Tutin Aryanti: Tentang berburu supervisor dan beasiswa studi PhD di US
“Pertama, yang saya persiapkan untuk melanjutkan studi adalah membuat proposal dan mencari supervisor yang memiliki ketertarikan bidang yang sama. Tidak semua kampus di US memiliki program studi yang menawarkan bidang ilmu yang sesuai dengan minat kita. Menurut saya selain kemampuan intelektualitas, salah satu faktor keberhasilan dalam melanjutkan studi ke luar negeri dan meraih beasiswa Fulbright adalah telah memiliki supervisor yang sebidang dan tertarik dengan proposal riset yang kita tawarkan sebelumnya”.
Tutin Aryanti, dosen di Universitas Pendidikan Indonesia program studi Arsitektur, alumni Fulbright (2007) – Architecture and Gender Studies University of Illinois Urbana–Champaign.
Berburu Beasiswa dan Universitas
Sejak tahun 2006 saya mulai mencari peluang S-3 ke luar negeri atas persetujuan suami. Keputusan untuk sekolah lanjut ke luar negeri memang bukan keputusan saya pribadi. Keluarga adalah pertimbangan utama saya dalam melanjutkan studi dan menentukan pilihan universitas.
Saya berpikir bahwa jika saya mendapat kesempatan belajar dan hidup di luar negeri, maka keluarga saya harus juga turut merasakan pengalaman dan memperoleh hal-hal positif di sana.
Saya dan suami berprinsip bahwa jika saya ingin sekolah lagi, keluarga tidak boleh ditinggal. Semua harus maju bersama-sama dan sama-sama merencanakan. Mungkin juga karena suami saya pekerjaannya freelance, sehingga memudahkannya untuk selalu bersama-sama dengan keluarga.
Awalnya saya ingin melanjutkan studi ke Eropa, namun tawaran beasiswa untuk studi ke Eropa pada saat itu amat terbatas, tidak seperti sekarang dimana penawaran beasiswa ke luar negeri sudah cukup banyak dan beragam, beasiswa LPDP misalnya. Saya pun mencoba mendaftar beasiswa ke Australia melalui program AusAid, namun gagal. Padahal beasiswa tersebut menyediakan bantuan biaya untuk keluarga. Akhirnya, saya memutuskan untuk melanjukan studi ke Amerika melalui beasiswa Fulbright. Meski Fulbright tidak memberikan bantuan biaya hidup untuk keluarga, program beasiswa ini memberikan bantuan pengurusan dan biaya visa mereka.
Saya mulai mengontak beberapa profesor untuk bersedia menjadi supervisor sebelum melakukan pencarian beasiswa. Saya mencari profesor yang sesuai dengan bidang studi saya, kemudian saya kirimkan email beserta proposal. Mengirimkan proposal terlebih dahulu akan memberikan gambaran bidang kita ke profesor yang kita tuju sehingga kita akan dapatkan profesor yang sesuai dengan bidang kita. Tidak banyak profesor yang membalas email saya dan ada juga profesor yang menolak karena tidak tersedia program S-3 di tempatnya atau bidang studinya tidak sama persis.
Dari proses itu saya menjadi tahu bahwa intelektual dan prestasi bukan menjadi hal utama dalam melamar S-3, tetapi orang yang mau membimbing kita adalah yang utama.
Dalam penyusunan proposal, saya mengambil topik dari tesis saya sebelumnya, yaitu studi tentang bagaimana pola pemisahan ruang antara laki-laki dan perempuan di dalam masjid. Sebelum mengirimkan ke profesor, saya konsultasikan terlebih dahulu draf proposal saya ke kakak kelas dan dosen (ini menunjukkan betapa pentingnya berjejaring) mengenai isi dan tata bahasa dari proposal saya.

Dosen saya sangat mendukung persiapan saya melanjutkan studi, Beliau banyak membantu mencarikan profesor dan mengajari saya menulis personal statement. Proses konsultasi itu berlangsung tidak hanya sekali, tetapi hingga berkali-kali. Jika proposal itu dibaca saat ini, tampak sekali kekurangannya terutama dalam penyusunan kalimatnya (dalam Bahasa Inggris). Akan tetapi, jika profesor sudah tertarik dengan topik kita, insyaallah bisa diperjuangkan.
