Kisah hebat pendamping PhD Mama: Berhijrah demi keluarga

Kabar istri mendapatkan beasiswa untuk lanjut studi S3 di Auckland Selandia Baru, terus terang pada waktu itu menjadi dilema bagi saya. Dikarenakan pada saat bersamaan karir saya sedang berada pada track yang baik.

Saya baru saja di promosikan menjadi Sub Branch Manager di sebuah Bank Syariah ternama di Indonesia, di kota tempat tingal saya, Jambi. Saya pikir hal yang kurang lebih sama juga pasti dialami oleh para pendamping istri yang sedang menempuh PhD di negeri orang.

Adalah sebuah keputusan yang besar dari pilihan yang sulit ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk resign melepas jabatan atau meninggalkan profesi mapan yang di peroleh dengan tidak mudah di tanah air untuk terbang menempuh puluhan jam penerbangan padahal belum ada kepastian apa yang akan diperoleh untuk diri pribadi di negeri orang.

Seperti halnya para istri hebat, para PhD Mama di dampingi para suami yang hebat (menurut hemat saya), dikarenakan mampu mengesampingkan ego di tengah karir yang bagus dalam rentang usia produktif antara 30 sampai 40 tahun.

Itu baru soal ego pribadi yang di kesampingkan. Belum lagi soal stigma masyarakat yang masih menilai status sosial berdasarkan pekerjaan. Yang menilai bahwasanya tidaklah elok suami mengikuti istri. Lain soal jika istri yang mengikuti suami. Serta pandangan-pandangan normatif khas ke-Indonesiaan lainnya.

Oleh karenanya, hal pertama yang saya lakukan adalah bukan menimbang mana yang baik dan buruk dari keuputusan yang akan saya ambil. Karena, keputusan apapun yang akan saya ambil pada waktu itu saya yakin pasti baik jika di landasi dengan kepercayaan penuh bahwa itulah yang terbaik yang di berikan Allah SWT. Tetapi mana yang jauh lebih bermanfaat untuk keluarga dan masyarakat.

Selama ini kami menjalani hubungan LDR antara dua kota, Saya tinggal dan bekerja di Jambi, Istri tinggal di Palembang. Jarak yang di pisahkan dengan 7 jam perjalanan darat dan hanya setiap weekend kami bisa berjumpa, itupun jika saya tidak ada jadwal lembur dan akhir bulan.

Kami menyadari hubungan ini tidaklah sehat untuk jangka waktu lama buat kami pasangan yang baru memulai membangun rumah tangga, apalagi untuk dua orang anak kami yang masih sangat kecil dan butuh perhatian ekstra. Sehingga keputusan untuk menemani istri kuliah lagi di luar negeri setidaknya menjadi turning point bagi keluarga kecil kami untuk memulai hidup baru merasakan suka duka bersama mengarungi bahtera rumah tangga yang sesungguhnya.

Manfaat bagi masyarakat, tentu saja jika istri dapat mengenyam pendidikan tinggi hingga ke luar negeri akan berdampak positif bagi mahasiswa yang di asuhnya kelak setelah lulus.

Ilmu yang disampaikan akan mengalir seperti efek domino untuk perbaikan bangsa, karena profesi istri adalah dosen, tepatnya di Universitas Sriwijaya, Palembang. Dibanding saya yang seorang bankir, yang kemanfaatan profesi ini hanya sebatas diri dan keluarga, serta orang-orang yang mampu mengakses layanan perbankan yang kami sediakan.

Selanjutnya adalah, kesempatan untuk memperoleh pendidikan sampai S3 masih terhitung langka di tanah air. Apalagi kesempatannya sampai ke luar negeri. Saya dan anak-anak setidak nya akan mendapatkan pengayaan pengalamaan hidup yang tidak akan datang untuk ke dua kalinya serta tidak akan dengan mudah di peroleh oleh orang lain.

Setelah berdamai dengan diri, dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas, selanjutnya yang penting adalah merasionalisasikan keputusan ini kepada orang tua. Bagi kami, orang tua penting karena apapun langkah kita restu mereka menjadi peringan dan mengalirnya berkah.

Alhamdulillah, anak-anak kami yang masih kecil (2 tahun dan 6 bulan) menjadikan orang tua kami memberikan restu keberangkatan kami juga restu saya melepas karir saya di Indonesia. Mungkin ini namanya rezeki anak. Adapun anggota keluarga besar kami tidak terlalu kami pusingkan, karena susah dan senangnya hidup kita tidak akan dirasakan oleh mereka.

