Antung Pandangwati: Tentang Amanah Abah dan Tiga Tanjakan Menuju Studi PhD

Published by phdmamaindonesia on

Hai Mbak Antung, terima kasih sudah berkenan sharing untuk phdmamaindonesia. Apa hal yang paling membekas tentang proses mempersiapkan studi?

Hai Mbak Kanti. Kilas balik studi saya, waktu itu tahun 2013 adalah tahun yang terberat dalam hidup saya. Diabetes yang Abah (Ayah) derita menimbulkan komplikasi jantung. Ketika Abah sedang opname, saya sempatkan untuk datang saat istirahat makan siang di kampus tempat kerja saya sebagai dosen. Hal yang paling sering kami obrolkan waktu itu adalah soal rencana melajutkan studi. Abah sangat mendukung untuk sekolah ke luar negeri.

“Cita-cita Abah pengen lihat kamu jadi doktor, Nok (panggilan akrab untuk saya).” Saya masih sering berkaca-kaca tiap kali mengingat hal itu.

Suatu hari tepatnya di bulan Februari, Abah pergi meninggalkan dunia. Saya cium pipi abah, mengucapkan selamat jalan, dan saya bisikkan permohonan maaf, saya berjanji untuk mewujudkan mimpi Abah. Siapa menyangka tak lama sesudahnya saya mendapatkan sebuah beasiswa bergengsi untuk sekolah S2 di Australia. Amanah Abah menjadi salah satu motivasi terbesar untuk sekolah tinggi.

Abah ingin melihat saya menjadi doktor, sehingga bisa menjadi orang yang kuat, bisa mengembangkan diri sendiri, kemudian bisa membantu keluarga dan membantu masyarakat di sekitar.

Tak cuma itu. Abah juga dulu pernah berpesan, “Mas Nanang (suami) dan Tisti (anak) harus ikut kamu sekolah ya, jangan ditinggal. Jangan pisah-pisah.” Pesan itu yang saya ingat-ingat betul sampai sekarang.

Sejak kapan keinginan studi PhD muncul?

Pada awal masa studi S2 saya di University of Melbourne, saya tidak memiliki rencana untuk mengambil S3 dalam waktu dekat. Beberapa rekan saya mengatakan bahwa S3 itu berat dan butuh pengalaman penelitian yang cukup mumpuni. Saya merasa belum memiliki kemampuan yang mencukupi. Rencana saya waktu itu, saya selesaikan S2 dulu, baru kemudian mendaftar S3 setelah dua atau tiga tahun pulang ke tanah air. Namun, pada tahun ke dua studi S2, saya berubah pikiran. Saya ingin mengambil S3 segera setelah lulus S2 nanti.

Mengapa harus studi PhD?

Ya, ini tidak terlepas dari pekerjaan saya sebagai seorang dosen. Kalau belum doktor ya karirnya tidak bisa optimal. Maka, saya dan suami akhirnya sepakat untuk segera saja menyelesaikan kewajiban tersebut setelah saya lulus S2. Setelah itu, saya dan suami bisa kembali ke tanah air dan bersama-sama mengembangkan karir di sana. Saya berharap setelah S3 nantinya dapat fokus pada pengembangan karir dan pengabdian masyarakat ketika kembali mengajar di institusi tempat saya bekerja. Kemudian suami saya juga bisa fokus merintis dan membesarkan usahanya kembali. Skenario ini mungkin yang terbaik untuk saya, suami, dan anak. Jadi, kami bisa selalu bersama-sama.

Namun, saya juga sadar bahwa mengambil Ph.D. itu berarti saya dan keluarga harus siap untuk prihatin, kata orang Jawa. Banyak penelitian juga yang menemukan bahwa mahasiswa Ph.D. rentan terhadap gangguan jiwa. Hal ini memperlihatkan bahwa jenjang pendidikan tertinggi ini memang tidak main-main beratnya. Berbeda tantangannya dengan ketika mengambil S2.

Jadi, mengambil jalan ini seperti menelan obat pahit agar menjadi lebih baik ke depan.

Bisa ceritakan seperti apa proses seleksi admisi untuk diterima di kampus tujuan studi? 

