PhD Mama Dharma: Kisah single-fighter, diagnosa down-syndrome dan layanan child-care

Published by phdmamaindonesia on

Bagaimana perasaan Kakak sekarang studi sudah rampung dan sudah kembali berkumpul lagi bersama keluarga?

Ya, saya selalu melihat bahwa setiap insan di dunia ini semata-mata hanya menjalankan peran sesuai takdir dan tugas kita adalah menghidupkan peran tokoh itu sebaik-baiknya dengan ikhtiar dan beribadah.

Alhamdulillah, rasanya bahagia yang tak terkira karena perjuangan lahir dan batin di jalan ilmu untuk mencapai PhD selama 4 tahun akhirnya bisa dituntaskan tepat waktu. Yes, mission accomplished!  Saya amat bersyukur misi saya sebagai thalibul ilmi yang juga telah ditakdirkan sebagai ibu dari 3 orang putra, telah saya selesaikan atas izin Allah.

Seperti apa Kakak melihat perjalanan PhD yang telah dilalui?

Menjalani hari-hari sebagai PhD student sangatlah berbeda dengan masa-masa lain dalam hidup saya. Ada banyak “kejutan” dan “drama” di dalamnya. Tapi semuanya bisa terlewati dengan selalu berpegang pada 4 hal yang menjadi kekuatan saya; do my best, be patient, be persistent dan less complaining.

Sedikit kilas balik perjalanan saya, studi PhD saya adalah di bidang Control Engineering di RMIT University, Australia. Satu semester pertama saya lewati seorang diri tanpa keluarga. Progres awal penelitian saya di beberapa bulan tersebut sangat baik karena fokus saya saat itu semata-mata di studi, dengan rutinitas hanya seputar studi literatur, menulis, programming, aktivitas di lab dan meeting dengan para supervisor atau lab member sehingga kehidupan sosial saya pun masih sangat terbatas kala itu.

Seperti itulah siklus yang saya buat sedemikian rupa untuk mengalihkan rindu kepada anak-anak dan keluarga yang semakin hari semakin tak tertahan. Di akhir semester pertama, saya menyerah tidak sanggup lebih lama lagi jauh dari anak-anak dan 2 putra saya (usia 10 dan 8 tahun) yang akhirnya ikut menemani saya di Melbourne dan saya pun memulai episode baru sebagai “single fighter”.

Suami tidak bisa menetap bersama kami karena pertimbangan utama saat itu adalah kondisi almarhumah Ibu mertua yang sedang menderita penyakit kronis dengan kondisi kesehatan yang terus menurun sejak beberapa tahun yang lalu.

Studi Kakak diselingi banyak kejutan, apa maksudnya?

Kejutan terbesar pertama saat saya baru saja memulai ritme kehidupan sebagai single fighter, saya ditakdirkan hamil anak ketiga. Ini salah satu periode kritis saya karena saya harus berjuang memecah fokus dan energi saya untuk menguatkan diri melewati trimester awal kehamilan dengan kondisi tubuh yang sangat lemah karena emesis (mual muntah), mendampingi anak-anak beradaptasi dengan lingkungan dan budaya baru, dan di saat yang sama aktivitas riset juga harus tetap berjalan dengan status test-bed untuk penelitian saya yang baru saja dalam tahap desain.

Kejutan berlanjut, belum juga genap 3 bulan usia kandungan saya, melalui serangkaian pemeriksaan medis, bayi yang sedang dalam kandungan diduga memiliki kondisi Down Syndrome (DS). Ya.. kejutan yang satu ini hampir saja meruntuhkan pertahananku.

Saya dihadapkan pada 2 pilihan dari tim medis: meneruskan atau mengakhiri kehamilan alias aborsi. Dengan keyakinan akan kasih sayang Allah, saya memilih untuk meneruskan kehamilan saya. Saya yakin di balik semua kejutan itu ada hikmah yang besar, saya hanya harus belajar membaca tanda-tanda hikmah dan berkah dibalik semuanya. Dan ternyata, bayi saya terlahir sehat dan tidak memiliki kondisi DS sebagaimana diprediksi.

