliki motivasi yang kuat melanjutkan studi S3, namun saya tetap dilanda ketidakpercayaan diri, karena saya bukan dosen sedangkan kebanyakan teman-teman mahasiswa S3 mayoritas adalah dosen. Meski demikian, motivasi saya tetap tinggi, sehingga saya terus mencari calon supervisor dan juga beasiswa. Suami mendukung saya, meski dia tidak tahu secara detail mengenai prosesnya. Melalui upaya pencarian, saya mendapatkan dua calon supervisor di tahun 2016, namun sayangnya saya gagal mendapatkan beasiswa di tahun tersebut. Kemudian saya mencoba lagi di tahun 2017 dan dinyatakan lulus. Salah satu dari dua calon supervisor yang telah saya dapatkan ternyata tidak bersedia melanjutkan proses karena kontrak kerjanya saat itu sudah habis. Namun saya tetap melanjutkan proses dengan supervisor yang satunya. Keberhasilan mendapatkan beasiswa itu benar-benar tidak kami sangka, termasuk suami saya pun terkejut.
Setelah melalui diskusi panjang dan berat, saya dan suami sepakat untuk berangkat bersama langsung dengan kedua anak saya. Suami memiliki usaha di Surabaya, sehingga sesuai kesepakatan kami, dia akan pulang ke Indonesia setiap dua bulan. Saat itu saya masih menyusui Axel usia 3 tahun, dan saya membatalkan rencana menyapihnya karena tahu akan butuh adaptasi besar sesampainya di Australia. Berangkat berempat langsung dengan suami dan anak-anak mempunyai dampak positif dan negatif. Di satu sisi saya menjadi merasa terus mendapat support selama masa awal penyesuaian menjadi mahasiswa doktoral. Namun di sisi lain kami berempat menempuh proses penyesuaian yang berat dan butuh usaha yang lebih besar. Alhamdulillah kami mendapat bantuan dari mahasiswa PhD senior yang sudah lama tinggal di Canberra. Bila suami harus pulang ke Indonesia setiap dua bulan supervisor saya mengijinkan saya bekerja dari rumah atau membawa Axel ke kantor. Di situ saya merasa beruntung bahwa ANU mempunyai kebijakan yang ramah keluarga.
Bagi saya, perjalanan PhD ini bukan hanya proses pembelajaran bagi saya secara akademik saja, namun juga bagi saya secara personal, bagi suami dan juga anak-anak. Kami berkesempatan berkembang bersama, menghadapi tantangan bersama tanpa bantuan keluarga besar. Tips yang bisa saya bagikan untuk teman2 pejuang beasiswa S3 melalui web ini adalah:
- Tentukan negara tujuan. Saya memang menargetkan negara maju dengan asumsi (saat itu) bahwa kebijakan menyusuinya pasti sudah bagus (yang mana sekarang saya ketahui itu belum tentu benar). Pilihan jatuh ke Australia karena saat itu supervisor yang saya incar ada di Australia (meski sekarang beliau bukan sebagai supervisor utama saya) dan juga dengan pertimbangan Australia tidak terlalu jauh dari Indonesia.
- Cari supervisor yang ahli dalam bidang yang dituju. Poin 1 dan 2 bisa dilakukan secara bersamaan.
- Susun proposal penelitian yang lengkap namun singkat, karena calon supervisor pasti tidak punya banyak waktu untuk membaca berlembar-lembar. Tips menulis proposal penelitian juga bisa ditemukan di banyak website.
- Menemukan motivasi internal sangat penting karena pendidikan S3 merupakan perjalanan panjang, sehingga menurut saya butuh motivasi internal yang kuat.
0 Comments