Angtyasti Jiwasiddi: Kisah Ibu dan Tahun Pertama Studi PhDnya

Published by ekaindahnuraini on

Halo! Saya Angtyasti Jiwasiddi, seorang PhD Mama dari seorang putri, memulai PhD program di School of Information Systems and Technology Management, University of New South Wales tahun 2018. Penelitian saya saat ini ada pada payung besar ‘digital world’ atau ada yang bilang ‘the future of world’ yang dihubungkan dengan travelling. Jadi ini cukup menyenangkan karena menggabungkan anatara bekerja dan senang-senang. Batasan topiknya adalah saya melihat dampak tren ini terhadap komunitas lokal.
Apa yang melatarbelakangi Angty untuk mengambil topik ini?
Sejujurnya topik yang sekarang ini berbeda dengan proposal penelitian yang saya kirimkan kepada beberapa calon supervisor. Kalau dulu itu mendekati keuangan dan teknologi (fintech), spesifiknya inklusi keuangan. Lalu dari beberapa supervisor tersebut ada yang membalas dan menawarkan topik ini. Akhirnya memang gak sama persis tapi beliau melihat ada beberapa kesamaan. Ini memang sudah ada grup peneliti yang cukup besar, gabungan Profesor beberapa universitas, pastinya professor dari UNSW, dari USYD (University of Sydney), ada yang dari Belanda juga, ada dari UTS juga. Jadi ini memang ada dalam skema besar digital world.
Apa tantangan ketika mau berangkat PhD ke luar negeri dan hanya ditemani anak yang masih kecil?
Anak saya kebetulan baru berulang tahun yang ke-8. Jadi ketika berangkat dulu masih umur 6 tahun. Tantangannya memang banyak ya. Beberapa sebelumnya memang sempet nanya-nanya ke yang sudah berangkat duluan. Tantangan secara umum lebih kepada kita harus memperhitungkan kondisi keuangan, kita tinggalnya di mana, selama perkulihan anak akan sama siapa, ya itulah kurang lebihnya, intinya harus ada gambaran meskipun kita gak tahu persisnya akan seperti apa.

Yang utama dipertimbangkan bagi saya adalah usia si anak, karena di sini usia 5 tahun sudah bisa SD. Jadi porsi waktunya bisa dibagi karena dia bisa masuk sekolah. Tapi kalo menurut saya pribadi, kita sendiri perlu secara internal sudah percaya bahwa kita bisa melakukannya. Selain mental, siap secara fisik juga penting.
Faktor-faktor apa yang berperan untuk membantu mbak Angty akhirnya yakin mampu melakukan PhD di Australia hanya dengan anak?
Ketika saya melihat ke belakang apa yang sudah saya lalui sejak 2018, saya merasa titik baliknya adalah saya secara internal sadar harus berubah. Lalu dari situ serangkaian hal yang terjadi itu mendukung saya untuk itu. Salah satu contohnya adalahnya teman berbagi rumah saya yang sangat baik hati, mbak Leni, yang sudah duluan studi di kampus yang sama, pada saat itu sedang mencari teman berbagi rumah kontrakan dan saya waktu itu juga butuh dan gak tahu kondisi pada waktu itu akan seperti apa.

