Yangie Dwi: Culture shock is not good, is not bad. It is what it is.

Bagi saya, keputusan menjalani PhD di Korea Selatan boleh dikatakan melalui proses yang cukup singkat. Tidak pernah terlintas dan terbayang sebelumnya untuk melanjutkan sekolah di negeri ginseng ini. Di tahun 2018, sembari bekerja menjadi asisten akademik, saya mulai mencari profesor yang topik penelitiannya sesuai dengan minat saya. Saya masih menyasar untuk melanjutkan pendidikan di UK atau negara Skandinavia. Beberapa lamaran saya ajukan dan kesemuanya gagal.

Hingga suatu ketika saya menjadi panitia international conference yang diadakan oleh universitas tempat saya bekerja. Disela-sela mengatur acara, saya pun mendengarkan satu presentasi dan satu-satunya yang bisa saya dengarkan dengan fokus. Presentasi ini disampaikan oleh seorang Profesor di College of Pharmacy, Seoul National University (SNU), yang saat ini menjadi Supervisor saya. Selepas acara, saya iseng mendekati beliau untuk menanyakan apakah ada lowongan untuk PhD. Tidak disangka, ternyata beliau juga sedang mencari mahasiswa untuk program PhD.

Selepas konferensi, kami pun berkomunikasi melalui surat elektronik dan saya mencoba mendaftar ke universitas tersebut untuk spring semester 2019. Alhamdulillah saya mengantongi Letter of Admission (LoA). Tetapi, ada masalah lain dan terberat menurut saya, yaitu beasiswa. Sementara itu, tenggat waktu beasiswa KGSP (beasiswa dari pemerintah Korea) sudah lewat dan beasiswa lain untuk mahasiswa internasional seperti GSFS (Graduate Scholarship for Excellent Foreign Student) juga sudah tutup pendaftarannya. Sebenarnya, Profesor menawarkan beasiswa, tetapi jumlahnya dipastikan tidak cukup untuk membayar tuition fee dan biaya hidup untuk saya yang berencana membawa keluarga dan baru mengetahui bahwa saya hamil anak kedua. Ketika itu saya sudah berencana untuk nekat saja berangkat dan berpikir bahwa nanti bisa bekerja sambilan agar bisa mencicil tuition fee. Tetapi, lagi-lagi ridho suami sungguh diperlukan. Suami keberatan dengan rencana tersebut. Kondisi keuangan ditambah jadwal riset yang padat, membuat suami berpikir bahwa saya tidak akan memiliki waktu luang di luar laboratorium. Kami pun sampai pada kesimpulan bahwa apapun yang terjadi, kami ingin tetap tinggal berdekatan alias No LDR!

Sampai ketika Profesor mengirimkan saya informasi beasiswa dan meng-encourage saya untuk segera mendaftar beasiswa tersebut. Dengan tenggat waktu yang sungguh serba singkat dan tenaga ibu hamil trimester pertama, saya pun tertatih-tatih mengumpulkan satu demi satu persyaratan beasiswa yang diberikan oleh kampus SNU untuk staf akademik di negara berkembang. Setelah masa-masa mendaftar beasiswa tersebut, saya pun akhirnya masuk rumah sakit karena mengalami hyperemesis gravidarum. Kira-kira satu minggu setelah keluar RS, saya mendapat surel berisi panggilan wawancara via Skype. Semua proses saya jalani saja dengan sebaik-baiknya dan nothing to lose, hingga akhirnya panitia mengumumkan saya menjadi salah satu penerima beasiswa.

Ketika wawancara beasiswa, ada satu pertanyaan yang baru saya sadari hikmahnya saat ini. Pewawancara menanyakan apakah saya menyukai kultur Korea Selatan dan sejauh mana kultur tersebut saya ketahui. Entah mengapa, saat itu di otak saya hanya terlintas grup K-Pop SNSD dan BTS. Ternyata, setelah setahun menjalani kehidupan di Korea Selatan, saya baru memahami mengapa pertanyaan tersebut dilontarkan.