Ya Mbak, proses selanjutnya sempat diwarnai kegagalan. Setelah wisuda S2 di bulan Desember 2015 dan kembali ke tanah air, saya melakukan aplikasi secara online. Karena saya bekerja pada pagi dan siang hari, saya mengerjakan aplikasi online ini pada saat sore hari setelah jam kerja atau ketika hari libur di rumah. Proses admisi saya sejauh itu berjalan lancar dan tepat waktu, meski saya menunggu cukup lama untuk mendapatkan hasilnya, yaitu sekitar tiga sampai empat bulan. Siapa sangka, hasilnya tak sesuai harapan, aplikasi saya dinyatakan gagal!

Terdapat penjelasan yang isinya kurang lebih mengatakan bahwa proses seleksi sangat ketat dan proposal saya kurang kompetitif dibandingkan proposal dari pelamar lainnya. Hal ini cukup mengherankan buat saya karena biasanya jika sudah mendapat persetujuan dari pembimbing, pelamar akan diterima dengan syarat perbaikan proposal dengan jangka waktu tertentu. Ya, barangkali proposal saya masih belum layak. Berita ini saya sampaikan kepada pembimbing saya lewat email. Kemudian, beliau menyarankan saya untuk mencoba lagi mendaftar di fakultas lain secara simultan.

Dalam komunikasi kami, tak disangka-sangka beliau memberitahukan bahwa pada semester depan beliau akan pindah mengajar di salah satu universitas di Denmark! Informasi ini cukup mengejutkan karena pada saat berdiskusi mengenai rencana studi lanjut saya, beliau tidak pernah menyinggung mengenai hal ini.

Inilah salah satu contoh tantangan studi S3 di negara maju. Pembimbing dapat tiba-tiba memutuskan untuk pindah universitas. Mobilitas akademisi cukup tinggi. Jadi, harus siap untuk ganti pembimbing atau mengikuti pembimbing pindah ke lain universitas bahkan ke lain kota.

Kegagalan di universitas pilihan pertama saya ini sejujurnya cukup mengecewakan. Namun saya mencoba untuk menatap ke depan dan menata srategi baru. Saya kemudian mulai mencari informasi di internet mengenai proses admisi di universitas-universitas lain yang sekiranya memiliki dosen yang bidang penelitiannya sesuai dengan proposal saya. Berdasarkan hasil pencarian tersebut, tenyata belum banyak ahli tata ruang wilayah dan kota yang memfokuskan diri pada isu-isu ketahanan pangan. Hal ini membuat saya semakin bersemangat untuk mendalami bidang itu.

Saya kemudian tertarik untuk mendaftar ke universitas lain di Australia dan salah satu universitas di Inggris. Kampus di Australia memiliki beberapa riset terkait urban agriculture dan kampus di Inggris memiliki pusat studi perencanaan sistem pangan wilayah. Saya kemudian memohon izin kepada pembimbing saya untuk mengirimkan proposal yang saya rumuskan bersama beliau, ke beberapa calon pembimbing di kedua negara tersebut.

Proposal yang saya kirimkan ke salah satu profesor pakar regional food system and planning di kampus Inggris, ditanggapi sangat cepat. Beliau tertarik dengan proposal saya dan meneruskan email saya ke bagian admisi yang kemudian membantu dan membimbing saya dalam proses aplikasi online. Proses admisi berjalan lancar, tetapi aplikasi saya baru akan di-review pada periode tahun depan karena periode tahun itu sudah berakhir. Oh no! Program yang saya tuju hanya memiliki satu periode admisi dalam satu tahun. Oleh karena itu, yang bisa saya lakukan adalah menunggu proses review.

Selama menunggu itu saya kemudian mengirimkan proposal ke salah satu dosen di kampus Australia yang banyak meneliti mengenai isu-isu lingkungan yang salah satunya adalah urban agriculture. Sedihnya, lagi-lagi pintu tertutup: proposal saya ditolak dengan halus.

Dua pintu tertutup, pintu lainnya terbuka. Beberapa hari setelah itu, seorang profesor yang juga pejabat di kampus Australia datang ke departemen tempat saya bekerja untuk membahas peluang kerjasama akademik. Pada kesempatan itu, saya mendapat bantuan dari beliau untuk meneruskan proposal Ph.D. saya ke rekan-rekan beliau di kampusnya. Tidak lama setelah itu, beliau mengirimkan kabar lewat email bahwa ada dua dosen di kampusnya yang tertarik dengan proposal saya dan bersedia menjadi pembimbing saya.

