Maya Irjayanti: Tentang suami petualang, membesarkan anak ABG dan kiat bahagia sebagai mahasiswi PhD
Hai Mbak Maya, terima kasih sudah berkenan ngobrol bareng phdmamaindonesia. Menginjak tahun ketiga studi PhD ini, apa saja suka dan duka yang Mbak rasakan?
Halo Mbak Kanti, sama-sama Mbak. Ya, saya tidak akan menyebut duka, kesannya pesimis. Saya lebih suka menyebutnya sebagai tantangan ya. Ya jujur saja tantangannya banyak. Tapi saya dari awal sudah komitmen, apapun rencana hidup saya, kami sekeluarga akan bersama terus. Keluarga nomor satu.
Sebelum apply sekolah, saya tanya ke suami. Apakah dia siap berkorban meninggalkan usahanya, kebetulan suami wiraswasta. Alhamdulillah beliau mau. Kebetulan juga beliau tipe petualang, suka tantangan baru. Jadi tidak ada hambatan. Karena tanpa restu suami, saya tidak akan kuliah ke luar negeri.
Diluar restu suami, sebelum apply beasiswa, saya sudah mulai memetakan apa saja tantangan lainnya terkait kehidupan di luar negeri khususnya di Australia yang punya empat musim.

Bersama teman-teman di kampus Curtin University, Australia
Seperti apa misalnya Mbak?
Hal yang barangkali sederhana buat orang lain saja, seperti cuaca dingin. Saya punya alergi yaitu sakit persendian kalau terkena cuaca dingin yang ekstrim. Ini hal yang cukup berat buat saya.
Tapi ya itu yang harus saya hadapi, karena itu juga saya pilih Perth, yang cenderung tidak sedingin kota lain di Australia. Kebetulan ayah saya dokter, oleh beliaulah saya dianjurkan minum vitamin B untuk mengurangi efek dingin. Alergi dingin ini membuat saya harus pakai kaos kaki dan sarung tangan terus meski di rumah. Dan sudah langganan terkena radang tiap musim dingin tiba, hehe.
Ketika di rumah saya pilih menggunakan selimut penghangat (electric blanket) untuk menghangatkan badan supaya tidak boros listrik kalau terus-terus menyalakan pemanas ruangan. Saat musim panas, lain lagi tantangannya. Kulit saya sensitif. Musim panas pertama, wajah saya mengelupas sampai ke kelopak mata. Hingga saya tidak berani keluar rumah.
Kalau sudah begitu, saya coba lihat positifnya saja. Saat sakit saya berusaha ikhlas semoga dosa-dosa saya digugurkan Allah. Yang penting anak-anak sehat.
Bagaimana dengan tantangan akademik?
Tentu ada. Saya mengalaminya di semester kedua. Siapa sangka, kampus saya mengalami restrukturisasi masif. Terjadi penutupan beberapa school, termasuk school saya. Akhirnya supervisor pertama keluar, pindah ke kampus lain.
Mungkin orang akan merasa apes kalau berada di posisi saya. Ditambah lagi supervisor kedua yang supersibuk.
Tapi saya kembali ke prinsip saya: jangan meratapi nasib, tetap semangat untuk tetap punya progres dalam studi.
Saya melanjutkan saja saat PhD ini, belajar sendiri, tetap ikut konferensi, dll. Sejujurnya saya seperti autopilot saja beberapa bulan, tidak ada yang memandu saya. Saya pikir, saya harus survive. Karena ada beberapa teman saya yang lain thesisnya tidak jalan, baik itu orang asing atau Indonesia. Buat saya, sebagai mahasiswa S3 kita harus bisa mandiri, jangan bergantung pada orang lain. Saya harus berjuang. Dan harus amanah pada beasiswa yang sudah diterima.
Setiap hari saya menulis, meski kontak dengan supervisor hanya sebulan sekali. Tapi tidak masalah, toh, penelitian ini memang kita yang paling memahami. Saya melihat ini sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.
Bagi saya kunci yang paling penting adalah kita harus tetap bahagia, jauhi stres, agar badan sehat dan tetap produktif.
Bagaimana mengupayakan agar tetap bahagia?
Ya, misalnya saja, meski dari finansial kami tidak banyak kesulitan, saya paham bahwa suami tetap butuh bekerja. Ya saya bantu cari relasi agar suami bisa bekerja lewat jejaring yang saya punya. Suami hobi ngebengkel, saya dukung. Saya sengaja pilih ambil rumah dengan garasi tertutup agar hobinya bisa terlaksana. Semua agar suami betah.
Kepada anak-anak juga begitu. Anak yang besar ingin ikut school trip ke luar negeri, ya saya dukung. Saya pastikan bahwa saya tetap bisa memberikan waktu untuk dia curhat, saya sempatkan menelepon gurunya untuk ngobrol tentang perkembangan akademiknya.
