Kesehatan Mentalku, Apa Kabar?”

Webinar pada hari Sabtu, 6 Maret 2021 merupakan bagian dari serial Talk Show yang bertajuk #pengalamanperempuan Indonesia yang diadakan oleh komunitas Ph.D Mama Indonesia. Tema kali ini adalah “Kesehatan Mentalku Apa Kabar?”, dimana stigmayang ditempelkan pada gangguan kesehatan mental seringkali membuat para penderitanya memilih untuk memendam ketidaknyamanan atau rasa sakit, atau kesendirian, atau bahkan pikiran negatif yang seharusnya bisa dibantu untuk disembuhkan.
Talk Show ini dihadiri oleh 2 Narasumber dengan berbagai latar belakang, yaitu: (1) Andini Pramono, kandidat Ph.D yang saat ini sedang berada di Canberra; (2) Hani Yulindrasari, seorang Dosen sekaligus kepala pusat pendampingan krisis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Moderator pada acara ini adalah Lilis Mulyani yang baru saja lulus dari Melbourne School, dan bekerja di LIPI Jakarta.
- Andini Pramono
Andini memaparkan bahwa tahun pertama menjalani studi Ph.D memang berat, karena memerlukan adaptasi yang luar biasa, apalagi Andini langsung memboyong suami dan anak untuk ikut serta berangkat ke Australia. Semenjak akhir tahun ketiga, Andini merasa mengalami anxiety. Hal tersebut dirasakan ketika Andini melihat planning yang sudah ia rencanakan sebelumnya, namun masih banyak hal-hal yang ternyata belum terselesaikan. Pikiran itu akhirnya menimbulkan perasaan stress yang kemudian menumpuk setiap harinya.
Beruntungnya Andini menyadari bahwa kesehatan mentalnya bermasalah. Kemudian, ia mencari informasi terkait kesehatan mental dari berbagai sumber. Andini juga sempat datang ke Psikolog yang tersedia di Kampus. Setelah beberapa kali mengunjungi Psikolog, Andini masih merasa belum tenang, hingga akhirnya ia mencoba mengunjungi Dokter untuk memeriksa kesehatan fisik, karena memang sebelumnya Andini sempat memiliki penyakit terkait zat besi. Andini merasa bahwa pertolongan tersebut cukup membantu melepas stress dalam dirinya.
Kebetulan Andini menjalani studi Ph.D pada masa pandemi. Hal ini tentu saja membuatnya semakin stress karena kurangnya interaksi sosial. Namun, Andini mengaku dapat mengelola stress di masa pandemi dengan cara melakukan hal-hal yang membuat ia senang, seperti bersepeda, yoga, atau sekedar jalan ke taman. Selain itu, Andini juga kerap sharingdengan kelompok Ph.D Mama. Cara tersebut dapat sedikit mengatasi masalah ketidakpercayaan yang ada dalam dirinya.
Paparan tersebut membuktikan bahwa kesehatan mental sangat penting untuk disadari. Menyadari dan memahami apa yang terjadi dalam diri akan menjadi awal yang baik untuk mengatasi masalah kesehatan mental. Memang dibutuhkan proses untuk mengatasinya, namun dengan melakukan hal-hal yang membuat kita merasa nyaman dan senang, healing process akan terasa lebih mudah. Aktivitas-aktivitas positif yang kita lakukan perlahan dapat mengikis perasaan negatif yang muncul, sehingga kita bisa lebih semangat untuk melanjutkan kegiatan.
- Hani Yulindrasari
Hani memiliki latar belakang ilmu Psikologi. Berdasarkan pengalaman yang ia temukan di lapangan dan juga cerita dari teman-teman, salah satu gejala stress adalah kehilangan energi. Keadaan tersebut juga sempat ia rasakan ketika sedang menjalani studi Ph.D di Australia. Berbekal ilmu Pengetahuan tentang Psikologi, Hani mengetahui gejala yang ia rasakan, seperti susah tidur. Hani kemudian memutuskan untuk mengonsumsi obat tidur. Menurutnya, kondisi lelah karena kurang tidur justru akan sangat membahayakan kesehatan mental.
