PhD Mama Amy: Tentang hamil besar, menjadi single-fighter dan disertasi
Hai Mbak Amy, boleh cerita bagaimana awal perjalanan Mbak studi PhD di Amsterdam?
Hai Mbak Kanti. Waktu itu, Idul Adha tahun 2015 adalah hari dimana saya dan anak pertama saya, perempuan berusia 4 tahun, harus berangkat berdua ke negara kincir angin, Belanda.
Saya mendapatkan tawaran untuk sekolah PhD di Academisch Medisch Centrum, University of Amsterdam, dengan syarat saya harus mengikuti penelitian orang lain menjadi second author selama 1 tahun dulu, kemudian saya dievaluasi untuk mendapatkan Letter of Acceptance (LoA).
Selesai sholat Idul Adha di FKUI UNHAS, saya, suami, anak pertama dan adik saya bergegas pulang untuk mempersiapkan keberangkatan saya. Waktu itu, yang saya ingat adalah kami sempat mampir di salah satu mall untuk makan siang dan jalan-jalan sebentar sebelum ke bandara Soekarno-Hatta.
Kabarnya waktu itu Mbak sedang hamil besar?
Ya, saat itu saya sedang hamil tepat 28 minggu. Keputusan saya berangkat studi dalam kondisi yang tak mudah saat itu adalah karena komitmen saya pada profesi sebagai seorang dosen junior di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Saya kadung mendapat tawaran penelitian dan sekolah dari semenjak sebelum saya hamil.
Ya, hamil kedua ini di luar perencanaan, apalagi saya baru saja menjalani operasi pengangkatan tuba kiri saya karena sempat mengalami kehamilan ektopik (luar kandungan) yang saya tidak sadari.
Alasan lainnya, terkait sakitnya anak saya. Di usia 2 tahun 4 bulan, anak saya, Aurelia Thalia Kirana Adriani atau yang biasa dipanggil “Bunny”, yang tadinya biasanya berlari, tiba-tiba tidak bisa jalan.
Entah apa penyebabnya, dalam sebulan, pergerakan kakinya menurun perlahan, dari jalan biasa, jalan perlahan-lahan menumpu pada satu kaki, kemudian berdiri, duduk menyeret badannya di lantai dan akhirnya hanya bisa tidur berbaring tanpa menggerakkan kakinya.
Masa-masa itu adalah masa-masa yang berat dalam hidup saya, karena selama 3 bulan kami mencari solusi atas penyakitnya, kami tidak menemukannya. Kami sudah datang ke beberapa profesor dokter spesialis dari berbagai bidang, melakukan bermacam-macam pemeriksaan, termasuk ayah, ibu dan kakeknya yang juga dokter, tapi hasilnya nihil.
Dalam tiga bulan itu, keadaan Bunny makin memburuk, hingga saya dan suami pun memutuskan pasrah dan menyerahkan pada Allah SWT. Akhirnya di bulan keempat, kami bertemu salah satu profesor spesialis anak yang sangat terkenal di Makassar, beliaulah yang membantu kami dan menemukan bahwa anak kami terkena penyakit autoimun yang mana sistem imunitas tubuhnya sendiri menyerang dirinya sendiri, dengan gejala yang berbeda pada tiap penderitanya.
Singkat cerita, Bunny harus menjalani perawatan di rumah sakit dan perawatan ekstra dirumah. Bunny tidak diperbolehkan terpapar sinar dan panas matahari, tidak boleh terlalu capek, harus berada di lingkungan yang bersih dan wajib mengkonsumsi obat kortikosteroid dalam dosis tertentu. Alhamdulillah, keadaan Bunny semakin membaik, walaupun kadang masih muncul sakitnya, tapi Alhamdulillah semua masih terkontrol dengan terapi.
Akhirnya ketika tawaran sekolah itu datang, saya pun memutuskan si Kakak Bunny harus saya bawa ke Amsterdam. Selain negara ini cukup dingin, walaupun musim panas, udaranya tetap bersih. Sudah hampir 2 tahun di negara ini, tanpa terapi apapun, si kakak Bunny tidak pernah kambuh lagi, bahkan berangsur-angsur membaik setiap waktu.
Seperti apa masa-masa awal adaptasi di Amsterdam?
Masa awal adaptasi kami, jujur saja, terasa begitu berat. Hanya ada saya dan Bunny yang kesana kemari mencari sekolah untuk Bunny. Musim dingin yang hampir selalu gelap dengan hujan dan angin kencang ditambah kehamilan yang semakin membesar.
Bagi para pelajar perantau, Amsterdam terkenal dengan sulitnya mecari rumah dan mahalnya harga rumah.
Masalah berikutnya adalah mereka tidak mau menyewakan rumah satu kamar kepada orang yang punya anak. Akhirnya setelah bernegosiasi dengan alot kami dapat juga apartemen dua kamar di daerah Amstelveen, sebuah desa yang paling dekat dengan Amsterdam, hanya berjarak satu stop metro.
Kemudian, saya harus memasukkan Bunny ke sekolah internasional yang lumayan mahal dan cukup jauh dari rumah, karena semua sekolah umum Belanda penuh dan harus masuk daftar tunggu.
Akhirnya kami cuma bertahan 2 bulan di sekolah itu juga akibat biaya yang tidak murah dan pertimbangan lainnya yaitu memang bahasa Inggris Bunny yang cukup bagus, saatnya dia beradaptasi dengan “Belanda yang sesungguhnya”.