Kebahagiaan mereka penting bagi saya, karena disitu saya ikut bahagia.
Khusus anak yang kecil, dia sempat sedikit terkendala dalam adaptasi. Disini sebetulnya lebih mudah pelajarannya ya Mbak. Tapi saat kami datang, yang kecil belum bisa bahasa Inggris, jadi dia menangis saat ditinggal disekolah. Waktu itu dia masuk pre-primary (setara TK B).
Saya harus tega meninggalkan dia selama 2-3 minggu pertama dalam keadaan menangis di sekolah, bahkan sampai ketiduran kata gurunya. Dia stres karena tidak paham instruksi guru, sampai disarankan supaya pindah sekolah saja. Saya tidak bisa pindahkan karena ada tambahan biaya jika harus saya masukkan ke sekolah dengan bantuan pelajaran (bridging) bahasa Inggris.
Tapi kemudian saya menemukan aturan bahwa anak-anak level pre-primary tidak wajib untuk bridging bahasa Inggris. Berbekal inilah saya ngotot tidak mau memindahkan sekolah. Solusinya, ketika dirumah si anak saya ajak ngobrol Inggris terus full sentences, pergi kemana-mana juga saya ajak bicara dalam bahasa Inggris. Sekarang bahasa Inggrisnya bagus banget.
Jadi saya makin yakin tiap persoalan ada jalan keluarnya. Tidak mungkin Allah memberikan cobaan tanpa solusi.
Bagaimana dengan tantangan membesarkan anak usia SMA di Australia?
Ya, pertama saya harus paham di sini ada latar budaya yang berbeda dengan yang ada di Indonesia. Ke anak saya yang sudah SMA, saya harus memperlakukan dia sebagai teman. Tidak bisa dengan larangan.
Saya lebih sering membagi pengalaman saya, jadi nasihat saya masuk secara lebih halus. Saya cerita bagaimana yang dialami teman saya, misalnya terkait narkoba atau pergaulan bebas. Dan saya juga harus hati-hati dalam menggunakan kata-kata yang memojokkan.
Saya tahu masa remaja itu masa rasa ingin tahu yang tinggi, beda dengan anak kecil yang gampang percaya. Saya sampaikan terbuka apa efek seks bebas, alkohol dan narkoba. Tidak ada hal yang saya anggap tabu. Saya juga tidak kasih izin menginap dirumah teman, yang umum dilakukan disini.
Saya antar jemput dia kemana-mana. Saya juga berusaha untuk tidak menghakimi, terutama soal bergaul dengan lawan jenis. Misalnya waktu itu dia bilang ingin mentraktir teman-teman cowoknya, ya saya tanya dan saya pantau. Jangan sampai kita juga overprotective atau posesif.
Bagaimana dengan kebahagiaan diri sendiri, apa ada strategi khusus?
Untuk itu, karena saya dosen, saya kan wajib ikut conference setahun sekali. Semuanya untuk networking dan mendapatkan pengetahuan baru. Yang lebih penting lagi, saya bisa menikmati waktu kosong disela conference, sebagai bentuk refreshing. Setiap hari kerja, juga tidak sehat.
Sebagai ibu rumah tangga kita biasanya menomorsatukan suami dan anak, tidak pernah memprioritaskan diri sendiri. Pergi conference itu jadi me-time. Tidak mikirin masak apa, nyiapin lunch box apa hari ini hehe.
Manfaatnya jelas untuk diri sendiri dan juga anak-anak yg ditinggalkan. Saat saya pergi, anak-anak jadi ikut belajar mandiri.
Suami kan kadang bekerja shift pagi, keluar rumah waktu subuh. Jadi otomatis anak yang besar harus sigap menggantikan peran saya.
Dan ternyata mereka bisa mandiri lho tanpa saya! Disinilah sisi positifnya saya pergi conference sekalian me-time, bisa mengajarkan kemandirian untuk anak-anak. Apakah tetap ada rasa bersalah? Itu pasti ya, tetap ingin ngecek anak-anak. Tapi ya, mereka bisa kok. Mereka kan tetap punya insting untuk survive dan mereka perlu belajar mandiri. Pengawasan ibu itu tetap berjalan terus meski dari jauh.
Jadi ikut conference tak cuma untuk untuk urusan karir dan mengembangkan ilmu?
Betul, kadang ada yang melihat saya sosok peneliti yang ambisius, amat berdedikasi pada profesi. Padahal nggak juga. Saya tidak melihat begitu. Itu juga peluang untuk refreshing. Teman sesama dosen pasti paham itu. I always mix business and pleasure. Seperti saat ini, saya ngetik di rumah sambil dengerin youtube. Sambil ngemil, sambil santai, naikin kaki, hehe. Di kantor sulit, karena saya akan mengganggu orang lain, tidak sopan.
