Rhaptyalyani Herno Della: Postcard dan Keinginan Untuk Sekolah Lagi

Hallo, Assalamualaikum. Saya Rhaptyalyani Herno Della, keluarga dan teman-teman biasa memanggil saya Lia. Saya saat ini sedang menempuh studi jenjang S3 di National Taiwan Ocean University, di kota hujan Keelung, kota paling utara Taiwan. Di sini saya mengambil bidang Shipping and Transportation Management.
Melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan salah satu keinginan saya dari kecil. Sekolah bagi saya bukan hanya untuk mendapatkan gelar atau keharusan dan kewajiban bagi pekerjaan saya saat ini, yaitu sebagai tenaga pengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, tetapi lebih dari itu. Sekolah merupakan ajang apresiasi diri kita, melalui sekolah kita tidak hanya belajar mengenai keilmuan tetapi lebih dari itu, berbagai pengalaman banyak sekali yang bisa kita dapatkan. Dari mengenal budaya dan lingkungan yang berbeda, bertemu dan berinteraksi dengan karakter orang yang beragam, dan masih banyak lagi pengalaman lain yang kalau disebutkan satu-persatu tak akan ada habisnya.
Bermula dari Sebuah Postcard
Keinginan untuk terus bersekolah bermula dari sebuah postcard (kartu pos). Ketika masih kecil, mungkin seumuran anak sekolah dasar saat itu, saya menemukan beberapa postcard di tas lama almarhum bapak dengan latar pemandangan Jepang dan beberapa negara lainnya. Dulu bapak pernah tinggal setahun di Jepang untuk mengikuti pelatihan sebelum menikah dengan ibu. Saat itu di lubuk hati saya yang terdalam terbersit keinginan “suatu saat saya harus bisa pergi kesini”.
Semua keinginan masa kecil tersebut sempat terlupakan hingga suatu saat saya kembali membongkar tas lama bapak dan menemukan kembali sejumlah postcard yang sama. Waktu itu saya sedang kuliah S1. Terbayang kembali hasrat dan keinginan masa kecil itu. Tentu saja keinginan bersekolah ke luar negeri bagi saya yang berasal dari keluarga pegawai negeri yang tinggal di daerah adalah hal yang rasanya sulit untuk diwujudkan. Saya terpaksa memendam hasrat untuk pergi kesana dalam-dalam. Satu-satunya jalan untuk menuju kesana yang ada dipikiran saya adalah sekolah dengan beasiswa
Selesai kuliah S1, di tahun 2007, saya bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sembari bekerja, saya menyempatkan diri mengumpulkan informasi tentang program beasiswa untuk sekolah ke luar negeri. Namun bergitu banyak kendala yang saya temui, mulai dari nilai bahasa Inggris saya yang biasa-biasa saja sampai rutinitas pekerjaan yang sangat menyita waktu sehingga waktu luang untuk mencari informasi beasiswa sangat terbatas.
Setelah melalui proses yang tidak mudah, akhirnya saya berhasil mengumpulkan beberapa informasi beasiswa untuk sekolah ke luar negeri. Saya pun mencoba mendaftar dan menghubungi beberapa professor. Respon yang saya terima cukup baik, dan beberapa universitas pun mengirimkan balasannya. Saya mengambil tawaran universitas yang ada di Thailand. Alhamdulillah melalui universitas tersebut saya juga bisa mewujudkan mimpi pergi ke negara yang fotonya terdapat di postcard milik bapak saya melalui program internship yang diberikan oleh kampus tempat saya studi S2.