Pada saat itu aku berpikir kalau diterima di sana apakah ada yang bisa bantu aku. Skenario terburuknya ketika harus kuliah atau apalah ada orang lain yang bisa bantu jagain anak saya. Syukurlah saya sudah dapat gambarannya sebelum berangkat kondisinya akan seperti apa, anak akan sama siapa, sekolah dimana, uang sekolahnya berapa, dll. Jadi punya tempat bertanya itu sangat membantu.
Bisa diceritakan tentang proses mendapatkan kampus?
Sebelum akhirnya diterima, saya sempat mengirimkan proposal kepada beberapa Professor dan Associate Professor dan bertanya ke teman juga tentang profesor A,B,C dan karakter atau rekam jejak mereka.
Lalu apa yang dilakukan mbak Angty untuk mempersiapkan komfirmasi di akhir tahun pertama PhD?
Kuliahnya itu sendiri cukup menguras waktu di mana kita harus menghadiri kelas dan yang paling berat adalah tugasnya. Kita disuruh menulis beberapa makalah. Tantangannya disitu. Walaupun sebelumnya saya dosen dan ada beberapa publikasi, tapi standard cara menulis dan alur berpikir logisnya cukup berbeda dan akhirnya kaya belajar lagi. Yang harus dipersiapkan untuk konfirmasi adalah proposal. Tiap departemen memang berbeda. Karena saya dibawah payung group penelitian, segala persetujuan etika nya udah ada. Jadi tidak perlu mengurus itu, dan ini sangat membantu.
Di tahun pertama ini memang tahun yang paling berat buat saya karena secara mental saya mengalami kekhawatiran. Saya gak tahu secara pasti apakah ini depresi atau stres, tapi jujur saya mengalami fase itu. Seakan dunia itu gelap, hati berat, saya selalu takut, pasti saya salah, pasti jelek ini perkembangan studi saya, ini pasti supervisor kesel banget, ini nanti pasti dimarah-marahin. Itu terjadi berulang-ulang. Ini dimana fase yang enggak terlihat ya secara fisik, tapi orang yang sering berinteraksi akan sadar.

Pernah ada rasa ingin menyerah?
Dalam kondisi saya yang sudah di sini bersama anak dan saya sudah diberikan beasiswa ini, pilihan menyerah akan membuat saya menjadi tidak bangga. Dan tidak ekonomis juga, terus kalau menyerah saya akan ngapain, pulang juga butuh uang juga. Ya terpuruk itu sudah pasti ya, yang pusing banget juga sudah pernah, namun coba dilewati aja, dicari jalan keluarnya dan saya yakin banget jawabannya ada dalam diri kita sendiri.

Yang saya rasakan yang paling susah dan berat adalah mata kuliahnya. Biasanya kita yang dari Indonesia memandang riset kualitatif itu mudah. Masalah kedua buat saya adalah masalah bahasa dimana kita yang bukan native speakers menulis akademik dengan Bahasa Inggris yang baik dan elegan.

Tadi mbak Angty kan bilang kalo sebenernya topik risetnya sudah ditentukan pihak kampus karena masuk ke dalam tim, berarti itu tidak menyelesaikan masalah ya?

Tidak sama sekali ya, hahahaha. Jadi PR nya lebih ke pada saat kita akan bikin penelitian itu rangkaian dari latar belakang teori sampai dengan konseptualisasi terus berlanjut ke kesimpulan itu kan rangkaian yang panjang ya. Dan untuk sampai pada satu teori saja berapa ratus bahan yang harus kita baca, sekitar 300 ratus untuk satu teori dan itu kita harus review, bikin pemikiran konseptual kita sendiri gimana dan itu saya ternyata agak ngawur di tahun pertama.

Punya supervisor yang strict itu ada bagusnya karena positifnya kita jadi sadar kadang kita masih ngawur, hahahaha,,,kadang teorinya apa kesimpulannya apa, hahaha. Kalo dibayangin memang satu teori aja 300-400 jurnal. Ini masih terpisah dari data collection dan analysis. Jadi ini yang cukup susah menurut saya pribadi. Seperti yang Mbak Kanti bilang bahwa penelitian kita analogikan selayaknya riset kita ini mau nimbrung ke sebuah percakapan yang sudah terjadi diantara sekian banyak peneliti yang melihat pada topik yang sama dan mereka sudah menulis mungkin 30-40 tahun lebih dulu daripada kita dengan pengetahuan yang sudah terakumulasi. Sementara kita anak baru yang lagi dilatih menjadi peneliti harus tahu paling tidak sudah dilakukan obrolan apa sih supaya kita tidak mengulang apa yang sudah pernah dibahas. Itu yang berat sebenarnya sehingga nanti bisa mengkontribusi pada area yang jadi fokus kita.
Bagaimana cara memahami teori?
Yang pasti membaca dan membaca. Kalo tambahan dari saya teori itu kan ada ujung teori besarnya, dibawahnya ada sub-sub cabang-cabangnya, nah tentukan yang paling relevan dengan kita yang mana dan kita harus paham betul posisi kita ada disebelah mana. Kalau lagi buntu banget, saya cari penjelasan yang ringan-ringan dulu mungkin dari Youtube atau Wikipedia, meski tetap berhati-hati ya karena kadang itu ditulis bukan oleh ahlinya. Harus selalu dilanjutkan cek dari sumber aslinya.
Bisa diceritakan matakuliah apa saja yang di ambil mbak Angty waktu itu?
Kalau disini, di bawah Business School itu ada banyak ya, ada Management, Marketing, Information systems, Actuaria dan banyak lagi. Masing-masing berbeda. Kebetulan saya ada lima mata kuliah, ada yang kualitatif, kuantitatif, advanced qualitative, dan landasan teori. Itu dispread dalam satu tahun. Beberapa matakuliah pilihan dan harus konsultasi ke supervisor. Maksudnya supervisor mengharuskan mengambil lima matakuliah namun mereka bisa merekomendasikan bahwa matakuliah ini-ini tidak terlalu relevan sehingga bisa dipindah ke matakuliah lain. Jadi mereka sangat memperhatikan relevansi apa yang kita pelajari sama topik penelitian kita. Jadi daripada kita mempelajari banyak landasan teori yang tidak berkenaan langsung dengan penelitian kita, lebih baik kita belajar methodology dan landasan teori yang berkenaan langsung dengan realnya penelitian kita. Jadinya kita juga pada akhirnya menguasai dan paham secara mendalam di bidang tersebut.
Lalu bagaimana mengatur waktu antara kuliah dan anak?
Di periode awal saya mengandalkan waktu ketika anak sekolah untuk fokus kerja. Namun jujur itu kurang, karena rentang waktunya cukup pendek, dari jam 9 atau 10 sampe jam 3 sore. Seru kalau ngomongin pembagian waktu.