An Engineer baby

Si bontot menemani saya eksperimen di lab

Selama kurang lebih empat tahun menjadi “single fighter” untuk 3 orang putera, apa yang menjadi tantangan terberat terkait kondisi tersebut?

Tantangan terberat barangkali adalah bagaimana menjadi terus produktif dalam studi yang saya jalani namun tetap memastikan bahwa kebutuhan lahir batin anak-anak terpenuhi dan mereka baik-baik saja.

Sebagai contoh, saat saya dikejar tenggat waktu untuk memasukkan makalah atau laporan hasil eksperimen dan ada anak yang kurang sehat, baik itu pilek biasa atau bahkan saat bayiku sempat mengalami kejang karena demam tinggi.

Ketika dihadapkan pada situasi seperti itu, hal terbaik yang mampu saya lakukan adalah menenangkan diri saya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, ada Allah Sang Maha Penolong dan buat saya prioritas utama adalah anak-anak.

Untuk kelancaran studi, saya berusaha menjalin komunikasi yang baik dan lebih kekeluargaan dengan supervisor. Segala hal yang terjadi yang sekiranya akan mempengaruhi kinerja saya di riset, akan saya ceritakan dengan terbuka kepada mereka.

Dengan bersikap terbuka, mereka lebih menghargai dan lebih berempati terhadap saya. Bahkan di beberapa konferensi dimana makalah saya harus dipresentasikan, dengan senang hati supervisor bersedia mewakilkan saya untuk hal tersebut.

Yang artinya, beliau harus belajar ekstra lebih detail lagi tentang bahan-bahan presentasi yang sudah saya siapkan. Sungguh, ini adalah bukti lain betapa Allah sudah mengatur semua yang saya butuhkan.

Apakah pernah terpikir untuk menyerah saja?

Alhamdulillah tidak, kehidupan selanjutnya saya jalani dengan kepasrahan yang lebih tinggi, Memang berat secara fisik dan mental, tapi hidup harus terus berjalan. Memulai pagi dengan menyiapkan anak-anak, mengantar ke sekolah dan saya pun ke kampus. Saat jam sekolah usai, saya harus pulang untuk menjemput dan melanjutan pekerjaan kampus di rumah disaat anak-anak sudah terlelap.

Akhir pekan kami pun banyak dihabiskan di laboratorium setelah mengantarkan anak-anak berkegiatan (diantaranya belajar agama di salah satu pusat kegiatan komunitas muslim Indonesia dan berenang). Saya membawa anak-anak ke kampus dan sesekali menemani mereka bermain di taman kampus saat menunggu hasil running dari eksperimen saya.

The 'real' warriors in this PhD journey

Para “pejuang” sesungguhnya dalam perjalanan PhD saya

Dan tepat di akhir tahun pertama saya berhasil melakukan confirmation of candidature (CoC) dengan kondisi kehamilan yang sudah memasuki usia 8 bulan. Tak lama berselang setelah CoC saya pun melahirkan lebih cepat 3 minggu dari due date dengan didampingi suami yang datang tepat semalam sebelumnya. Alhamdulillah, sang bayi terlahir sehat dan normal. Perasaan haru dan syukur yang saya dan suami rasakan saat itu tidak bisa tergambarkan.

Setelah melahirkan apakah sempat beristirahat sejenak dari studi?

Ya, saya memutuskan mengambil maternal leave selama 1 bulan untuk beristirahat pasca melahirkan secara caesarian. Berhubung suami bisa menemani saya hingga 3 bulan setelahnya, ketika masa cuti yang sebulan itu habis, saya mulai kembali ke lab dan melanjutkan riset meskipun dengan speed yang sangat lambat.

Ini disebabkan karena waktu untuk bisa berlama-lama di kampus masih terbatas dan itupun diselingi dengan kegiatan memompa ASI dan tak jarang harus melawan rasa kantuk dan lelah.