Saya membawa Bunny jalan-jalan pertama kalinya ke Pusat Kota Amsterdam (Dam)
Bagaimana Mbak menjalani rutinitas sehari-hari dengan tanggungjawab studi dan merawat si kecil?
Setiap pagi, sebelum ke kantor tempat saya penelitian, saya harus mengantar si kakak sekolah, dan menjemput dia di penitipan pada sore hari untuk sekalian pulang ke rumah.
Karena musim dingin, pagi pertama saat dibangunkan sekolah, jawaban Bunny: “Mama, ini masih malam, kenapa harus ke sekolah?”. “Ini sudah pagi, Nak, sudah jam 7.30, ini musim dingin, jadi gelap”, jelas saya.
Pulang sore hari pun bertanya kenapa selalu dijemputnya malam, padahal sebenarnya itu masih pukul enam sore. Terkadang saya sedih kalau melihat dia merasa kesepian dan kelelahan, setiap hari hanya berdua dengan saya di rumah, di jalan kejar-kejaran dengan bus, melawan hujan dan angin kencang, sampai akhirnya kami menyerah menggunakan payung dan membiarkan diri kami basah.
Suatu saat, karena mungkin sudah terlalu lelah dengan rutinitas, dia berkata pada saya: “Mama, I’m so tired being good and strong” (Mama, saya lelah harus terus menjadi baik dan kuat). Dan saya cuma bisa memeluknya menguatkannya.

Musim dingin kami berdua di rumah
Lalu bagaimana cerita saat melahirkan?
Ya, hari itu 10 Desember 2015, pukul 04.30 pagi, saya mulai merasakan sakit yang luar biasa dan tanda-tanda akan melahirkan pun sudah ada.
Saya menghubungi teman-teman terdekat saya, tetapi tidak ada yang menjawab telepon saya hingga pukul 05.30 dimana saya sudah tidak bisa bergerak. Si Kakak Bunny bangun dan kasihan melihat Mamanya dalam posisi kesakitan.
Beruntung pada malamnya, segala keperluan sekolah Bunny sudah saya siapkan di kamarnya, sehingga, dia bisa bangun, mengurus dirinya sendiri dan mempersiapkan dirinya sendiri. Pukul 06.10, salah satu kerabat terdekat saya sudah datang dari Den Haag untuk mengantarkan saya ke Rumah sakit.
Karena riwayat penyakit dan operasi, dokter tidak mengizinkan saya melahirkan di rumah. Beberapa hari sebelumnya pun, kunci rumah saya sudah saya titipkan ke sahabat saya yang sudah 17 tahun ini selalu bersama, untuk jaga-jaga.
Akhirnya, dengan penuh rasa khawatir, si kakak Bunny terpaksa kami tinggalkan di rumah selama 15 menit sendirian, sambil menunggu sahabat saya itu menjemput dia untuk ke sekolah, dan kami berdua pergi ke rumah sakit. Alhamdulillah anak usia 4 tahun 6 bulan ini cukup bisa diandalkan.
Di hari saya melahirkan, suami belum tiba Belanda, orang tua pun tidak ada. Alhamdulillah, setelah melewati 16 jam proses melahirkan, akhirnya anak kedua saya lahir melalui proses persalinan normal.
Bayi perempuan itu kami beri nama Aurora Winter Medina Adriani dengan yang sekarang akrab dipanggil Wintertje.
Seperti namanya, dewi fajar penerang yang muncul pada musim dingin menerangi langit malam, semoga dia menjadi anak yang selalu menjadi penerang walaupun di masa yang tersulit dan tetapi lembut dan tenang layaknya kota Madinah yang selalu diberkahi oleh Allah SWT.
Selama dua hari setelah melahirkan, tinggal hanya bertiga, Alhamdullilah, suami saya datang di hari ketiga dan akhirnya kami berkumpul lagi bersama, walaupun hanya dua minggu.