Jadi sebenernya pagi jam 5 itu sudah bangun dan melakukan banyak hal, sholat, masak, persiapan untuk saya dan anak, mengantar ke sekolah, ke kampus untuk kerja, jemput anak pulang sekolah, terus ke rumah lagi. Biasanya malam berusaha untuk kerja lagi namun ya energi dan fokus kita sudah turun.

Jadi akhirnya di tahun kedua ini saya mengikutkan anak di program after school care (penitipan setelah jam sekolah) dan itu mesti bayar. Harganya masih terjangkau untuk standar sini. Sebenarnya di New South Wales ini ketika orangtuanya adalah PhD student, anak tidak bayar uang sekolah. Tapi skema ini berbeda-beda di setiap wilayah ya. Maksudnya gak semua anak yang sekolah itu bisa gatis. Setahu saya yang MBA itu gak semuanya digratisin. Jadi yang gratis nya memang yang untuk higher degree fokusnya untuk research. Jadi ini juga yang wajib dicek sebelum berangkat, apakah persyaratan untuk sekolah anak bisa gratis atau enggak.
Bisa cerita tentang skema beasiswa yang didapatkan?
Beasiswa saya dari Scientia, UNSW. Jadi di UNSW mereka punya fokus riset yang ingin mereka capai, semacam strategi penelitian. Jadi mereka ada sekumpulan profesor yang ada dalam team-team untuk mencapai tujuan strategis. Jadi suasana disini akhirnya berbeda karena profesornya akhirnya yang memimpin langsung penelitian, kita berada dalam teamnya. Maksudnya kalau skema lain kan biasanya beasiswa sendiri, supervisor sendiri tidak ada hubungannya.

Mengenai cara mendapatkan ini juga cukup menarik untuk dibahas. Awalnya saya mengemail supervisor yang awalnya juga belum pernah ketemu dengan beliau. Tak berapa lama kemudian, beliau ke Bali dan merespon email saya. Selanjutnya beliau meminta untuk melakukan video call. Ketika beliau akhirnya bersedia menjadi superviosr saya, beliau sendiri malah yang memasukkan saya ke jalur beasiswa Scientia ini. Awalnya saya sendiri tidak tahu beasiswa ini walupun sebenarnya ini beasiswa yang sangat bagus karena cukup untuk biaya hidup saya dan anak.