Bismillah, dan inilah akhirnya saya sekarang menjadi full time kepala rumah tangga di negeri orang. Di kota cantik dimana gunung bertemu laut, langit biru sepanjang masa, dan awan berarak seperti kapas putih, Auckland, Selandia baru. Istri disibukkan dengan aktivitas riset PhDnya di bidang Kesehatan Masyarakat sambil tidak lupa mengurus anak-anak, bahu membahu bersama saya.

Saya menikmati setiap proses ini sebagai bukti hijrah saya.

Seperti yang saya ikrarkan di dalam hati saat pesawat yang membawa kami serta mendarat perta kali di landasan Bandara Internasional Auckland. Ikrar saya adalah, “Ya Robb, inilah hijrahku yang sederhana, Hamba serahkan hasil akhirnya kepada-Mu”.

Dan hari setelahnya saya bertekad memberikan yang terbaik untuk keluarga merelakan waktu tidur lebih sedikit, menegakan punggung lebih kokoh buat sandaran keluarga kecil kami.

Karena sejatinya beasiswa yang diberikan pemerintah Selandia Baru tidaklah mencukupi sebuah keluarga kecil apalagi untuk hidup di kota metropolis Auckland, dengan biaya hidup yang sangat tinggi. Bersyukur, pemerintah Selandia Baru memberikan visa kerja untuk saya.

Prinsip saya, dimanapun berada kepala keluarga tetaplah kepala keluarga yang salah satu tugasnya adalah memastikan anggota keluarga tercukupi, tidak kelaparan dan tidak kedinginan. maka, sayapun harus bekerja.

Mencari kerja bagi pendatang di negara manapun tidak mudah dan juga tidak sulit. Tidak mudah karena, khusus untuk negara-negara persemakmuran seperti halnya selandia baru, Berbekal pengalaman saja tidak cukup. Pengalaman bertahun-tahun saya sebagai seorang banker tidaklah menjadikan saya terus bisa melamar sebagai karyawan bank disini.

Mereka memiliki standar khusus dan sertifikasi khusus yang bisa diterima oleh otoritas mereka. Yang kedua, negara seperti Selandia baru bisa di sebut negara tanpa bangsa, dikarenakan beragam bangsa bercampur baur jadi satu di negara ini. Pada tipe negara seperti ini, referensi dari orang atau koneksi yang dipercaya sangat diperlukan oleh para pencari kerja. Dan biasanya pihak pemberi kerja pun memerlukan referral dari orang yang mereka anggap kredibel.

Dan akhirnya pekerjaan pertama yang saya peroleh adalah sebagai cleaning service. Pekerjaan ini saya peroleh dari kebaikan hati seorang Indonesia yang telah bermukim lama di kota ini dan memiliki perusahaan jasa kebersihan home (perumahan) ataupun industrial (kantoran).

Rata-rata para pendamping PhD mama di sini bekerja di sektor informal seperti ini. Saya pribadi merasakan pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berat, namun bersyukur sewaktu di Indonesia saya bukan tipe pemalas di kantor yang segala sesuatu harus office boy yang mengerjakan. Sehingga meski saya mengerjakan pekerjaan yang nota bene di lakukan mereka pada waktu itu, tidak membuat saya berkecil hati dan merasa sebagai sebuah kehinaan.

Untuk pekerjaan di sektor informal seperti itu, rata-rata kami memperoleh pendapatan sesuai UMR di sini, yakni berkisar antara $14.5 sampai $ 15.5 per jam. Semakin banyak jam kerja kami, semakin deras pula dollar mengalir ke rekening kami. Rata-rata kami bisa bekerja 40 jam dalam satu minggu. Pekerjaan sebagai cleaner sendiri hanya satu bulan saya jalani. Karena waktu itu hanya bersifat casual dengan jam kerja yang sangat kurang. Saya membutuhkan minimal 40 jam dalam satu minggu untuk menyokong keuangan keluarga kami di rantau.