Bagaimana Kakak mengatur waktu antara mengasuh bayi yang baru lahir disaat yang sama kewajiban studi tetap harus dilakoni?

Setelah si bayi berumur sekitar 4 bulan, ketika saya harus ke kampus, saya menitipkan bayi saya ke child care center dekat rumah. Namun hanya dua bulan saya menggunakan jasa tersebut dan akhirnya memutuskan untuk memindahkannya ke family day care. Kebetulan saat itu ada beberapa day care yang di jalankan oleh teman-teman Indonesia.

Perjalanan studi saya selanjutnya menjadi lebih berwarna dengan 3 anak yang menjadi supporter utama saya. Hidup lebih ramai, lebih heboh, lebih banyak cinta… tentu saja lebih melelahkan secara fisik tapi mereka jugalah sumber energiku.

Saya juga selalu yakin bahwa do’a dan ridho dari suami dan orang tua menjadi penguatku.

Hal lain yang juga selalu saya syukuri adalah banyaknya teman yang baik dan tulus dalam komunitas kampus maupun sesama warga Indonesia. Mereka selalu ada untuk saling menolong dan memperhatikan selayaknya keluarga.

Bersama teman-teman menikmati makan siang bersama di taman kampus

Bisa ceritakan lebih lanjut seperti apa kontribusi layanan childcare dalam menunjang studi kakak?

Saat beban kegiatan di kampus meningkat dengan semakin mendekatnya tenggat waktu untuk Confirmation of Candidature (CoC), saya memutuskan untuk menggunakan layanan di family daycare untuk after school care buat anak-anak yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar (primary school).

Sebagai student dengan sponsorship dari Australia Awards, saya eligible untuk mendapatkan child care benefit (CCB) dan child care rebate CCR (CCR) dari pemerintah berupa subsidi biaya untuk penggunaan jasa penitipan anak (care) dan pendidikan anak usia dini (early childhood education). Dengan bantuan ini, saya hanya membayarkan selisih biaya antara subsidi pemerintah dan actual rate dari child care terkait.

Terdapat dua jenis approved child care yaitu child care center ataupun family day care (FDC). Child care center adalah center-based care dengan kapasitas dan klasifikasi layanannya lebih bervariasi sesuai dengan jenjang usia anak. Sedangkan family day care adalah home-based care jadi dijalankan oleh individu educator/carer di tempat tinggalnya masing-masing sehingga kapasitasnya lebih terbatas.

Saat baby F di day care

Belajar mandiri di child care

Di Australia, child care center bisa ditemukan di banyak tempat yang tersebar di setiap suburb, bahkan setiap kampus dan perkantoran besar akan menyiapkan layanan child care.

Apa yang mendorong Kakak memilih menggunakan layanan child care?

Alasan saya saat pertama kali menggunakan jasa di child care center adalah karena saya harus kembali fokus ke kegiatan riset di lab sehingga bayi saya harus dititipkan ketika saya ke kampus.

Ketika mendaftar di child care pun awalnya saya masuk waiting list untuk mendapatkan tempat karena banyaknya peminat yang membutuhkan care service untuk usia bayi.

Sempat terbersit keraguan karena yang akan dititipkan adalah bayi yang masih sangat mungil yang saat itu baru berusia 4 bulanan, belum bisa berkomunikasi. Ragu akan rutinitas anak yang berubah dan apakah carernya mampu memahami kebutuhan bayi saya.

Apa saja suka duka menitipkan anak di child care, baik itu child care centre maupun family day care?

Pengalaman sukanya adalah karena saya baru pertama kali menggunakan jasa child care, saya terkesima dan banyak menyimak bagaimana cara carer dan educator menjalankan layanan seperti ini.

Pengalaman yang tidak mengenakkan yaitu barangkali saat bayi saya menjadi kurang sehat karena susah minum selama dititipkan di child care center dan carer nya agak kesulitan untuk memecahkan masalah ini. Saat usia bayi saya 6 bulan, saya pindahkan dia ke family day care yang dikelola oleh teman dari Indonesia sehingga komunikasi lebih intens dan saya jauh lebih tenang karena serasa menitipkan anak pada keluarga sendiri.

