Lady Mandalika: Berjuang dengan Disertasi di Tengah Pandemi

Published by ladymandalika on

Pandemi Covid-19 mempengaruhi kita semua secara global. Namun dampaknya tidaklah sama pada semua orang. Banyak kelompok marginal yang hidupnya menjadi lebih rentan dan beban hidupnya semakin berat akibat pandemi. Bagi peneliti perempuan, pandemi menciptakan tantangan yang berbeda dan beban yang semakin berlapis. Padahal di masa normal pun tugas sebagai mahasiswa PhD yang dikombinasikan dengan peran dan tanggung jawab untuk mendampingi keluarga baik secara dekat maupun dari jauh sudah cukup berat.

Dalam situasi krisis ini peneliti perempuan menghadapi jurang perbedaan dalam peluang dan kesempatan. Pandemi yang tiba-tiba melanda ikut merubah perencanaan penelitian kita karena pembatasan sosial berskala besar. Aturan lockdown membuat rumah menjadi pusat tempat seluruh aktivitas baik kegiatan rutin harian, penulisan karya, bekerja, maupun sekolah anak. Situasi ini menjadi tantangan yang cukup besar bagi seorang peneliti perempuan. Seringkali peneliti perempuan tidak hanya menjalankan tugas penelitian dan penulisannya tetapi juga ikut mendampingi anak yang belajar secara daring dan ikut mengajar, membantu mereka untuk bisa menyesuaikan diri dengan situasi pandemi, serta mengurus kebutuhan harian rumah.  Sungguh beban yang tidak mudah, terlebih apabila pasangan kita tidak berbagi tugas domestik dan pengasuhan. Beban berlapis ini turut mempengaruhi kesehatan mental para peneliti perempuan. Lalu bagaimana dampaknya terhadap publikasi dan penelitian perempuan?

Sebuah artikel di jurnal akademik internasional memperlihatkan data bagaimana publikasi perempuan akademisi lintas disiplin ilmu mengalami penurunan dan jumlah riset yang dilakukan oleh peneliti perempuan lebih sedikit jika dibandingkan para akademisi laki-laki di tengah situasi pandemi [1]. Meskipun metode analisis berdasarkan database nama pada preprint server populer memiliki  keterbatasannya sendiri seperti yang juga dijelaskan oleh penulis dalam tulisannya, tapi paling tidak artikel tersebut memperlihatkan sedikit informasi bahwa peluang dan tantangan untuk peneliti perempuan dan peneliti laki-laki di masa pandemi ini tidaklah sama.

Menurut saya artikel tersebut paling tidak menyadarkan kita untuk memikirkan kembali tantangan kita sebagai peneliti perempuan dalam situasi krisis seperti pandemi ini. Menyelesaikan disertasi penting tetapi kesehatan mental juga tidak kalah pentingnya. Menurut saya berjuang dengan disertasi di masa pandemi ini membutuhkan strategi berbeda dan kita perlu mencari keseimbangan yang sehat. Pertama-tama kita perlu menegosiasikan kembali pembagian peran domestik, pendidikan dan pengasuhan dengan pasangan. Bagi para peneliti perempuan yang telah berpasangan dan memiliki anak, langkah ini sangatlah penting. Kita perlu secara jujur dan berani mengungkapkan kepada pasangan tentang kesulitan kita membagi waktu karena beban pekerjaan domestik, pengasuhan dan pendidikan yang tidak seimbang. Apabila sebagian waktu pengasuhan dan pendidikan pada masa sebelum covid bisa berbagi dengan sekolah dan orang lain dari luar rumah, kini tanggung jawab tersebut hanya dapat dibagi diantara pasangan atau orang serumah. Dengan negosiasi ini kita bisa mencari jalan keluar bersama. 

Melibatkan anak dan pasangan dalam menyusun waktu kerja, belajar dan kegiatan harian lainnya merupakan salah satu strategi yang bisa kita terapkan.

Pada masa awal saya memulai PhD, saya merasa 4 tahun adalah waktu yang cukup panjang bagi saya untuk menyelesaikan studi. Lalu ketika menyusun rencana kerja selama 4 tahun secara lebih detail, saya menjadi sadar kalau waktu 4 tahun adalah waktu yang singkat dan harus dipergunakan semaksimal mungkin. Dengan berbagi rencana  kerja PhD, semua anggota keluarga bisa saling menyesuaikan rencana aktivitas bersama untuk dapat saling mendukung kelancaran. Apabila pada masa sebelum pandemi jadwal ini saya rancang sendiri dalam konsultasi bersama supervisor, maka pada masa pandemi ini rencana tersebut harus saya susun juga bersama keluarga. Upaya ini bertujuan untuk mengatur berbagai kepentingan waktu setiap anggota keluarga dengan baik. Ada keterlibatan yang lebih luas dalam perencanaan. Tentu saja fleksibilitas juga tetap diperlukan. Pandemi juga mengajarkan saya tentang pentingnya sikap yang lebih elastis dalam menerima hal-hal yang terjadi di luar perencanaan kita, perlunya kemampuan menyesuaikan diri dan tidak selalu menyalahkan diri sendiri.

Kita juga perlu untuk tetap terhubung secara daring dengan komunitas peneliti seperti misalnya komunitas mahasiswa PhD di kampus atau komunitas phdmamaindonesia.com ini. Dengan demikian kita tidak merasa sendirian. Kita bisa memperoleh motivasi, bisa saling belajar dari hasil penelitian teman lain dan mendapatkan pengalaman yang baru.

Strategi lain untuk mendapatkan keseimbangan yang sehat adalah dengan sungguh-sungguh memberi waktu reguler untuk melakukan hobi atau hal baru yang kita senangi. Saat situasi dirasakan terlalu menekan dan kita tidak mampu melanjutkan penulisan, itulah juga saatnya kita berhenti sejenak dan melakukan hobi yang membantu kita untuk menjadi lebih rileks. Setelah itu lanjutkanlah pekerjaan kita. Apabila tekanan mental kita rasa terlalu berat, maka kita perlu mencari bantuan profesional.

Berjuang dengan disertasi di tengah pandemi tidaklah mudah, secara pribadi saya membuat berbagai macam strategi yang sesuai untuk saya agar bisa tetap maju. Saya tetap memegang harapan bahwa saya mampu untuk menyelesaikan disertasi dan melakukan publikasi. Melalui tulisan singkat inilah saya ingin membagikan harapan dan semangat yang sama kepada teman-teman peneliti perempuan lainnya.

*Artikel ini merupakan kontribusi dari Lady Mandalika yang saat ini sedang menjalani studi doktoral di Vrije Universiteit Amsterdam.


[1] Viglione, Giuliana (2020). Are Women Publishing Less during the Pandemic? Here’s what the data say. Nature 581. https://www.nature.com/articles/d41586-020-01294-9.


0 Comments

Leave a Reply

%d