Setelah saya berada di lingkungan UC (Urbana-Champaign), saya menjadi tahu bahwa jumlah pelamar saat itu sebanyak 50 orang dan yang diambil hanya 2 orang termasuk saya. Pada saat itu memang ada satu profesor yang ingin sekali membimbing saya dan sudah menyatakan bersedia. Jadi, hal utama yang diperhatikan saat ingin studi S-3 adalah mendapatkan profesor terlebih dahulu.
Setelah mendapatkan profesor, saya pun mendaftar beasiswa Fulbright. Ketika wawancara, saya menunjukkan bukti bahwa sudah ada profesor yang setuju untuk membimbing saya meskipun tidak ada ketentuan dari Fulbright untuk pelamar memiliki Letter of Acceptance terlebih dahulu. Akhirnya, saya pun lolos seleksi beasiswa Fulbright. Tahapan berikutnya adalah proses pendaftaran di beberapa universitas di US. Pelamar yang lolos beasiswa Fulbright akan resmi menjadi grantee setelah mendapatkan acceptance dari universitas. Proses ini sepenuhnya difasilitasi oleh Fulbright.
Setelah mengetahui bahwa saya diterima di University of Illinois Urbana–Champaign, saya mulai mencari informasi tentang kehidupan mahasiswa yang sekolah bersama keluarga. Saya mulai mengontak beberapa teman yang sudah berada di Amerika untuk mencari kenalan sesama orang Indonesia yang sedang berkuliah di kampus yang sama. Saya banyak mendapatkan informasi dari mereka tentang biaya hidup, sekolah anak, dan bagaimana tantangan studi bersama keluarga disana. Saya bahkan meminta tolong dicarikan university housing sehingga saya sudah memiliki tempat untuk tinggal setibanya saya di sana. Hal ini sebenarnya juga saya lakukan untuk menunjukkan kepada Fulbright bahwa saya memiliki persiapan yang matang untuk membawa keluarga sebelum saya berangkat.
Saya berkeinginan untuk sejak awal keluarga saya ikut berangkat. Ada aturan Fulbright yang tidak mengijinkan para grantee untuk membawa keluarga sampai dengan 6 bulan pertama dengan tujuan agar para grantee bisa fokus beradaptasi dengan kehidupan dan rutinitas yang baru. Kebetulan saya berkesempatan untuk bertemu dengan staf dari Fulbright dan melakukan negosiasi dengan menunjukkan kepada mereka bahwa saya memiliki persiapan yang matang untuk saya dan keluarga saya. Singkat kata, saya berhasil meyakinkan mereka dan sayapun sejak awal bisa berangkat bersama sama dengan suami dan anak-anak saya.
Satu hal yang perlu dipersiapkan para grantee jika membawa keluarga adalah penjaminan dana sebagai bukti kesanggupan secara finansial untuk para dependents. Jaminan untuk dependent 1 alokasinya 50% dan dependent 2 dan seterusnya masing-masing 25% dari biaya hidup sendiri selama satu tahun. Saya banyak mendapatkan bantuan dari keluarga saya pada waktu itu.
Selama masih menerima pendanaan dari beasiswa Fulbright, grantee tidak diperbolehkan mendapat tambahan biaya selain Fulbright, kecuali biaya yang tidak dicover oleh Fulbright. Biaya hidup yang disediakan pun bisa berbeda-beda antar grantee, tergantung kota dimana kita studi, karena biaya hidup di setiap kota bisa berbeda-beda. Di tahun pertama dan kedua, saya mendapatkan tambahan beasiswa internasional yang memang ditujukan untuk meng-cover biaya dependents.