Tantangan Melanjutkan Studi S3
Singkat cerita setelah menyelesaikan S2, terbersit keinginan saya untuk melanjutkan sekolah lagi. Namun, orangtua berpandangan lain, mereka memiliki rasa cemas dan ketakutan bahwa jika saya bersekolah terlalu tinggi maka akan sulit bagi saya untuk mendapatkan pendamping hidup dan menikah. Mereka dan anggota keluarga yang lain berpendapat bahwa wanita yang berpendidikan tinggi dalam budaya kita akan ditakuti oleh para laki-laki. Mereka khawatir anaknya akan menjadi perawan tua jika bersekolah lagi. Saya diminta untuk segera menikah selepas dari S2 tersebut. Dengan niat yang tulus “mematuhi” kehendak orang tua, alhamdulillah saya dengan cepat dipertemukan dengan laki-laki yang sekarang menjadi suami saya. Saya ingat sekali percakapan waktu saya mau menerima tawarannya untuk menikah. Saya bilang:
“Saya hanyalah wanita biasa, namun saya punya keinginan untuk bersekolah lagi dan mengetahui dunia. Saya ingin sekolah lagi tapi bukan disini (Indonesia) dan juga bukan ditempat saya sekolah sebelumnya atau tempat yang pernah saya datangi sebelumnya (Thailand dan negara Asia Tenggara lainnya serta Jepang), karena saya ingin mengenal dunia.”Dia menjawab bahwa dia akan selalu mendukung saya selama itu baik untuk agama dan insya Allah cita-cita itu akan bisa kami wujudkan bersama.
” Rezeki biarkan Allah yang mengatur, dimana ada usaha insya Allah kita diberi jalan”.
Kamipun menikah. Namun pada usia dua minggu pernikahan kami, bapak saya meninggal dunia. Saya pun memutuskan menunda rencana memulai pencarian beasiswa karena tidak ingin menambah kesedihan ibu yang baru ditinggal bapak. Ditambah saya mengalami keguguran sebulan setelah itu dan dokter juga mengklaim saya mengalami incompetent cervix.
Ibu yang melihat kami belum memiliki keturunan di tahun kedua pernikahan kami meminta agar menunda rencana sekolah sampai memiliki anak. Dengan berat hati saya pendam (lagi) keinginan untuk melanjutkan sekolah dan menuruti (lagi) kemauan ibu, karena bagaimanapun restu orang tua adalah hal yang paling utama. Di akhir tahun kedua pernikahan, saya dinyatakan hamil lagi, namun Allah lagi-lagi memberikan ujian untuk naik kelas, saya mengalami keguguran!
Alhamdulillah selang satu tahun setelah itu Allah memberikan lagi kepercayaannya kepada kami dan akhirnya anak kami yang pertama lahir meski secara prematur. Hal ini membuat Ibu saya sedih dan meminta saya kembali menunda rencana melanjutkan studi karena sedih melihat cucunya yang lahir prematur dengan tumbuh kembang yang masih dibawah rata-rata ditahun pertama itu.
Ketika anak kami mulai normal tumbuh kembangnya dan beratnya sudah mencapai rata-rata, tiba-tiba saya diberitahu oleh salah satu profesor pembimbing S1 saya bahwa ada seorang profesor yang sedang mencari mahasiswa doktoral untuk studi dibawah bimbingannya. Iseng (iya tadinya hanya iseng) saya coba kontak profesor tersebut dan respon yang diberikan sangat baik. Beliau bersedia memberikan bantuan berupa beasiswa dan funding untuk saya melanjutkan sekolah lagi.
Tentu saja kabar baik ini saya sampaikan kepada Ibu. Alhamdulillah, Ibu saya akhirnya mengijinkan saya untuk melanjutkan sekolah lagi dan juga suami sesuai janjinya dulu sebelum menikah. Saya sempat ragu tadinya, tapi suami memberikan semangat dan membantu saya mewujudkan keinginan saya tersebut. Suami merelakan egonya sendiri dan melepas pekerjaannya di Indonesia untuk ikut keluar negeri membantu saya melanjutkan sekolah dan juga menjaga buah hati kami. Di awal tahun kedua, suami mencoba peruntungan untuk ikut mendaftar kuliah dan melanjutkan studi ke jenjang S2. Alhamdulillah diterima dan mendapatkan beasiswa dan sekarang suami saya telah menyelesaikan S2 dan mendapatkan gelar master-nya.
Tak ada yang tak mungkin jika kita terus berusaha. Doa dan restu dari orang terkasih merupakan pengiring terwujudnya mimpi yang kita inginkan.
*Ditulis oleh Rhaptyalyani Herno Della dan diedit oleh Netty Herawaty
0 Comments