Hani menyampaikan bahwa terdapat beberapa faktor mahasiswa Ph.D mengalami gejala stress dan depresi. Pertama, pola kerja soliter. Mahasiwa Ph.D selalu “sendiri” baik secara fisik maupun intelektual. Hal tersebut memungkinkan terjadinya kekurangan interaksi sosial. Menurut Hani, secara intelektual mahasiswa Ph.D sangat soliter. Walaupun mereka memiliki supervisor, tetapi mereka sendiri-lah yang paling paham dengan risetnya. Supervisor hanya bertugas mengarahkan, sehingga apabila mahasiswa merasa kebingungan akan risetnya, maka mereka berusaha untuk mencari jalan keluar sendiri. Kesendirian membuat mereka akhirnya rentan akan perasaan ketidakmampuan.
Kedua yaitu kelelahan. Mahasiswa Ph.D harus membagi waktu untuk keluarga, kerja, dan studi. Waktu untuk keluarga bisa dikatakan 24 jam, terutama mereka yang memiliki anak kecil dan tidak mendapatkan layanan daycare. Berdasarkan kacamata tersebut, maka sangat memungkinkan bahwa mereka mengerjakan urusan studi dengan cara mengambil waktu istirahat. Hal ini tentu saja berdampak pada kelelahan fisik. Menurut Hani, apabila kita merasa lelah, maka fisik akan lemah, dan secara mental juga akan sangat rentan mengalami stress.
Ketiga yaitu kebanyakan mahasiswa Ph.D adalah high achiever. Mereka kebanyakan memiliki prestasi bagus di Indonesia. Dengan background tersebut, mereka juga menaruh harapan yang tinggi akan prestasinya di Luar Negeri. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan jenjang Pendidikan lain, seperti Master atau Sarjana. Dalam jenjang tersebut, social comparison masih berlaku, karena mereka masih dapat membandingkan secara kuantitatif dengan orang lain. Lain halnya dengan mahasiswa Ph.D, sulit bagi mereka untuk merasa bahwa kondisinya sama atau lebih baik dari orang lain. Hal ini kemudian mengakibatkan mereka mengalami imposter syndrome, yaitu perasaan lebih buruk dari yang lain.
Faktor terakhir yaitu supervisor. Bagi mereka yang tidak beruntung mendapatkan supervisor yang suportif, supervisor dapat menjadi pemicu stress. Menurut pengalaman Hani, ia mendapatkan supervisor yang sangat supportif. Bahkan sekarang saat Hani melihat kembali perjalanannya, ia telah melewati banyak turmoil kesehatan mental. Dan ia yakin bahwa keberhasilan Ph.D yang ia peroleh salah satunya dikarenakan mendapatkan supervisor yang sangat luar biasa.
Hani telah melakukan banyak hal untuk melepas stress selama menempuh studi Ph.D. Ketika di Melbourne, Hani melakukan self-healing dengan mengunjungi taman untuk sekedar berjemur dan membaca buku, atau bersepeda. Namun, ketika Hani kembali ke Indonesia, ia justru mengunjungi psikiater, karena ia merasa lebih tertekan, terutama tekanan sosial. Hani merasa bahwa di Indonesia seakan-akan semua harus sama, apabila terdapat sedikit perbedaan, sepertinya itu sangat susah diterima.
Hani menggarisbawahi bahwa kita harus aware dengan diri kita. Pertama, kita perlu sadar akan perubahan dengan memahami kebiasaan kita. Seperti terbiasa tidur di jam tertentu, dan kemudian susah tidur di jam tersebut. Itu adalah salah satu tanda kondisi kita sedang mengalami masalah. Selain itu, kita biasanya mudah tersinggung. Dengan menyadari kondisi diri yang bermasalah, maka kita perlu mencoba self-healing seperti melakukan aktivitas yang kita suka. Saat apa yang kita lakukan untuk memperbaiki diri dirasa tidak cukup membuat kita lebih baik, barulah kita harus cari pertolongan professional.
Dari acara tersebut, terdapat tips mengelola kesehatan mental: (1) Perempuan membutuhkan support. Pada dasarnya banyak perempuan meragukan diri sendiri, maka dukungan dari sesama perempuan diperlukan.; (2) Mengurangi hal yang bukan prioritas, dan mementingkan hal yang prioritas; (3) Harus lebih ramah, lebih baik, dan lebih paham dengan diri sendiri; (4) Setting target yang achievable, masuk akal, dan realistis. (5) Menjauhi social comparison; (6) Flexible dengan diri tanpa perlu bersikap keras terhadap diri sendiri.
Ditulis oleh Anfa untuk PhD Mama Indonesia dan diedit oleh Anik Nunuk Wulyani
0 Comments