Bersama suami dan buah hati kami dalam pakaian tradisional Belanda
Seperti apa pengaturan terkait studi selama masa pemulihan?
Satu persatu hal terkait persalinan dan adaptasi dengan bayi terlewati perlahan-lahan. Saya hanya dapat cuti dari kantor satu bulan dan harus diganti dengan menambah masa penelitian saya.
Januari 2016 di hari pertama saya kembali ke kantor saya langsung diberi peringatan oleh sang profesor, bahwa saya harus segera menyelesaikan penelitian ini dalam waktu yang diberikan. Apabila tidak berhasil, saya tidak akan mendapatkan LoA yang saya tunggu.
Waktu demi waktu berlalu, beruntungnya ada adik kandung saya, laki-laki usia 21 tahun, yang datang membantu saya mengurus anak-anak saya pada saat saya di kantor.
Ada pula masanya anak saya harus saya bawa ke kantor dan saya bekerja pada hari Sabtu atau Minggu karena tidak ada yang dapat menjaga mereka.
Tantangan berikutnya adalah menjadi single parent di negara orang yang sedang belajar dengan dua anak kecil. Terkadang ada masa-masa dimana saya benar-benar butuh support mental dari suami saya.
Alhamdulillah suami saya adalah seorang suami yang cukup terbuka memberi pilihan hidup kepada istrinya apabila itu berdampak positif. Suami mendukung sepenuhnya apapun pilihan saya dan mempercayakan banyak hal.

Sambil menemani kakaknya ke Perpustakaan, menyusui adiknya dimanapun dan kapanpun
Hari-hari pun berlalu begitu cepat. Alhamdulillah penelitian berjalan dengan baik dan banyak ilmu yang saya pelajari. Di bulan ke-9 dalam proses penelitian itu, akhirnya LoA itu saya dapatkan. LoA yang akhirnya saya gunakan untuk mendaftar beasiswa LPDP.
Lalu di bulan September 2016, untuk pertama kalinya saya mengikuti ajang presentasi poster hasil penelitian saya di konferensi Internasional di Jerman, Alhamdulillah saya mendapat juara terbaik, satu-satunya peserta dari Asia. Penelitian inilah yang membawa saya diterima sekolah S3. Setelah mengikuti seluruh tahapan proses seleksi selama 6 bulan di Indonesia, dengan meninggalkan anak saya di Belanda dijaga oleh neneknya, beasiswa pun berhasil saya dapatkan.
Sekembalinya ke Amsterdam, saya mulai kembali meneliti di laboratorium dan mulai kembali bergabung dalam kegiatan-kegiatan dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Amsterdam dan menjadi salah satu project officer disana. Banyak hal baru yang saya pelajari selama proses seleksi LPDP yang menjadikan saya lebih siap untuk memulai berjuang demi masa depan.
Mengingat perjalanan yang sudah Mbak lewati, sekolah jauh dari tanah air, menjalani hubungan jarak jauh sama suami, sibuk di berbagai kegiatan, apa sih yang melatarbelakangi?
Ya, barangkali orang luar melihatnya, kurang apa sih? Suami sudah mencukupi saya tetapi saya masih mau bersusah-susah? Setelah melewati bermacam tantangan terkait tugas saya sebagai ibu yang ingin sekolah lagi, saya semakin yakin pada prinsip “Jika ada kesempatannya, mengapa tidak?”
Banyak cita-cita besar yang ingin saya raih. Banyak harapan untuk negara dan bangsa Indonesia tercinta ini yang ingin saya perjuangkan. Menjadi seorang istri dan seorang ibu tidak berarti menjadi penghalang mencapai karir dan cita-cita yang mulia.
Menjadi seorang PhD mama adalah suatu kekuatan tersendiri. Saya sekolah untuk menjadi pendidik, menjadi agen perubahan, demi menciptakan Indonesia yang lebih indah untuk anak-anak saya dan generasi penerus bangsa.
Bangsa yang besar dapat berdiri kokoh dengan fondasi ilmu yang kuat. Dan dalam perjalanan menuju mimpi-mimpi besar itu, saya bisikkan diri saya, “Jangan lupa bahagia.”

Bersama teman-teman LPDP PK-82 ‘HARMONI” yang memberi saya banyak inspirasi.
1 Comment
A.Rahman · October 1, 2017 at 3:29 am
Sedikit koreksi , Amstelveen adalah sebuah kota kecil yg asri dan hijau, bahkan masuk 10 besar kota terhijau yg ada di Eropa , Jadi bukan DESA loh.