Dan pekerjaan kedua pun menghampiri saya, juga lewat orang Indonesia yang telah lama berdomisili di Auckland. Bukan perusahaan beliau, tapi beliau membantu mereferensikan ke perusahaan yang di maksud. Saya bekerja di perusahaan kuliner yang memiliki belasan cafe dan resto yang tersebar di seluruh Auckland, HIP Group namanya. Saya di terima kerja di salah satu aoutletnya, tepatnya di KOHI The Store, The Bar and The Cafe. Jabatannya saya adalah kitchen hand atau istilah kerennya steward. Dan tugas utamanya adalah mencuci piring, atau istilah indonesianya tukang cuci piring.

Awalnya tugas cuci piring saya anggap mudah, saya pikir paling sebatas berapa puluh piring. dan katanya pakai mesin juga. Ternyata setelah terjun langsung, bukan hanya puluhan, tapi bahkan ratusan sampai ribuan piring dan gelas per hari secara terus menerus harus dicuci-digunakan-dicuci nonstop selama 8 jam sehari. Jadi minimal saya harus berdiri menghadapi cucian 8 jam sehari di luar istirahat 30 menit, full time 5 hari kerja.

Saya selalu memotivasi ini sebagai ibadah saya buat keluarga. Bersama-sama para suami hebat lainnya kami mengistilahkan profesi ini sebagai nge-DJ (karena gerakan mencuci piring seperti sedang membesut piringan musik), semata untuk menghibur diri. Capek badan tidak saya hiraukan, pulang berkumpul keluarga, bercanda dengan anak-anak adalah obatnya. Bekerjalah sebaik mungkin, biar Allah dan RosulNya yang menilai.

Keyakinan itu yang membuat posisi saya tiba-tiba naik drastis dari cuci piring di angkat menjadi chef tepat dalam waktu satu tahun. Tanpa sekolah chef, tanpa sertifikat masak yang harus dimiliki calon chef. Benar-benar rezeki anak soleh.

Sudah dua tahun kami lalui, istri sudah setengah jalan proses PhDnya. Dan saya menjalani hari-hari dengna profesi baru sebagai Chef. Dan tetap bahu-membahu bersama istri merawat keluarga kecil kami. Menjaga anak, menyiapkan makanan mereka, mengantar atau menjemput sekolah, menemani bermain ke taman atau tempat rekreasi jika ada waktu libur. Serta menjadi tempat diskusi tentang apa saja termasuk bahan thesis istri.

Maka sedikit himbauan saya untuk para pendamping yang masih ragu, yakinlah Allah Maha Bertanggung Jawab atas rezeki kita. Banyak hal-hal luar biasa yang akan kita temui langsung di kenyataan di bandingkan hana sekedar memantau lewat telepon atau media sosial.

Saran saya, jika kita memutuskan untuk mendampingi istri ke luar negeri, campakkan ego ke –suami-an kita jauh-jauh.

Jangan segan-segan belajar memasak, mencuci pakaian meski itu bukan pekerjaan kita sewaktu di Indonesia. Karena, menempuh pendidikan S3 di luar negeri itu bukan mudah apalagi jika universitasnya termasuk yang terbaik di kota tersebut. Tingkat stres lebih tinggi, maka berusahalah mengurangi beban rumah tangga istri.

Upayakan senantiasa meng-upgrade pengetahuan, karena istri yang sedang menempuh PhD, notabene sedang berperang pemikiran. Jadilah tempat diskusi yang baik, yang bijak. Memberikan saran yang baik buat kesempurnaan thesis yang digarap istri kita tanpa mengorbankan idealisme dan nilai-nilai agama serta budaya yang kita miliki.

Akhirnya, saya menyadari tidak semua kita memiliki pendapat yang sama terhadap pilihan hidup. Hidup kita hanya kita dan Allah yang mengetahui. Saya dan para pendamping PhD Mama menyadari pilihan kami bukanlah mudah. Dan hidup yang kami jalani disini pun tidaklah mudah.

Namun, tempaan kehidupan yang keras ini akan membentuk kami jadi pribadi yang berbeda diatas rata-rata.

Jika diibaratkan cuaca, saat ini adalah masa-masa mendung dan hujan kami. Namun, kami yakin hanya butuh sepotong hari yang cerah untuk menghadirkan pelangi setelah hujan yang menderas.

**Ditulis oleh Kusnan Sayuti, seorang eks-bankir, suami dari Najmah Usman (Kandidat PhD di Auckland University of Technology), ayah dari tiga orang anak, dan chef sebuah restoran di Selandia Baru.

 

One thought on “Kisah hebat pendamping PhD Mama: Berhijrah demi keluarga

Leave a comment