Tahap inilah yang paling dinanti para Fulbrighter
Hi sahabat Ph.D mama Indonesia…. Senang rasanya bisa kembali lagi, di artikel ini kita akan bahas beasiswa fulbright lagi. Setelah beberapa artikel sudah pernah membahas jenis beasiswa ini.
Pada tema Fulbright kali ini saya berkesempatan untuk berbincang dengan narasumber yang saat ini tengah menempuh study doctoral nya di School of Architecture, Clemson University, South Carolina, United States, mbak Anastasia Maurina. Ibu dari dua anak ini akan membagikan pengalamannya di bagian paling mendebarkan yang telah lama dinanti yakni Departure (keberangkatan), Academic Training, dan Persiapan Menuju Universitas.
“Wah, saya sedikit lupa detail tahapan pre-departure orientation, yang jelas saat itu adalah saat yang paling bahagia bagi saya.” Terangnya mengawali perbincangan. Adapun salah satu manfaat beasiswa Fulbright adalah kesempatan untuk berpartisipasi dalam program pre-departure orientation (PDO) yang diadakan oleh AMINEF sebelum Fulbright grantee memulai perjalanan akademis.
Program tersebut terdiri dari pengayaan bahasa Inggris untuk studi pascasarjana yang dapat berlangsung selama 3-12 minggu tergantung pada level Bahasa Inggris dari awardee, selain itu ada kesempatan menjalin komunikasi dan interaksi dengan penerima beasiswa Fulbright lain dari seluruh Indonesia.
Pada sesi pre-departure orientation (PDO), AMINEF membekali para grantee dengan berbagai informasi mengenai kehidupan di Amerika seperti dalam beberapa hal, diantaranya Accommodation, Money and Expenses, Geography, Shopping, Eating, Media, dan Transportation/Travel. Termasuk sesi mengenai “Do’s and Don’ts” selama berada di Amerika dan tips mengatasi “Culture Shock”, sehingga diharapkan awardee tidak mengalami hambatan untuk beradaptasi setibanya di Amerika.
Menariknya, mbak Maurin mendapatkan pengalaman yang begitu berkesan dari salah satu pembicara selama PDO, diantaranya adalah tentang phase emotional yang kemungkinan akan dihadapi saat studi mulai dari fase honeymoon hingga fase kritis yang biasa dijumpai pada mahasiswa tingkat akhir menjelang tesis atau disertasi. Tetapi saya tidak menemukan masa kritis, hehehe…
Bagi saya setiap hari belajar adalah masa honeymoon atau tepatnya masa yang menyenangkan karena kuncinya adalah menikmati hal-hal kecil yang terjadi setiap harinya. Kesusahan besok, besok aja mikirnya, ” Terangnya dengan antusias.
Bagi mbak Maurin, proses belajar itu harus dinikmati. Perasaan negatif yang muncul di tengah perjalanan studi harus dihadapi dengan pikiran yang tenang dan santai, sesekali pergi bersama teman ke coffee shop atau menghabiskan akhir pekan bersama keluarga.
Selain itu, proses keberangkatan masing-masing awardee itu berbeda satu sama lain. Waktu itu mbak Maurin melakukan serangkaian program PDO hanya 2 hari di Jakarta. Dan berangkat ke USA selama 2 minggu setelahnya.
“Semua diatur oleh pihak AMINEF mulai dari tiket, uang saku, prosedur keberangkatan dll. Ready to depart lah pokoknya kita tinggal angkat koper aja.” Tambahnya.
Meskipun keluarga tidak boleh langsung ikut berangkat, Mbak Maurin merasa beruntung karena mendapatkan jadwal penerbangan di hari yang sama dengan temannya. Sehingga ia tidak merasa sendiri dan kesepian dalam menempuh perjalanan lebih dari 24 jam di atas awan.
Bagi dosen Teknik Arsitektur di Universitas Parahyangan ini, hal yang terberat justru ada di 6 bulan pertama, dimana ia harus terpisah ribuan mil dari sang anak. Perasaan rindu yang begitu mendalam cukup menyiksa hatinya, apalagi perbedaan waktu yang cukup jauh. Beberapa kali pihak AMINEF diam seribu bahasa saat Mbak Maurin bertanya mengenai kapan keluarganya bisa menyusul (sebagai catatan, sebenarnya hal ini sudah diinfokan dari awal). Akhirnya, setelah 4 bulan, ia berhasil mendapatkan kepastian mengenai tanggal keberangkatan suami dan kedua anaknya. “Yaa ini termasuk cepe (prosesnya), biasanya ada yang sampai 6 bulan lebih, keluarga baru boleh nyusul, kami dan ibu-ibu lain proaktif dan saling menginfokan, yaa cepet jadinya.” Tambahnya.
