Tania Chumaira: Perjalanan Menuju Finlandia
Nama saya Tania, mahasiswa PhD tahun ketiga di Media Lab Helsinki, Aalto University, Finlandia. Saya ingin bercerita tentang proses yang saya jalani dalam pencarian sekolah yang akhirnya jatuh pada Aalto University di Finlandia. Sejauh ini, komunitas pelajar doktoral di Finlandia masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan Inggris, Australia, Belanda, atau Jepang. Barangkali memang belum banyak informasi mengenai pengalaman studi doktoral di Finlandia. Padahal, setelah tiga tahun berada di sini menurut saya Finlandia adalah salah satu destinasi terbaik untuk riset dan belajar dan juga ramah keluarga. Dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya mulai dari lika-liku pendaftaran hingga akhirnya memantapkan diri untuk melanjutkan PhD ke Finlandia. Semoga pengalaman saya ini memberikan informasi kepada pembaca sekalian mengenai alternatif pilihan destinasi PhD.
Studi S3 sebagai bagian dari perencanaan rumah tangga
Rencana melanjutkan studi S3 terlintas ketika suami (baca: calon suami) saya berharap agar saya menemani studi S2-nya di University of Manchester Inggris setelah menikah. Masa persiapan keberangkatan suami melanjutkan S2 menjadi bagian dari diskusi panjang mengenai perencanaan setelah menikah; apakah kami akan menjalani Long Distance Marriage atau saya akan ikut menemani studinya. Di sisi yang lain, melanjutkan studi S3 memang merupakan bagian dari agenda masa depan saya karena saya ingin berkarir sebagai akademisi dan peneliti. Namun yang mejadi pertanyaan adalah kapan dan dimana studi S3 itu akan dilakukan. Pada saat itu destinasi studi PhD yang terlintas adalah Inggris selain karena ingin menemani suami, pengalaman saya mengenyam studi S2 di University College London juga menjadi alasan kuatnya. Suami saya mengatakan,”Mumpung masih di negara yang sama, nanti kalau keterima mungkin pindahnya jadi gak repot.” Terlebih lagi, di saat itu usia kami baru menginjak 25, baru berselang dua tahun dari kelulusan sehingga model pernikahan yang ada di benak kami masih begitu sederhana; tinggal berdua di kontrakan, tidak buru-buru punya anak, masih dalam masa mengeksplorasi karir, sambil pelan-pelan merintis tujuan keuangan.
Satu hal yang juga ikut menjadi pertimbangan melanjutkan studi adalah status saya yang kala itu masih sebagai dosen kontrak di Universitas Indonesia. Proses panjang penerimaan dosen tetap tidak seiring sejalan dengan rencana pernikahan dan keberangkatan studi suami ke Manchester yang sudah semakin dekat. Sehingga kalau mengikuti rencana sebelumnya, saya akan berangkat dalam keadaan tidak memperpanjang kontrak. Dengan demikian saya akan kehilangan kesempatan untuk sekolah dengan sokongan instansi resmi yang membuat saya akan lebih kesulitan dalam memenuhi persyaratan beasiswa dari dalam negeri yang saya incar waktu itu.
Hal lain yang mendorong untuk segera memulai S3 adalah pertimbangan usia yang masih cukup muda dan masih berdua saja sehingga biaya untuk pindah (baca: berangkat ke luar negeri) relatif lebih murah dan belum terlalu banyak pertimbangan lanjut mengenai kepindahan karena variabelnya masih berdua saja, dan juga kesempatan untuk benar-benar belajar mandiri langsung selepas nikah.
Menimbang segala peluang dan resikonya, keputusan untuk ikut dengan calon suami setelah menikah dan mengambil peluang untuk melanjutkan studi S3 setiba disana merupakan pilihan yang sesuai dengan value dan kapasitas saya. Saya berpikir, ”Toh sesungguhnya saya sudah tahu ingin meneliti apa di S3 tersebut. Jadi ya sudah dicoba saja.”
Akhirnya saya mengkomunikasikan hal ini pada profesor saya di kampus yang paling banyak membimbing dan bersinggungan dengan pekerjaan saya saat menjalani tugas sebagai dosen kontrak. Mereka cukup berat hati. Menurut mereka, proses aplikasi S3 saya akan lebih matang kalau saya memulainya ketika sudah berstatus dosen tetap. Akan tetapi, di sisi lain mereka juga merasa bahwa sebaiknya menikah itu gak pakai acara pisah-pisah sehingga mereka pun tetap memberikan dukungan terhadap apa yang saya pilih.
Selang lima bulan dari diskusi tersebut, hari pernikahan saya tiba. Tiga minggu setelahnya, saya dan suami tiba di Manchester. Di situlah petualangan pernikahan dan studi kami dimulai.
Antara kegagalan dan perubahan haluan
Karena saya sendiri merupakan lulusan UK, saya pun memfokuskan aplikasi saya untuk melanjutkan studi di UK, terlebih lagi karena saya sendiri sudah di UK sambil menemani studi suami saya. Saya berpikir, bila harus ada tahap wawancara, saya bisa langsung mendatangi kampusnya sehingga bisa melakukan wawancara tatap muka di calon kampus.
Saat itu, saya mendaftar dua sekolah, saya memulainya proses pendaftaran dengan membuka komunikasi dengan dua profesor yang saya lamar. Di awal korespondensi, mereka menunjukkan ketertarikan dan tanggapan yang cukup baik tentang proposal rapat saya.
