Amalia M. Utami: Tentang studi PhD, satgas Covid-19, dan mengurus 2 anak
Hai! Perkenalkan saya Amy, staf dosen muda di Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Penelitan PhD saya terkait kelainan pembuluh darah pada kulit dan jaringan lunak. Meski sedang studi PhD, saat ini saya juga kebetulan berperan sebagai tim satgas Covid-19 Universitas Hasanuddin bagian edukasi dan pendanaan. Saya membantu tim Satgas Covid-19 Unhas secara online, walaupun sekarang sudah tidak sesibuk awal pandemi.
Pulang ke Indonesia karena Covid
Bulan April lalu, saya memutuskan untuk pulang bersama dengan kedua anak saya (yang juga ikut ke Belanda) karena beberapa waktu lalu suami sempat sakit, walaupun bukan Covid-19.
Bulan Juni kemarin, saya sudah kembali ke Belanda karena anak-anak saya harus kembali ke sekolah. Harus diakui, Covid memberikan dampak besar bagi proses riset saya. Pertama, pihak rumah sakit menghentikan semua kegiatan riset pada awal masa pandemi. Kedua, supervisor saya juga memiliki tugas terkait otopsi jenazah Covid-19 yang membuat proses supervisi juga cukup terganggu karena tanggung jawab tambahan tersebut. Ketiga, labolatorium tidak bisa diakses pada saat itu.
Walaupun sekarang kondisi di laboratorium sudah sedikit lebih fleksibel, tapi semua proses kegiatan riset menjadi terhambat karena banyaknya aturan baru akibat pandemi. Dari 7 proyek studi PhD saya, saya baru menyelesaikan lima, 1 dalam masa mengolah sampel, dan satu sisanya belum bisa dimulai.
Bagi saya, Covid-19 adalah kejadian luar biasa yang memberi dampak besar. Alhamdulillah ada beberapa toleransi yang diberikan dari pihak kampus. Misalnya, ada beberapa mahasiswa yang sudah hampir habis kontrak penelitiannya dan tidak dapat melanjutkan riset (karena covid-19), maka jumlah bab thesisnya dikurangi. Intinya, banyak siswa yang perlu mencari jalan agar risetnya bisa dilakukan dengan kondisi terbatas. Dampak ini bukan hanya untuk yang bekerja di lab, tapi juga mereka yang riset tanpa laboratorium. Rekan-rekan saya yang melakukan survey atau wawancara harus menghadapi kendala karena tidak ada orang yang menjadi partisipan riset.
Covid juga berdampak pada pengeluaran mahasiswa. Alhamdulillah beberapa dari kami awardee beasiswa LPDP yang berada di tahun terakhir masa studi mendapatkan perpanjangan masa studi.
Program PhD Kedokteran di Belanda
Secara umum, kuliah PhD Kedokteran di Belanda bisa dikatakan termasuk yang rumit jika dibandingkan dengan negara lain. Misalnya, PhD kedokteran di Belanda wajib untuk mempublikasi 3 article sebagai penulis pertama ke jurnal. Tapi kriterianya memang berbeda-beda, kembali lagi sesuai permintaan supervisor. Untuk PhD kedokteran, tidak semua berbasiskan laboratorium. Pada program yang saya ambil, proses PhD diawali dengan melamar pada proyek penelitian di universitas di Belanda. Proyek ini adalah joint-research antara Unhas dan University of Amsterdam.
Saya memilih Belanda karena kebetulan waktu itu sedang membuka lowongan untuk PhD. Saya melamar dengan topik project atau penelitian yang sudah ada sebelumnya. Artinya, saya melanjutkan topik riset PhD yang sebelumnya dilakukan bersama tim. Dalam program PhD juga tidak ada perkuliahan, tetapi ada pilihan untuk mengambil kursus-kursus yang membantu penelitian. Jika mahasiswa PhD ingin mengikuti kelas, biasanya memilih kelas dalam Bahasa Inggris.
Menjalani program PhD di Belanda itu layaknya orang bekerja, ada yang dibayar dan ada yang tidak, tergantung kebijakan kontrak masing-masing, dan semua ada untung ruginya. Akan mendapat gaji apabila masuk PhD melalui jalur Belanda dengan mendapatkan grant, dan tidak digaji bila kita masuk melalui jalur beasiswa. Kalau kita tidak digaji, kita bisa mengatur waktu supaya selesai (tepat waktu). Sedangkan bila dibayar dan ternyata anggaran projectnya habis sementara projectnya belum selesai, PhDnya juga (bisa) tidak selesai. Saya pribadi menjalani PhD dengan skema beasiswa tidak digaji, sehingga bisa push supervisor untuk membantu – karena kami yang membawa dana risetnya dari beasiswa kami.
Saran saya terkait persiapan studi, penting untuk teman-teman mempersiapkannya sebaik mungkin. Jangan lupa untuk meminta saran dari orang yang sudah berpengalaman. Misalnya dalam meminta surat rekomendasi, sedapat mungkin teman-teman harus meminta dari orang yang benar-benar mengetahui dan pernah bekerjasama secara profesional.
PhD dan Keluarga
Ada cukup banyak mahasiswa PhD di Belanda yang studi bersama keluarga. Saya sendiri membawa serta kedua anak saya ke Belanda. Walau harus berjauhan dengan suami, Alhamdulilah suami saya sangat mendukung. Tidak mudah mendapat pasangan yang bisa mendukung kita, sabar menunggu anak dan istrinya yang sedang jauh. Suami biasanya datang ke Belanda tiap libur lebaran dan natal. Saya sudah punya perjanjian dengan supervisor untuk bisa pulang ke Indonesia tiap 3 atau 4 bulan, walaupun pulangnya tidak lama – biasanya hanya seminggu. Tapi semenjak pandemi Covid-19, ini tidak dapat dilakukan.
Sebagai mahasiswa PhD di Belanda, saya merasa jadwal pekerjaannya cukup fleksibel. Tidak masalah mau datang jam berapa, yang penting pekerjaan dapat diselesaikan. Tapi kalau sudah terkait weekly work discussion, sifatnya wajib dan supervisor saya selalu mengevaluasi progress saya.
Terkadang saya membawa anak ke lab pada hari Sabtu atau Minggu. Tapi semenjak pandemi, inipun tidak dapat dilakukan. Saya juga punya support system antar rekan PhD di Amsterdam. Pada saat misalnya tidak dapat menjemput anak dari sekolah, Alhamdulillah bisa minta tolong sama teman untuk membantu. Beliau menjemput terlebih dahulu, kemudian saya menjemput anak saya sore harinya di rumah beliau. Banyak yang studi dengan membawa keluarga juga di Amsterdam, jadi semua bisa saling membantu.
*Artikel ini dikemas ulang dari tayangan instalive di Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Resya Kania dan diedit oleh Kanti Pertiwi untuk phdmamaindonesia
0 Comments