PhD Mama Yuher: Usaha katering, mengasuh anak dan disertasi
Sering saya dengar, perjalanan PhD itu penuh dengan kejutan. Bagaimana pendapat Mbak Yuher?
Ya, kurang lebih seperti itulah yang saya rasakan juga. Jadi cerita awalnya kepindahan kami ke Taiwan adalah karena suami akan melanjutkan sekolah. Namun karena jurusan yang diminati beliau mengharuskan kemampuan Bahasa Mandarin di level tertentu, rencana seketika berubah : saya lanjut S3, suami kuliah Bahasa, baru kemudian lanjut studi S-3 nya.
Mengapa saya harus ikut kuliah? Karena jika hanya mengandalkan beasiswa suami kami tidak akan survive di kota no.7 termahal di Asia ini. Disamping itu, dengan menjadi mahasiswi maka akan banyak kemudahan-kemudahan yang bisa kami dapatkan termasuk untuk mengurus tetek-bengek administrasi dalam membawa anak ikut serta. Satu hal lagi, menjadi mahasiswa merupakan profesi yang memungkinkan bagi saya untuk memiliki waktu lebih banyak bersama anak dibandingkan bekerja di luar rumah misalnya.
Kabarnya selain menjadi Ibu dan mahasiswi PhD, Mbak juga buka usaha katering?
Betul, Mbak Kanti. Kami sampai di Taiwan dengan bekal beasiswa selama tiga tahun untuk saya dan suami yang hanya di-cover selama 6 bulan saja selama belajar bahasa. Namun kami tetap nekad berangkat, karena melanjutkan studi telah menjadi perencanaan masa depan kami.
Memang kenyataannya sulit karena kami bergantung pada satu beasiswa saja, yaitu beasiswa saya. Untuk bayar apartemen saja, lebih dari setengah uang beasiswa terkuras habis. Tidak mungkin kami bertahan hidup hanya dengan uang sisanya. Untuk makan, bayar listrik, uang transport dan komunikasi belum lagi biaya tidak terduga dari perkuliahan dan jaga-jaga jika ada yang sakit.
Apalagi saat itu sedang masa peralihan dari musim panas ke musim dingin. Sebagai makhluk tropis, pakaian penunjang musim dingin kami tidak memadai, artinya akan banyak pengeluaran ekstra lagi. Tabungan di Indonesia pun telah terkuras habis untuk biaya pindah dan masa-masa awal kedatangan kami ke Taipei. What can we do?
Akhirnya tidak jarang saya dan suami berselisih pendapat mengenai langkah-langkah apa yang harus kami ambil untuk bisa bertahan hidup. Suami beberapa kali mencari pekerjaan, namun terkendala dengan ketentuan izin kerja.
Mencoba bekerja paruh waktu, peluang yang tersedia kebanyakan menjadi tukang cuci piring dan itu berat bagi beliau karena harus bersentuhan dengan makanan tidak halal yang merupakan menu favorit di hampir semua restoran di dekat rumah kami.
Singkat cerita, setelah mengkaji pasar dan melihat kemampuan, satu-satunya solusi yang paling memungkinkan bagi kami adalah membuka usaha katering! Katering on-line itu kami beri nama Bunda Najmi, yang khusus menyajikan racikan khas Bukittinggi dan masakan Jepang.
Alhamdulillah, apartemen kami jauh dari kampus, namun dekat dengan pemukiman warga Indonesia di Taipei dan dikelilingi tiga kampus besar dengan banyak mahasiswa Indonesia. Lebih dari sekitar 400 orang mahasiswa Indonesia dan keluarganya berada di sekitar kami, itu belum termasuk pekerja migran yang juga banyak jumlahnya.
Lalu bagaimana Mbak, setelah membuka usaha catering apa saja suka dukanya?
Awal mula menjalankan usaha katering, kami cukup kelimpungan, pesanan yang masuk diluar ekspektasi. Mungkin karena mayoritas mahasiswa merupakan lajang yang hidup di asrama dan tidak diizinkan memasak, jadi kehadiran kami cukup dinanti-nanti.
Ditambah lagi, mencari menu halal tidaklah mudah di Taiwan. Di saat pengusaha katering lain mungkin selalu berdoa agar kebanjiran orderan, kami terkadang berdoa semoga yang memesan tidak terlalu banyak.
Waktu dan sumber daya yang kami miliki sangat terbatas. Senin sampai Rabu adalah masa belajar saya, dan semua kelas saya padatkan pada hari itu. Terkadang saya merasa seperti zombie, tidak sempat berpikir macam-macam hanya ada waktu untuk belajar..belajar…belajar…
Bukan karena saya mahasiswa rajin, namun memang hanya itu waktu yang saya miliki untuk bisa fokus dengan studi S3 saya. Hari Kamis-Minggu adalah waktunya membanting tulang mengais rejeki sambil membersamai anak.

Keluarga kecilku teman berjuangku
Tak jarang setiap akhir pekan mendapat orderan besar dari organisasi atau pekerja Indonesia yang ada di Taiwan, jumlah pesanan biasanya di atas 50 lunch box bahkan sampai 150 lunch box. Rekor terbesar kami menyajikan 500 box snack untuk hari raya Idul Fitri.
Semua dikerjakan berdua saja dengan peralatan tempur seadanya, kecuali untuk mengerjakan 500 snack box, kami meminta bantuan ibu-ibu tetangga dalam menuntskannya. Bahkan kompor pun kami hanya memiliki kompor gas portable kecil, yaps… yang biasa di bawa camping itu. Namun kami percaya, semua keterbatasan bukanlah halangan dibalik semangat kami yang membara (alias kepepet, hehe).