Tips Persiapan Bahasa
Anak-anak saya relatif cepat belajar dan beradaptasi bahasa. Bahasa Inggris mereka sangat minim ketika berangkat tapi dalam waktu kira-kira hanya satu bulan mereka sudah bisa berbicara dengan orang lain dalam Bahasa Inggris. Sedangkan kemampuan Bahasa Inggris saya pas-pasan. Saya tidak sempat belajar banyak Bahasa Inggris karena sibuk dengan persiapan membawa keluarga ke Amerika. Nilai TOEFL saya juga pas-pasan. Profesor saya di sana bahkan berkomentar supaya bahasa Inggris saya diperbaiki, khususnya dalam menulis. Di Indonesia, kita kurang dibiasakan menulis. Oleh karena itu, saya selalu menugaskan kepada mahasiswa untuk menulis. Kita sendiri juga perlu terus mengasah kemampuan menulis. Jangan sampai ide bagus kia tidak mendapat kesempatan atau gagal disampaikan karena terbatas oleh kemampuan menulis dan berbahasa Inggris kita.
Tips Sukses Meraih Beasiswa Fulbright
Untuk dapat memenangkan beasiswa Fulbright, sebaiknya kita memilih topik yang menjadi ketertarikan profesor di luar negeri, biasanya yang berkaitan dengan isu global.
Cara mengidentifikasi topik menarik adalah dengan banyak membaca. Untuk topik ilmu sosial, biasanya topik yang membawa kelompok marjinal akan disukai.
Bila sudah mendapatkan profesor yang tertarik dengan kajian kita, sebutkan hal ini di personal statement profesor. Saat wawancara, cetak email dari profesor sebagai bukti.
Milestone Studi di Amerika Serikat
Perkuliahan dan Preliminary Exam
Studi di US mewajibkan mahasiswa PhD untuk mengambil kelas yang biasanya dilakukan pada tahun pertama dan kedua. Saya waktu itu harus mengambil kelas dan memenuhi 32 credit hours. Kredit ini sebenarnya bisa ditransfer apabila di Indonesia sudah mengambil S-2. Misalnya, di sana wajib mengambil kelas Statistika dan saat S-2 sudah mengambil kuliah Statistika. Nilai Statistika saat S-2 bisa ditransfer. Tetapi, saya butuh belajar dari awal sehingga saya memutuskan untuk mengambil kelas. Selain itu, saat pengambilan kelas adalah kesempatan untuk mengenal profesor yang bisa dijadikan bagian dari committee members untuk disertasi.
Sebagai mahasiswa PhD penerima beasiswa, setiap semester saya diwajibkan mengambil minimal 12 credit hours ditambah dengan 4 credit hours saat summer. Sebenarnya saya sudah bisa menyelesaikan seluruh kewajiban kredit perkuliahan dalam jangka waktu 1,5 tahun. Namun sistem pendidikan di Amerika mewajibkan mahasiswanya untuk memiliki bidang yang interdisciplinary sehingga selain menekuni major (bidang studi utama) saya juga diharuskan untuk mengambil minor (bidang studi tambahan). Kalau saya, majornya adalah arsitektur, sedangkan minornya adalah gender studies dan islamic studies karena dua minor studi tersebut terkait dengan topik proposal disertasi saya tentang gender di masjid.
Setelah 32 credit hours selesai, ada ujian yang disebut dengan prelimenary exam. Ujian ini harus ditempuh oleh seluruh mahasiswa PhD setelah menyelesaikan semua courses. Preliminary exam tersebut dilaksanakan selama dua hari. Ujiannya berupa menjawab soal dalam bentuk esai dan presentasi proposal.
Penelitian Lapangan, Penulisan Disertasi dan Defense (catatan tentang penelitian lapangan dan studi etnografi banyak dimuat di dalam buku PhD Mama Indonesia)
Setelah melalui tahapan preliminary exam, saya pulang ke Indonesia untuk melakukan penelitian lapangan selama 11 bulan. Sebelum memulai studi lapangan, ada kegiatan independent reading bersama professor. Kegiatan tersebut adalah membuat kajian literatur yang mendukung proses studi lapangan. Misalnya topik yang akan dikaji adalah tentang isu gender di masjid. Literatur yang dibaca adalah mengenai islamic studies, post-structuralis, post-colonial, dan feminism. Setelah membaca beberapa literatur, saya membuat rangkuman lalu mengirimkannya ke professor untuk diberi saran dan diskusi lebih lanjut.