Academic Training dan Menuju Universitas
Setibanya di Amerika, AMINEF benar-benar tidak memberikan waktu untuk Jetlag kepada para awardee. Mereka sudah harus dihadapkan dengan serangkaian aktivitas selanjutnya, diantaranya yakni pre-academic dan persiapan menuju universitas. Selama kurang lebih satu minggu ditempatkan di Virginia Commonwealth University di kota Richmond, VA, mbak Maurin tidak hanya dibekali beberapa informasi penting mengenai budaya di US serta bagaimana IIE (perwakilan Fulbright di US) bisa membantu dalam setiap issue pada saat kita di US, namun juga berkesempatan menjalin networking lebih luas lagi dengan para awardee Fulbright dari seluruh dunia, “ini yang saya suka, kita bener-bener dibekali dengan networking, mulai dari (awardee) seluruh Indonesia hingga mancanegara.” Kenangnya.
Setelah menyelesaikan Academic Training, awardee berpisah dan menuju ke universitas masing-masing yang telah disiapkan dan diatur oleh IIE termasuk ‘uang jajan’. Uniknya, di tempat ia menimba ilmu saat ini, hanya satu orang Indonesia yang ia jumpai yang tinggal dan studi disana.
“Mba ini lah yang mengasuh saya setibanya di Universitas tempat saya menimba ilmu. Mulai menjemput di bandara (sebagai catatan: bandaranya di kota tetangga – 1 jam perjalanan) dan juga membantu dalam proses adaptasi (cari nomer telpon, pasang air, pasang listrik, pasang wifi, bikin SIM, cari mobil) dan tentunya dimasakin makanan indonesia. Salah satu yang paling berharga ialah rekomendasi memilih akomodasi.” Ungkapnya berkisah.
Sang kawan tersebut memberikan saran agar memilih tempat tinggal berdasarkan zonasi tempat si kecil nantinya sekolah. Sehingga yang dilakukan pertama kali adalah memilih sekolah untuk anak-anaknya, barulah ia mulai mencari flat yang terjangkau bagi anaknya maupun dirinya.
“Memang harga lebih murah jika tinggal di daerah suburb, tapi sekolah untuk anaknya mungkin lebih tidak siap menerima international student dibandingkan yang di Clemson area.” Ungkapnya.
Paling tidak terdapat sarana transportasi umum seperti Bus untuk memudahkan mereka beraktivitas di lokasi sekolah, kampus, dan tempat tinggal. Saran yang cukup bermanfaat sekali buat para ibu mahasiswa lainnya, karena seringkali pilihan akomodasi hanya mempertimbangkan rentang harga tertentu tanpa melihat aspek penting lainnya khususnya sekolah anak maupun fasilitas childcare.
Mbak Maurin sangat amat bersyukur diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi di negeri Paman Sam dengan beasiswa Fulbright. Terlebih lagi mendapatkan advisor yang sabar dan baik hati, bahkan tidak hanya ilmu saja yang ia dapatkan melainkan pertemanan, networking dan segala hal yang berkaitan dengan pertukaran budaya. Apalagi ini pertama kalinya mendaftar Fulbright dan langsung lolos.
“Cari beasiswa dan sekolah S3 itu kaya cari jodoh, artinya yaa usaha aja, jodoh di tangan Tuhan, dan perlu juga menjadi diri sendiri selama prosesnya.” Terangnya di penghujung interview ini.
Semoga kisah mbak Maurin bisa menjadi inspirasi bagi pembaca khususnya terkait segala proses beasiswa Fulbright.
Tulisan berikut merupakan hasil wawancara dengan Anastasia Maurina yang ditulis oleh Aini Khadijah, dan diedit oleh Roudhotul Anfalia dan Wawat Srinawati untuk PhD Mama Indonesia. Anastasia Maurina dapat dihubungi melalui maurin@unpar.ac.id
0 Comments