Kalau hanya kerja saja, itu akan membuat saya capek, jiwa saya tidak bahagia. Maka itu saya lebih senang kerja di rumah. Hal simpel saja urusan ke toilet dan solat, jauh lebih nyaman di rumah. Makanan juga lebih enak di rumah. Bekerja dengan hati bahagia dampaknya positif. Jadi itu strategi saya.
Bahagiakan diri dan keluarga, kita akan bisa menjalankan tugas-tugas dengan baik.
Boleh sharing sedikit tentang penelitian Mbak?
Saya sudah lama meneliti UKM (Usaha Kecil & Menengah), awalnya ketika dulu saya kerja di bank. Saya meneliti UKM dari sisi kearifan lokal daerah. Indonesia kan punya potensi kekayaan alam yang tidak dimiliki negara lain. Nilai barang dengan unsur budaya itu besar sekali. Lukisan misalnya, kalau ada nilai budayanya akan menjadi mahal sekali.
Contoh lainnya, batu-batu intan, atau tanaman-tanaman lokal yang bisa dikombinasikan dengan kearifan lokal. Subjek penelitian saya adalah perempuan yang memanfaatkan potensi daerah untuk menciptakan produk kreatif. Misalnya menggunakan rumput yang ada dilingkungan sekitar rumah untuk dibuat jadi tas atau hiasan. Atau membuat kue apem yang merupakan bagian dari ritual upacara kenduren. Kue apem biaya produksinya tidak seberapa. Tapi kalau dikemas sebagai dari kearifan lokal, maka nilainya akan tinggi sekali. Apalagi kemudian dipasarkan dengan bantuan internet. Bisa meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah.
Bagaimana dengan isu eksploitasi budaya? Kritik bahwa produk berunsur budaya hanya menguntungkan pemodal besar?
Kalau di penelitian saya, yang memanfaatkan budaya itu langsung si pemilik budaya itu sendiri. Saya rasa mereka tidak termasuk yang terkena eksploitasi kapitalis. Fokus saya adalah perempuan-perempuan daerah yang memanfaatkan kearifan lokal, yang awalnya dipicu lewat pelatihan-pelatihan yang mereka terima dari pemerintah.
Karakter perempuan daerah ini juga berbeda, mereka tidak berambisi. Mereka cukup bersyukur, bagi mereka yang penting penghasilan yang didapat berkah, cukup untuk anak-anak. Mereka tidak bisa mengembangan bisnis secara optimal, makanya selalu butuh pihak ketiga untuk mengembangannya.

Bersama perempuan-perempuan penggerak UKM yang berperan penting dalam penelitian saya
Mereka juga selalu bergerak secara kolektif. Mereka bersepakat siapa yang terima order. Produknya pun sengaja dibuat tidak sama agar tidak ada persaingan. Lewat penelitian ini saya belajar, ada lho kehidupan yang lain yang terkesan jauh dari logika orang kebanyakan, termasuk tentang apa itu baik apa itu jahat, berbeda kriterianya dimata mereka. Interaksi dengan mereka itu membuka cakrawala saya.
Kembali ke produk dengan nilai tambah kearifan lokal, kain tradisional itu punya ratusan makna, harusnya bisa bernilai tinggi sekali. Bukan sekedar kain yang punya nilai estetika, tapi juga nilai sejarah budaya.

Berfoto bersama Ibu Konsulat Jenderal RI di Perth seusai mempresentasikan penelitian saya dalam seminar yang diselenggarakan oleh AIPSSA (Association of Indonesian Posgraduate Students and Scholars in Australia)
Terakhir, ada pesan khusus untuk perempuan Indonesia yang ingin melanjutkan studi di luar negeri?
Yang mau kuliah ke luar negeri, persiapkan sebaik mungkin semua aspek, termasuk persiapan mental, persiapan akademik seperti proposal dan lainnya. Tapi tidak hanya itu. Tantangan terbesar buat saya justru aspek terkait kehidupan sehari-hari. Soal sekolah, makanan seperti apa, berapa biaya hidup, pasangan bisa bekerja atau tidak. Tempat tinggal opsinya seperti apa.
Termasuk kebutuhan keluarga yang sekiranya mahal di luar negeri, perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk menghindari stres yang tidak perlu, dan supaya lebih hemat. Banyak-banyak bertanya, jangan malu atau sungkan mengontak dengan orang sudah lebih dulu tinggal di negara tujuan studi kita. Selebihnya, banyak berdoa dan yakinlah setiap permasalahan ada jalan keluarnya.
Maya Irjayanti, Kandidat PhD Curtin University, Perth, Australia, juga dosen di STIE Ekuitas Business School, Bandung. Dapat dihubungi di m.irjayanti@gmail.com
0 Comments