Syaratnya diantaranya Bahasa Inggris (IELTS) minimal 6,5-7 seingat saya dan ini agak berbeda-beda di setiap school, yang aman 7. Ada beberapa eai yang harus kita unggah, seperti motivation statement, profil and latar belakang akademik, dan hal-hal lain semcam itu. Wawancaranya itu pada saat saya di video call oleh supervisor. Cukup unik memang. Saya mengemail orang yang tepat disaat yang tepat. Kalau prosedur daftarnya tetap resmi lewat website kampus yang itu nanti akan terhubung langsung dengan rencana strategis penelitian dari UNSW. Websitenya https://www.scientia.unsw.edu.au/.
Pernah merasa kewalahan dengan semua kesibukan juggling antara menjadi ibu dan PhD student?
Dengan kondisi Covid-19 ini jujur agak ambyar semuanya. Kalo di kondisi normal, agak terbantu banget dengan after school care. Biasanya dimanfaatkan oleh anak-anak yang orang tuanya masih kerja, ya main-main aja sih, cuma ada yang ngawasi sampai jam 6 sore. Itu membantu sekali buat saya fokus bekerja dan kalo butuh lebih waktu bekerja biasanya di malam hari ketika si kecil sudah tertidur. Dilemanya adalah ketika saya bangun mau melanjutkan kerja juga kadang anak ikut bangun, hahaha.

Senin-Jum’at rutinitasnya seperti itu. Namun dengan kondisi Covid-19 ini dia di rumah terus. Tapi untungnya disini (awal Covid-19) masih boleh keluar dan ke kampus, entahlah dia malah lebih seneng di kampus. Jadi dari sekolah dia ada tugas. Dia sibuk sendiri di kampus, senang banget karena meja-meja juga kosong, ada beberapa orang saja, tidak terlalu ramai kayak biasanya, makanya saya juga lebih aman dan nyaman ajak dia ke kampus.

Akhirnya saya paham bahwa dikondisi tertentu anak bisa mengerti kondisi bundanya yang harus ikut reviu, mempersipkan jurnal, dll walaupun tidak sepenuhnya tapi si anak bisa lebih diajak kerjasama.

Perubahan apa yang paling mbak Angty rasakan?
Banyak sekali perubahan ya, contohnya dulu gak pernah masak. Lalu kondisi mengharuskan untuk masak yang sederhana paling tidak anak bisa makan. Yang paling penting ketika menjadi ibu itu, apa ya, selalu merasa bersalah karena saya merasa tidak terlalu banyak meluangkan waktu untuk untuk anak, tidak fokus dengan perkembangannya, saya gak kasih les calistung yang cukup karena waktunya yang gak ada. Ya pada akhirnya sebagai ibu harus bisa menangani itu semua dengan bijak.

Akhirnya saya berfikir, adakah sesuatu yang lebih yang bisa saya lakukan untuk bantu dia, ya gitu aja. Selanjutnya bener-bener lihat perkembangan dia. Kalau disekolah apakah dia perlu bantuan, apakah interaksi sosial dia baik. Ya saya sendiri sadar hal-hal tersebut gak bisa secara instan, butuh proses karena mereka sendiri belajar seiring dengan waktu seperti kita orang dewasa. Keuntungan sistem pendidikan di Australia itu melihat keunikan pribadi anak dalam artian tidak ada standar perkembangan anak.

Bagamana cara menagtur urusan disana setelah COVID-19?
Keluar masih boleh. Kampus masih buka. Fasilitas masih buka untuk dosen dan research students karena perkuliahan sudah online. Pernah ketika kerja anak rewel banget pas kerja ya pinter-pinternya kita kasih aktivitas ke anak. Toleransi supervisor terhadap mahasiswa/i PhD yang memililki anak di masa pandemik ini ya syukur aku dapat supervisors yang profesional. Sebelum pandemic ini juga saya sering meeting online dengan supervisors karena posisinya 1 supervisor di USYD dan satu kadang dateng kadang enggak.
Apa pesan mbak Angty untuk para mama yang ingin melanjutkan PhD ke luar negeri dan berangkat hanya dengan anak?
Pertama: tanyakan baik-baik kepada diri sendiri apa kita benar-benar menginginkannya. Kedua, siap atau tidak. Dan stelah itu harus memikirkan tekniknya disana nanti gimana, sekolah anak gimana, sekolah kitanya dimana. Secara fisik dan mental harus siap.

*Artikel ini adalah hasil wawancara Kanti Pertiwi yang telah ditayangkan pada instalive Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Eka Indah Nuraini dan diedit oleh Kanti Pertiwi

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: