Pratiwi Retnaningdyah: Tips menaklukkan TOEFL/IELTS dan seribu warna study PhD
“Planning ahead; Apa yang bisa aku lakukan sekarang, lakukan sekarang, sebelum nanti aku gak bisa melakukan apa-apa.”
Saya Pratiwi Retnaningdyah (Tiwi), dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Inggris di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Saya mendapatkan PhD dari The University of Melbourne, Australia, di bidang Social of Culture and Communication. Disertasi saya membahas praktek literasi pada buruh migran Indonesia yang sedang bekerja di Hongkong. Karena itu, saya mengambil data dari buruh-buruh migran yang aktif ikut kegiatan literasi seperti Forum Lingkar Pena, perpustakaan lesehan, blogger, dll.
Ada dua point yang akan saya bagikan pada postingan ini. Point pertama terkait TOEFL/IELTS, dan yang kedua terkait pengalaman saya saat menjalani studi PhD. Semoga dua point ini dapat membantu teman-teman yang sedang mencari referensi informasi terkait hal-hal tersebut.
Tips menaklukan TOEFL/IELTS
Bagi teman-teman yang masih berjuang untuk meningkatkan score TOEFL/IELTS, ada tiga tips yang dapat saya bagikan dari sudut pandang seorang dosen di bidang sastra Inggris:
a. Kenali dulu kemampuan (standing point) kita sebelum memulai mengambil ujian TOEFL/IELTS. Artinya, jika kita masih terbata-bata untuk menjawab pertanyaan sehari-hari dalam bahasa Inggris, maka mulai dulu untuk meningkatkan kemampuan akademik minimal – misalnya dengan mengambil kursus bahasa Inggris. Setelah kemampuan awal tercapai, barulah berfokus pada meningkatkan nilai TOEFL/IELTS.
“Kalau menjawab pertanyaaan yang simple saja masih terbata-bata, tidak usah memikirkan untuk menaikkan score TOEFL terlebih dahulu, karena perjalanan masih jauh”
b. Bila teman2 memilih untuk mengambil kursus, ada dua hal utama yang harus diperhatikan. Pertama, apakah tempat tersebut sesuai dengan budget. Kedua, cari tahu tujuan kita untuk ikut kursus, apakah untuk memperbaiki grammar (grammar-oriented) atau ingin lebih baik di pembicaraan sehari-hari. Karena untuk mencapai tujuan yang berbeda, diperlukan strategi yang berbeda pula. Misalnya, lebih banyak membaca dan materi listening yang mendalam akan membantu teman2 mengenali pembicaraan sehari-hari dalam Bahasa Inggris.
“Kalau mencari yang American English, British English atau Australian English saat ini tidak begitu pentinglah, karena bahasa inggris itu sudah lingua franca, World Englishes”
c. Perbanyaklah latihan dalam menjawab soal-soal TOEFL/IELTS. Hal ini penting karena kurang latihan adalah salah satu faktor kegagalan saat ujian TOEFL/IELTS. Terutama saat bagian speaking, peserta ujian sering merasa waktu yang disediakan tidak cukup karena gagap saat menjawab, dan tidak fokus karena teralihkan oleh video. Padahal soal ujian TOEFL/IELTS umumnya memiliki pola yang sama. Jadi, perbanyaklah latihan, latihan dan latihan. Menonton film berbahasa Inggris juga dapat menjadi opsi untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris: Kalau teman2 ingin menambah vocabulary, maka subtitle bisa dihidupkan saat menonton film, tapi jika ingin mengasah kemampuan listening maka subtitle tidak perlu dinayalakan.
A PhD and Cancer Survivor
Saya menjalani studi PhD ditemani anak, sedangkan suami berada di Indonesia karena urusan pekerjaan. Tentu saja ini bukan hal mudah, apalagi ditambah dengan perjuangan melawan kanker selama studi PhD. Saya pertama kali terdiagnosis kanker payudara saat menjalani tahun kedua studi PhD. Saat itu, saya diberikan waktu dua bulan oleh dokter sebelum memulai rangkaian pengobatan.
“Saat dikasih waktu dua bulan itu, aku cuma berpikir, yaudah, let’s Plan ahead; Apa yang bisa aku lakukan sekarang harus aku lakukan sekarang, sebelum nanti aku gak bisa melakukan apa-apa”
Dalam dua bulan itu, hal pertama yang saya lakukan adalah menelepon suami untuk merencanakan apa yang harus dilakukan. Suami akhirnya memutuskan untuk ambil cuti dari pekerjaan untuk menemani anak-anak di Australia saat saya menjalani pengobatan. Selama dua bulan, saya juga menyelesaikan semua kewajiban akademik yang harus dikerjakan untuk 6 bulan kedepan. Sehingga saat menjalani kemoterapi, saya tidak perlu lagi memikirkan tentang tugas-tugas kuliah.
“Dalam dua bulan itu aku emang push diri aku. Nangis boleh, sedih boleh, tapi jangan sampai aku terpuruk,”
Akhirnya, saya harus mengambil cuti selama 6 bulan dari kampus untuk fokus kemoterapi dan perbaikan Kesehatan. Setelah itu, tiga minggu sekali saya bolak-balik ke Rumah Sakit untuk terapi selama satu tahun. Sampai saat ini, saya tetap rutin melakukan pemeriksaan ke dokter setiap 6 bulan sekali.
Masa kuliah dulu tentu saja masa yang indah untuk dikenang, tapi tidak untuk diulang. Apalagi semenjak banyaknya waktu luang di masa pandemi ini yang membuat saya teringat waktu antara selesai kuliah sampai menjemput anak – yang saya sebut “Me-time” karena saya bisa fokus untuk menyelesaikan tesisnya dan fokus untuk dirinya sendiri.
“Saat kondisi normal, kita pasti berpikir, aku bisa gak ya? Kok bisa ya orang seperti itu? Tapi saat kita di hadapkan pada kondisi-kondisi abnormal, percayalah akan adanya kekuatan-kekuatan yang tanpa kita sadari ternyata ada pada diri kita. Contohnya ya saat pandemi ini. Ini hanya soal bagaimana learn how to embrace the difficult time.”
*Artikel ini adalah hasil wawancara Kanti Pertiwi yang telah ditayangkan pada instalive Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Imi Surapranata dan diedit oleh Amelia.
0 Comments