Ternyata saya mengalami gegar budaya

Ketika saya melanjutkan pendidikan magister di Skotlandia, saya tidak mengalami gegar budaya (culture shock). Selain karena masa studi yang cukup singkat, Skotlandia merupakan negara multikultural dengan tantangan language barrier yang relatif lebih mudah. Pada saat itu, saya juga merasa lebih ‘siap’ karena sebelumnya telah menggali segala informasi terkait negara dan kampus. Saya ingat waktu itu saya menonton Sherlock Holmes versi BBC berkali-kali agar makin familiar dengan aksen dan budaya UK.

Sedangkan ketika ke Korea Selatan, saya hanya mengumpulkan informasi tentang hebatnya kemajuan negara ini terutama di bidang penelitian. Ditambah dengan persiapan yang serba mendadak, membuat saya lupa belajar tentang kultur negara tersebut. Lagipula saya berpikir bahwa SNU salah satu kampus terfavorit, ya masa sih gak internationalized? Ternyata, saya mendapati bahwa sebetulnya kultur Korea Selatan memiliki kemiripan dengan budaya Jawa. Misalnya, memiliki hierarki bahasa kromo inggil untuk berbicara kepada orang yang lebih tua.

When you are in Rome, be like Romans

Kita punya harapan tetapi realitanya tak sejalan. Awalnya, saya berharap bahwa kampus yang mengglobal akan lebih mudah menerima foreigner student. Saya juga berharap mendapatkan pengalaman belajar menjadi peneliti yang asyik, didampingi dan ditunjukkan jalan bagaimana menjalani riset yang benar, dihargai proses, didorong dan didukung sampai menemukan best part of mine. Harapan ini ada di benak saya dari pengalaman di Skotlandia sebelumnya. Ternyata, harapan-harapan tersebut tidak terjadi di lab saya. Realitanya, lab saya memang ‘lempeng’ saja terhadap anak baru, apalagi foreigner. Artinya, sebagai pendatang, saya-lah yang harus melakukan usaha lebih untuk beradaptasi. Salah satu yang terberat adalah berkomunikasi dengan bahasa Korea.

Belum lagi budaya palli-palli (cepat-cepat) yang memang sudah terkenal di Korea Selatan. Semua bekerja serba cepat seperti terburu-buru. Tapi anehnya, walaupun cepat, namun hasil kerjanya apik dan signifikan. Sebagai contoh, betapa cepatnya pemerintah Korea Selatan menurunkan angka penularan Covid-19 di negaranya. Saya pun jadi belajar bagaimana bekerja secara efektif dan efisien.

Ada satu cerita yang menjadi puncak bagi saya, yaitu ketika dipanggil senior dan dikritik habis-habisan. Wah…rasanya hati ini sudah tak karuan. Culture shock, post-partum condition, underdeveloped skill hingga akhirnya dikritik oleh senior membuat saya merasa betul-betul ‘tenggelam ke dasar laut’. Saya mengakui bahwa saya keliru me-manage diri untuk beradaptasi di negara dengan kultur kental seperti Korea Selatan. Semua kondisi ini akhirnya membuat saya jatuh pada mental health problem. Walaupun saya menyadari kondisi saya saat itu, seperti judul drama Korea; I am okay to not be okay, ada masa-masa dimana saya hilang motivasi sama sekali, cemas berlebihan, disorientasi dan merasa tidak berguna. Saya berdoa dan berusaha meminta bantuan dengan mendatangi psikolog kampus. Alhamdulillah, saya mulai berproses bangkit kembali. Beberapa point berikut membantu saya untuk menerima dan bangkit kembali dari culture shock.

  1. Berusaha mendeskripsikan emosi dengan jelas: Metode I-message sangat membantu saya untuk mengetahui emosi yang saya rasakan. Hasilnya, saya akan lebih mudah menerima dan  mencari solusi untuk mengatasi emosi ini. Misal, saya merasa takut dan terintimidasi oleh senior saya, padahal ini hanyalah sebuah asumsi yang belum tentu benar. Maka, partner diskusi yang bersikap netral (misalnya suami), sangat berperan untuk saya mengelola emosi.
  2. Memaafkan diri sendiri dan orang lain: Memaafkan diri sendiri karena salah dalam beradaptasi dengan kultur setempat, ketidakberdayaan diri, kesombongan, dan kebodohan. Tidak lupa, memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti kita. Dengan memaafkan, hati menjadi lebih lega dan lebih jernih berpikir ke depan.
  3. Memilah cara penyelesaian masalah: Ada hal-hal di luar kontrol saya, seperti penilaian orang ke saya. Namun tetap ada hal-hal di dalam kontrol saya, misal respon saya untuk tetap baik, mengelola emosi, dan memperbaiki diri. Dengan kata lain, tidak semua masalah diselesaikan dengan cara yang sama. Ada masalah yang tidak usah dipedulikan karena tidak esensial, tapi ada masalah lain yang mungkin memerlukan diskusi atau permintaan maaf untuk menyelesaikannya.
  4. Afirmasi positif dan apresiasi: Sering-sering menyapa dan mengajak bicara orang dalam cermin alias diri sendiri. Mengucapkan terimakasih dan apresiasi keberanian diri untuk menghadapi setiap proses. Boleh jadi kadang kita terlalu keras terhadap diri sendiri dan lupa mengakui usaha yang sudah dilakukan.
  5. Fokus dengan yang dapat dikontrol atau diubah oleh diri sendiri dan tidak mengharap orang lain berubah: Saya mencoba lebih pro-aktif dan fokus apa yang bisa saya perbaiki dan selesaikan. Sehari-hari saya rutin membuat GROW: Goal, Reality, Options dan Willingnesss, dan mengevaluasinya di penghujung hari. Syukuri apa yang telah dikerjakan di hari itu, sekecil apapun pencapaiannya.
  6. Mulai mengadaptasi kultur setempat tanpa menggeser prinsip hidup: Karena saya tidak memiliki waktu khusus untuk mengikuti kembali kursus bahasa, saya memilih untuk mempelajarinya melalui membacakan buku cerita berbahasa Korea kepada anak. Selain itu, saya juga mencoba mempelajari kultur dan bahasa dari drama Korea. Tentu saja, kendalikan dosis dan waktu yang tepat dalam menonton ya! Saya sengaja memilih drama Korea yang berkaitan dengan topik riset seperti Hospital Playlist
  7. Mengungkapkan perasaan kepada orang lain: Mulai jalin komunikasi dengan teman satu lab yang sekiranya akan mendengarkan kita penuh empati, tidak menghakimi. Syukur-syukur jika memiliki kondisi yang mirip dengan kita. Biasanya, orang-orang ini akan lebih memahami perasaan kita dan memberikan saran yang objektif. Tapi jangan lupa untuk menjalin pertemanan dengan sesama foreigner dan teman seperjuangan sesama negara. Jika memerlukan bantuan, jangan sungkan untuk mencari bantuan profesional seperti konseling kampus.
  8. Take a breath for a while: Ingat bahwa seberat apapun tantangan yang dihadapi, kita tetap berhak untuk bahagia. Terlebih lagi bahwa bahagia itu kita sendiri yang menciptakan. Cobalah untuk menikmati momen saat ini tanpa terlalu berlebihan mengkhawatirkan sesuatu di depan yang belum pasti. Jika memang perlu istirahat, saya pribadi lebih suka menikmati momen-moment sederhana. Seperti melihat keindahan alam, piknik bersama keluarga di taman, atau berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Last but not least and the very important thing adalah menyadari bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan. Tuhan tidak pernah salah menempatkan kita sepaket dengan tantangannya. Ia menempatkan beban pada pundak yang tepat.

Pengalaman culture shock dan momen-momen dikritik pedas ibarat terpaksa meminum obat yang rasanya sangat pahit. Awalnya terasa pahit tapi tetap diminum karena percaya bisa menyembuhkan. Obat pahit ini kemudian akan bekerja untuk memperbaiki sel-sel yang perlu disembuhkan. Pada kondisi saya, perilaku-perilaku buruk yang perlu diubah. Bukan untuk orang lain, melainkan untuk kebaikan diri sendiri. Perjalanan PhD ternyata bukan semata-mata soal akademik, tetapi lebih pada perjalanan mengenal diri, belajar sadar penuh di setiap keputusan yang diambil, serta belajar menjadi lebih tangguh.

*Artikel ini merupakan kontribusi dari Yangie Dwi yang saat ini sedang menjalani studi doktoral di College of Pharmacy, Seoul National University. Yangie dapat dihubungi melalui email di yangie.dwi@gmail.com. 

One thought on “Yangie Dwi: Culture shock is not good, is not bad. It is what it is.

Leave a comment