Bersama pesanan 500 paket snack Idul Fitri di Taiwan
Luar biasa, bagaimana dengan urusan studi?
Ya, alhamdulillah diantara semua kerempongan tersebut, saya bersyukur satu tulisan saya masih bisa terbit disalah satu jurnal internasional dan satu makalah lainnya lolos untuk diikutkan disebuah konferensi di negeri jiran dan akhirnya dipublikasikan disebuah jurnal yang bekerjasama dengan panitia konferensi. Bahkan setiap hari minggu saya masih bisa meluangkan waktu untuk pekerja migran di sini, untuk berbagi ilmu terkait parenting jarak jauh.
Walau harus saya akui, waktu bersama anak tidak maksimal, terkadang –khususnya hari Senin-Rabu– hanya 1-2 jam waktu yang dapat kami lalui bersama. Hari sisa lainnya kami hampir 24 jam bersama, namun tetap saja waktu saya tersita untuk aktivitas lainnya. Masih berjuang keras, agar benar-benar bisa seimbang dan proporsional semuanya.

Menjalani peran saya yang lain yaitu sebagai mahasiswi PhD di Asia Pacific Studies, National Chengchi University, Taipei, Taiwan.
Setelah menjalani kehidupan dirantau yang tak bisa dibilang mudah ini, apa yang menjadi catatan tersendiri buat Mbak pribadi?
Ya, buat saya bagaimanapun kondisinya, pasangan adalah partner utama, apalagi saat berjauhan dengan keluarga dan orang-orang terdekat. Orang yang paling bisa diandalkan adalah pasangan. Salah-salah membangun komunikasi, bukannya memperingan masalah justru memperburuk keadaan.
Hidup di rantau, dengan banyak amanah ditambah dengan tekanan ekonomi sangat rentan memancing emosi dari kedua belah pihak. Jika tidak bijaksana menyikapinya, bisa saja berakhir buruk dan runyam.
Karena itu perlu sekali membangun komitmen dan komunikasi yang baik jauh sebelum berangkat, misalkan tentang pengasuhan anak, mengerjakan pekerjaan domestik, dan berbagai hal penting lainnya. Jika di rasa perlu, komitmen dapat dibuat tertulis dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui sesuai kesepakatan bersama.
Termasuk saat memutuskan menjalankan bisnis sambil sekolah, harus jelas pembagian tugas masing-masing antara suami dan istri, agar sama-sama enak, tidak ada yang merasa beban kerja lebih banyak dan yang utama anak tidak menjadi korban.

Bersama anak-anak TKI di Lombok seusai memberi pelatihan
Bagaimana dengan soal membagi waktu?
Nah, ini bagian yang paling tricky, karena fokus pada studi, anak dan pekerjaan sama-sama harus di prioritaskan. Saya tidak dalam posisi bisa memilih mana yang paling penting karena semuanya penting. Dan di saat ketiganya hadir diwaktu bersamaan, sulit sekali memutuskan mana dan siapa yang harus dikorbankan. Sebisa mungkin jangan sampai mengorbankan anak, justru sebaliknya jadikan mereka sebagai top priority.
Seperti apa Mbak mengelola ekspektasi yang begitu tinggi dalam menjalankan prioritas-prioritas yang Mbak punya? Pernah merasa stres?
Ya, saya termasuk kategori orang perfeksionis, inginnya semua amanah yang saya miliki saya tuntaskan dengan paripurna. Tapi saya menyadari bahwa saya bukan superwoman dan bukan pula makhluk sempurna. Ada banyak kekurangan dan walaupun saya berusaha agar menjadi yang terbaik untuk semua amanah yang dibebankan ke pundak saya…. saya tidak bisa! Pasti akan ada selalu kekurangannya. Belajarlah untuk menurunkan standar untuk hal-hal yang sifatnya tidak terlalu urgent dan masih bisa ditoleransi.
Ya misalkan saya suka stres sendiri disaat waktu bersama anak berkurang. Saya merasa telah menjadi ibu yang buruk, karena tidak bisa untuk selalu menjadikan anak sebagai prioritas utama. Untungnya saya memiliki partner hidup yang cukup bijaksana dan sabar mendampingi serta selalu mengingatkan agar saya bisa menerima diri dan keadaan saya apa adanya.
Bahwa saat ini, saya belum bisa maksimal, namun saya bisa menggantinya di hari lain yang memang jadwalnya lebih senggang. Bahwa membersamai anak tidak semata-mata hanya dilihat dari total waktu bersama, namun juga dilihat dari kualitasnya.
Alhamdulillah masa-masa krisis hanya kami jalani selama enam bulan. Selanjutnya kami sudah bisa sedikit lebih lega karena suami sudah diterima di kampus impiannya plus dengan beasiswa dari pemerintah Taiwan.
Masa-masa sulit mengajarkan kami banyak hal, dan benar-benar menguji kesolidan kami sebagai sebuah tim dalam berumah tangga. Kini usaha katering masih berlanjut, untuk menambah-nambah tabungan di hari tua nanti.
Terima kasih banyak atas waktunya Mbak, sukses selalu!
Sama-sama Mbak Kanti. Semangat para Mama sekalian… dimanapun Anda berada!
1 Comment
Ika Yuni R · September 10, 2017 at 4:22 am
Wah cerita yang luar biasa.