Saat kembali ke Indonesia untuk fieldwork di tahun 2010, saya pulang dengan perasaan senang, tetapi rindu dengan Amerika. Perjuangan-perjuangan berat saat itu kami hadapi. Salah satunya pada kedua anak saya yang duduk di bangku sekolah kelas 1 dan 4 SD. Anak saya mengalami kesulitan belajar di SD karena bahasa sehari-hari di sekolah adalah Bahasa Jawa. Meskipun demikian, masa tinggal selama 11 bulan di Yogyakarta itu memberikan banyak kenangan dan pelajaran untuk kami sekeluarga.
Setelah mendapatkan data dari studi lapangan di Indonesia, saya-pun kembali ke Amerika. Perlu diketahui bahwa pada saat itu beasiswa Fulbright sudah tidak lagi meng-cover biaya saya selama di US. Beasiswa Fulbright hanya memberikan dana kepada semua grantee selama tiga tahun. Setelahnya, para Fulbrighter biasanya mendapatkan dana melalui assistantship, baik menjadiTeaching Assistant atau Research Assistant di kampusnya masing-masing. Sedang saya waktu itu mencoba mencari jalan lain dengan melamar beasiswa internasional. Menjelang kembali ke Amerika Serikat, saya mendapat kabar baik bahwa saya lolos seleksi dua beasiswa dari sekitar 20-an beasiswa internasional yang saya lamar sehingga saya tidak perlu lagi memikirkan biaya selama tinggal di US.
Di tahun keempat dan kelima ini saya fokus menulis disertasi. Anak-anak kembali sekolah, sedangkan suami juga bekerja agar bisa membantu biaya hidup selama di US. Sebagai penerima beasiswa Fulbright, saya mendapatkan visa J1 dan suami saya mendapatkan visa J2. Dengan visa J2, suami saya bisa memperoleh working permit dan bisa digunakan untuk bekerja full-time. Sedangkan, untuk pemegang visa J1 hanya diperbolehkan bekerja part-time. Biasanya, international student akan mendapatkan visa F1 dan untuk dependent mendapatkan visa F2. Untuk pemegang visa F1 dan F2 tidak diperkenankan bekerja selama di Amerika.
Saya menulis draf chapter demi chapter dan mendiskusikannya dengan adviser saya. Saya bisa menulis di mana saja, tidak harus di apartemen atau dikampus. Saya pernah menulis di pinggir danau, sedangkan suami dan anak-saya asyik memancing. Setelah seluruh draf selesai ditulis, draf tersebut diserahkan ke committee members yang sudah dipilih. Dalam proses pemilihan committee members, saya berdiskusi dengan adviser. Para committee members akan diberi waktu 1.5 – 2 bulan untuk membaca. Setelah itu, waktu untuk melakukan defense baru ditetapkan.
Defense diselenggarakan dalam satu hari yang terdiri dari ujian terbuka dan tertutup. Ujian yang pertama dilaksanakan adalah ujian terbuka yang memperbolehkan kita mengundang orang dari luar. Ada sekitar 20 orang yang hadir pada saat itu. Setelah ujian terbuka selesai, ujian tertutup dilaksanakan pada hari yang sama. Saat ujian tertutup, seluruh anggota committee members yang terdiri dari empat orang tersebut memberi masukan yang sangat kritis terhadap draf disertasi saya. Kemudian saya diberikan waktu untuk merevisi draf tersebut berdasarkan seluruh masukan yang telah diberikan selama ujian tertutup.
Karena berbagai hal dan pertimbangan, kami putuskan untuk pulang ke Indonesia setelah selesai defense. Proses revisi draf saya lakukan di Indonesia dan menurut saya lebih berat karena harus membagi waktu dengan pekerjaan lainnya. Saya sudah mendapatkan tugas mengajar meskipun studi saya sebenarnya belum sepenuhnya selesai. Belum lagi, saya juga disibukkan dengan urusan adaptasi anak-anak di sekolah baru mereka. Setelah direvisi, draf dikembalikan lagi kepada anggota komite untuk memastikan revisi sesuai dengan apa yang mereka maksudkan, Sambil menyelesaikan revisi tersebut, saya mulai mengirimkan artikel ke jurnal. Alhamdulillah, rasanya lega sekali ketika studi S3 dapat saya selesaikan dengan baik meskipun saya tidak mengikti wisuda.