Setelah menghubungi kedua calon pembimbing saya tersebut, saya segera memasukkan aplikasi online ke kampus Australia tersebut. Prosesnya kurang lebih sama dengan yang ada di universitas lain, tetapi waktu itu saya tidak diminta untuk melampirkan surat rekomendasi. Singkat kata, proses aplikasi di kampus ini cukup lancar dan kurang dari tiga bulan saya sudah mendapatkan conditional offer. Syarat yang harus dipenuhi adalah mengirimkan dokumen legalisir ijazah dan transkrip lewat pos.

Bagaimana dengan seleksi beasiswa?

Saya mengikuti proses aplikasi beasiswa LPDP periode terakhir (IV) tahun 2016. Saya mempersiapkan materi wawancara dengan mempelajari contoh-contoh pertanyaan yang biasanya diajukan dalam proses seleksi beasiswa dan mempersiapkan jawaban yang terbaik dan jujur. Namun, persiapan saya fokus pada wawancara saja. Padahal, wawancara bukan satu-satunya materi seleksi. Penilaian juga didasarkan pada diskusi kelompok dan kemampuan menulis esai. Selain itu, persaingan untuk mendapatkan beasiswa LPDP juga sangat ketat dengan banyaknya peminat. Saya pun gagal mendapatkan beasiswa LPDP!

Bagaimana caranya agar bangkit kembali?

Gagal mendapatkan beasiswa LPDP, sempat menyurutkan semangat saya. Saya sempat berpikir, apakah mungkin saya terlalu terburu-buru dan belum siap untuk lanjut studi. Mengapa teman saya bisa lolos? Mengapa teman saya yang lain tidak lolos? Saya sedih sekali, mengingat semangat saya yang menggebu-gebu untuk bisa segera sekolah lagi.

Lalu suami mengajak saya dan anak main ke hutan mangrove di pesisir selatan Kulon Progo, sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan dari rumah.

Sebuah rekreasi murah meriah yang berkesan karena tak sengaja di sana saya menemukan tulisan “Kegagalan adalah sukses yang tertunda”.

Melihat tulisan itu suami dan anak saya tertawa dan menyuruh saya foto di dekat tulisan itu agar saya semangat lagi.

Setelah berhasil menata hati kembali, saya mulai menganalisis kekurangan saya ketika wawancara di LPDP dan menyusun strategi untuk kembali mendaftar LPDP pada periode selanjutnya. Saya juga mencoba mencari informasi mengenai studi di negara lain dan beasiswa dari sumber lainnya salah satunya dari kampus di Australia. Yang saya pikirkan kala itu adalah bagaimana caranya saya dapat melupakan kegagalan dan memupuk semangat saya.

Datanglah berita mengejutkan pada hari Jumat pagi, 20 Januari 2017. Saya mendapatkan tawaran beasiswa dari kampus yang saya incar di Australia yang mencakup uang SPP dan komponen biaya hidup selama 3 tahun dengn kemungkinan perpanjangan 6 bulan. Selain itu, beasiswa ini juga mencakup biaya asuransi kesehatan saya dan keluarga selama 4 tahun. Biaya asuransi keluarga memang yang sangat mahal di Australia. Pada saat itu biayanya adalah sekitar 14.000 AUD untuk durasi 4 tahun.

Bersyukur sekali biaya ini sudah ditanggung oleh pihak kampus. Saya sempat tidak percaya dengan hal ini. Saya sampai membaca panduan beasiswanya berulang-ulang. Sekarang saya sering geli mengingat itu. Allah tahu saja kalau tabungan kami mepet kala itu.

Setelah melewati lika-liku berburu kampus dan beasiswa, saya belajar mengenai kepasrahan diri. Manusia boleh memiliki sejuta rencana dan impian yang menurut mereka baik. Namun, tetap saja manusia tidak boleh lupa untuk pasrah kepada Tuhan agar hati menjadi tenang dan kuat ketika mengalami kegagalan. Teringat alm. abah saya yang sering kali berkata dalam Bahasa Banjar, “Allah, betata ja, tunge.” (Allah sudah menata semuanya, Nak). Saya percaya bahwa doa, kerja keras, dan kepasrahan adalah tiga pegangan hidup yang tak akan pernah berkhianat.

*Antung Pandangwati adalah Kandidat PhD di RMIT University, Australia.


phdmamaindonesia

Blog phdmamaindonesia.com digagas oleh Kanti Pertiwi, Ph.D, pada tahun 2016. Blog ini memuat cerita-cerita seputar perjalanan studi PhD serta strategi menjalani studi dari perspektif perempuan. Kirimkan tulisanmu ke Tim Redaksi di phdmamaindonesia@gmail.com

0 Comments

Leave a Reply

%d