Menurut Kakak apakah layanan child care cocok untuk dikembangkan secara lebih serius di Indonesia?

Ya, tentu saja sangat cocok seiring dengan perlahan berubahnya gaya hidup sebagian keluarga di Indonesia untuk menjadi lebih mandiri dengan tidak memberatkan keluarga atau menggunakan jasa baby sitter untuk membantu menjaga anak saat orang tuanya bekerja.

Hal terpenting lainnya adalah dengan adanya pusat layanan seperti ini akan memberikan ruang bagi anak untuk bersosialisasi sedini mungkin yang pada akhirnya akan berpengaruh positif pada perkembangan kecerdasannya secara emosional dan intelektual.

Namun, pengembangan child care center di Indonesia diharapkan akan lebih berkualitas, ramah anak dan lingkungan, lebih hangat dan mempekerjakan carer dan educator yang profesional alias punya sertifikasi khusus.

Apakah ada hal-hal lain yang ingin dibagi ke pembaca terkait perjalanan PhD kemarin, khususnya tantangan studi sebagai “single fighter”?

Saya yakin, menjadi mahasiswi PhD baik itu dengan status sebagai lajang, berkeluarga dengan atau tanpa anak, sendiri atau dengan pasangan, akan menghadapi tantangannya masing-masing dengan dinamika yang berbeda.

Yang perlu kita lakukan hanyalah belajar adjustment. Menyesuaikan keinginan dengan mengukur kemampuan kita dan lebih rasional dalam menentukan hal-hal yang lebih penting dalam hidup kita. Never give up.. because hard work and dedication will never betray you.

Seiring meningkatnya beban pikiran dan fisik selama studi, berkumpul bersama teman-teman juga bisa menjadi terapi tersendiri untuk lebih rileks dan menjadi lebih positif dalam melewati semuanya.

Meskipun itu hanya untuk sekedar lunch bersama atau minum kopi sambil bertukar cerita. Karena saat otak sudah terasa overload, when life gets rough .. kita butuh ruang untuk bercerita, butuh alasan untuk tertawa…. butuh teman untuk meyakinkan diri bahwa kita tidak sendiri.

Buat saya, kesempatan menuntut ilmu sampai ke jenjang PhD adalah berkah yang luar biasa.

Perjalanannya ada yang mudah namun banyak juga yang berat dan berliku, banyak tekanan dan bahkan keputusasaan kadang menghampiri. Saat masa sulit datang, yang terbaik yang bisa dilakukan hanya bertahan, jeda sejenak dan melanjutkan lagi.

Untuk kondisi saya yang saat studi didampingi anak-anak saja, saya sangat menghargai dan bersyukur atas dukungan dan pengorbanan suami saya untuk tetap ikhlas dan tetap bertanggung jawab terhadap kami meskipun terpisahkan jarak ribuan mil.

Setelah empat tahun berlalu, tiga tahapan ujian candidature, beberapa publikasi dari hasil research, thesis submission dan thesis review telah selesai dengan hasil yang sangat baik.

Saat Completion Seminar

Saat seminar penyelesaian (completion seminar) di fakultas

Dan saat ini saya sudah pulang ke tanah air tercinta dengan membawa ilmu baru tentang values of life, friends and family. Selesai sudah satu babak peran saya sebagai seorang PhDMama dan saya sedang melanjutkan hidup dengan menjalankan peran yang lain. I’m forty and my life has just begun!


phdmamaindonesia

Blog phdmamaindonesia.com digagas oleh Kanti Pertiwi, Ph.D, pada tahun 2016. Blog ini memuat cerita-cerita seputar perjalanan studi PhD serta strategi menjalani studi dari perspektif perempuan. Kirimkan tulisanmu ke Tim Redaksi di phdmamaindonesia@gmail.com

0 Comments

Leave a Reply

%d