Hasil penelitian studi S-3
Disertasi saya menggali segregasi dan penggunaan ruang masjid berdasarkan gender. Kajian tentang gender pada masyarakat Muslim di Barat umumnya melihat segregasi dan berhijab sebagai bentuk deskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Perspektif ini cenderung mengabaikan pandangan subyek sementara mereka memiliki pandangan dan pengalaman mereka sendiri. Penelitian saya tertarik untuk mengetahui lebih dalam apakah makna dari pembagian ruang tersebut dari perspektif subyek. What it means to be segregated? Oleh karena itu saya memandang metode etnografi sebagai sebuah cara yang tepat untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Penelitian saya lakukan di Kampung Kauman, Yogyakarta. Di kampung tersebut terdapat 2 musala khusus putri, salah satunya adalah Musala Aisyah. Tidak seperti musala lainnya, musala Aisyah memiliki banyak kegiatan rutin yang berfungsi sebagai pusat pendidikan perempuan. Penelitian saya mengungkap bahwa adanya pemisahan tempat salat berdasarkan gender memungkinkan para perempuan menjadi lebih berdaya. Ketika berinteraksi dengan laki-laki, mereka memiliki suara dan bahkan dimintai pendapat. Pada kondisi yang bercampur, para perempuan seringkali tidak dimintai pendapat dalam berdiskusi dan hanya diwakili oleh laki-laki. Ternyata saya menemukan di lapangan bahwa segregasi tersebut justru memberikan ruang kepada perempuan untuk bersuara dan memberikan pendapatnya.
Perbandingan Penelitian di Amerika dan Indonesia
Ketika membaca berbagai makalah bidang ilmu sosial, ternyata masih banyak kekurangan dalam kita melihat satu permasalahan sosial secara kritis dan mengaitkannya dengan teori-teori besar. Ini menjadi salah satu tantangan besar ketika studi di Amerika karena harus banyak membaca dan bahan bacaannya tergolong sulit. Riset dengan kacamata post-structuralist atau post-colonialist di Amerika khususnya untuk social scientists sangatlah banyak dan cukup dominan. Keadaan ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan di Indonesia. Untuk publikasi di jurnal internasional, kita masih dianggap kurang kritis; pembahasan dan landasan teorinya dianggap masih kurang kuat. Kalau di Indonesia, kebanyakan orang berpikir bahwa arsitektur adalah bagian dari engineering dan menggunakan pendekatan positivist. Kajian seperti yang saya lakukan belum banyak dilakukan karena orang seringkali fokus pada aspek estetika dan aspek fisik lainnya ketika mengkaji arsitektur. Ketika saya melakukan penelitian untuk disertasi saya, penggabungan arsitektur dengan antropologi dan etnografi justru menjadi poin leboh, karena tren keilmuan di negara maju adalah interdisciplinary.
*Tutin Aryanti adalah dosen dan Ketua Program Studi Arsitektur di Universitas Pendidikan Indoensia, Istri seorang arsitek lepas, dan ibu dari 3 anak laki-laki. Ia meraih gelar sarjan dan magister dalam bidang Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung. Studi doktoral diselesaikan Tutin di University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat. Disertasinya yang berjudul Breaking the Wall, Preserving the Barriers: Gender, Space, and Power in Contemporary Mosques in Yogyakarta, Indonesia terpilih sebagai The Best Dissertation in Social Science oleh International Convention of Asia Scholars (ICAS) 2015. Bidang kajian Tutin berkisar pada sosio arsitektur, isu gender dalam ruang dan arsitektur, serta arsitektur Islam. Di sela kesibukannya mengelola prodi, mengajar, dan melakukan berbagai kewajiban sebagai dosen, ia sangat menikmati perjalanan darat dan jalan-jalan di alam bebas dengan keluarga, serta berkebun. Tutin Aryanti dapat dihubungi di email: tutin@upi.edu.
*Artikel ini adalah hasil wawancara Kanti Pertiwi yang telah ditayangkan pada instalive Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Eka Oktavia Kurniati dan diedit oleh Netty Herawaty.
1 Comment
hasan · October 22, 2020 at 2:07 pm
tulisan sangat menarik bu. Jazakallah