Aplikasi pertama saya adalah sebuah kampus di pusat London. Karena jarak dari Manchester ke London bisa ditempuh untuk bolak-balik dalam satu hari, maka saya mengiyakan tawaran wawancara langsung di kampusnya. Dilalah, entah bagaimana, saya gugup sekali ketika wawancara, tidak terlalu bisa mendeskripsikan dengan baik apa yang saya maksud. Sehingga, profesor tersebut mengusulkan revisi terhadap proposal riset saya setelah wawancara tersebut.
Setelah revisi, aplikasi berlanjut dan datanglah hari pengumuman. Ternyata sekolah tersebut belum jadi rejeki saya. Tak mau terlalu lama bersedih, saya melanjutkan aplikasi saya yang berikutnya.
Di aplikasi yang kedua, pihak profesor menyarankan untuk tidak melanjutkan proses admisi karena pihak administrasi kampus keberatan dengan nilai kelulusan S2 saya yang sebatas pass, bukan distinction atau merit. Waktu itu saya cukup terpukul karena saya menyadari kalau memang komponen nilai sepenting itu, akan sulit bagi saya untuk bisa tembus kampus lain di UK karena bisa jadi itu adalah komponen yang esensial bagi banyak kampus di sana.
Akhirnya kami sepakat untuk melihat ini sebagai kesempatan untuk memikirkan lagi soal rencana S3 ini. Apa benar mau melanjutkan di UK? Atau adakah kesempatan di tempat lain yang barangkali lebih cocok tidak hanya untuk saya tapi juga untuk suami saya.
Meriset dan merencanakan kembali
Beberapa hari setelah penolakan itu, saya kembali membuka laptop dan membenahi proposal riset saya. Lalu, suami saya melontarkan pertanyaan,”Kamu ada dream destination gitu ga sih? Kalau seandainya kamu bisa daftar S3 di manapun, ada sekolah yang mau kamu daftar ga?”
Jawabannya ada, saya memiliki dua sekolah yang ada di angan-angan saya, Aalto University di Finlandia dan Aarhus School of Architecture di Denmark. Keduanya memiliki kelompok riset yang sesuai dengan peminatan saya. Lebih jauh lagi, saya juga tertarik dengan budaya bekerja di Eropa Utara yang mengutamakan work life balance. Maklum, latar belakang saya adalah arsitektur di mana jam kerja yang panjang begitu diglorifikasi.
Jika pilihannya adalah Finlandia, pertimbangannya kemudian adalah apakah yang bisa suami saya lakukan di sana ketika saya sedang menjalankan studi. Karena studi S3 bukanlah studi singkat, sehingga pertimbangan tersebut penting sekali. Lalu, kami memulai kembali riset destinasi S3 tersebut dari mencari tahu tentang Aalto University dan Finlandia.
Setelah melakukan observasi, ternyata Finlandia cocok dengan perencanaan hidup kami. Pertama, lowongan studi PhD di sana datang bersamaan dengan gaji bulanannya karena status mahasiswa PhD di sana adalah bekerja sebagai staf riset di kampus. Status inilah yang menjadikan mahasiswa PhD di sana membayar pajak sehingga memiliki hak yang hampir sama dengan penduduk lokalnya di aspek kesehatan dan kesejahteraan. Kedua, terdapat program pemerintah untuk integrasi karir pasangan yang disediakan dari Kementrian Ketenagakerjaan Finlandia. Pun, studi di sana memungkinkan kami untuk tetap berikhtiar memiliki keturunan. Ketika nanti anak kami lahir, terdapat cuti maternity dan paternity yang mana di masa cuti tersebut kami tetap mendapatkan gaji meskipun tidak seratus persen. Cuti yang diberikan pun sangat cukup, totalnya setahun, di mana saya bisa berkesempatan untuk menyusui langsung dan eksklusif untuk bayi saya kelak.
Saya pun memulai aplikasi baru saya ke Aalto University dan akhirnya setelah beberapa kegagalan sebelumnya, aplikasi kali ini berhasil. Mungkin ini ya yang namanya ketika tangan Tuhan bekerja, selalu ada maksud di balik semua kejadian yang terjadi dalam hidup kita. Kalaupun ada keinginan yang tidak tercapai, akan ada penggantinya yang lebih sesuai dengan apa yang kita butuhkan.
Refleksi tentang kegagalan
Ternyata kegagalan sebelumnya menjadi momen untuk mempertanyakan kembali diri saya; apa benar saya mau S3 dan di mana tempat yang paling tepat untuk kami tinggal selanjutnya.
Studi setelah menikah tidak lagi menjadi rencana diri sendiri namun menjadi agenda bersama dengan pasangan. Sehingga proses pencarian informasi mengenai calon sekolah sekaligus negaranya membutuhkan waktu yang panjang mengingat ada banyak kriteria yang perlu dipertimbangan.
Sampai hari ini, saya tidak pernah menyesali kegagalan saya di dua aplikasi sebelumnya. Bagi saya, umpan balik yang saya dapatkan dari dua profesor sebelumnya begitu berharga. Bisa jadi kedua proses aplikasi tersebut merupakan elemen penting dari tembusnya aplikasi saya ke Aalto University, saya sudah pernah berlatih mendaftar dan menghadapi kegagalan.
Saat ini, saya memasuki tahun ketiga riset saya sambil mengurusi putri saya yang lahir sekitar setahun setelah saya memulai studi PhD. Layaknya pengalaman PhD Mama lainnya, perjalanan rantau dan PhD ini tentunya tidak selalu mudah. Namun, dari berbagai tantangan yang ada, ada banyak kemudahan yang kami terima di sini karena sistem negaranya yang ramah keluarga. Maka, dibanding mengingat akhir kisah dua aplikasi tersebut sebagai kegagalan, saya lebih sepakat untuk mengingatnya sebagai perubahan haluan.
0 Comments