Irina Mildawani: Serunya Kembali ke Bangku Kuliah dan Tantangan Menjalani LDR dengan Suami dan Anak-cucu

Published by hera suroso on

irina_perth

Halo Ibu Irina, selamat ya atas wisudanya sebagai PhD di tahun 2017 lalu! Kabarnya, cerita Ibu dalam menjalani studi PhD terbilang unik, karena memulai studi di saat putra-putri sudah dewasa (dan salah satu putri sudah berkeluarga). Bagaimana ceritanya Ibu memutuskan untuk kembali ke bangku kuliah, di saat rekan-rekan seangkatan sudah menikmati masa kerja atau posisi yang sudah mapan?

Terima kasih mbak Hera! Pada dasarnya saya memang tipe pembelajar, jadi suka belajar apa saja dan kapan saja.

Nah, kebetulan ada tawaran beasiswa  studi ke luar negeri (LN) dari Dikti untuk Dosen pada program S3 yang pada waktu itu mengeluarkan kebijakan baru perubahan batasan umur, maka saya semangat banget.

Umumnya beasiswa S3 LN dari negara luar ada batasan umur yang bagi saya sudah terlampaui… hehehe… dulu masih sibuk memikirkan anak dan keluarga.. jadi lewat deh batas usia beasiswa LN.

Saya melihat banyak teman S3 di dalam negeri (DN) juga lama selesainya karena tidak boleh meninggalkan tugas sebagai dosen dan lain-lain sehingga bebannya berat. Makanya saya tertarik dengan program S3 di LN karena bisa mendapat pengalaman tinggal di LN dan terlepas dari tupoksi sebagai dosen di DN.

Saat akan berangkat S3, si sulung Nina sudah ada yang mau melamar, maka kami putuskan untuk mantu dulu sebelum berangkat S3. Kebetulan suami saya juga dapat beasiswa S3 LN tapi ke Kanada.

Sebetulnya saya sudah berusaha untuk melamar S3 di Kanada, tapi karena belum rejeki di sana, saya mendapat Supervisor dan Letter of Offering (LoO) dari University of Western Australia (UWA) di Perth. Suami saya mengijinkan saya S3 di Australia karena lebih dekat ke Indonesia jadi bisa lebih sering pulang untuk urusan rumah dan keluarga besar.

Di tahun awal kuliah, Ibu sempat menghadapi tantangan yang cukup berat, yaitu harus berganti pembimbing, bahkan pindah ke kampus baru dan memulai kembali proposal yang sudah disetujui. Bisa cerita sedikit tentang hal ini?

Ya saya pada dasarnya tipe orang yang naif , jadi ikut alur tanpa tahu benar-benar apa resikonya. Maklum angkatan saya pada waktu itu adalah angkatan ke-2 Beasiswa Dikti. Saat itu masih belum ada yang lulus dan bisa share tantangan dan pengalaman, misalnya konsekuensi dan kendalanya bila supervisor (pembimbing) tidak bisa melakukan tugasnya lagi.

Pembimbing saya pindah ke USA meninggalkan delapan mahasiswa bimbingannya saat itu. Tapi karena sebelumnya beliau belum pernah membimbing mahasiswa Indonesia dengan beasiswa Dikti, agak sukar memahami situasi mahasiswa Indonesia yang harus selesai dalam waktu tiga tahun (menurut peraturan saat itu).

Beliau mengatakan, bahwa PhD native speaker Aussie aja perlu 7 tahun, masa kita yang  bukan native speaker minta lulus dalam waktu 3 tahun… hehehe… Alhamdulillah, beliau pindah ke USA, jadi hikmahnya saya bisa mendapatkan supervisor baru (di Curtin University), yang telah beberapa kali ke Indonesia.

Berarti kendala awal dengan kepindahan supervisor, malah akhirnya menjadi blessing in disguise (keberuntungan) ya bu?

Semua kejadian pasti ada hikmahnya ya.. jika kita bersyukur dan berpikir positif dari kejadian yang kita alami, maka selalu ada jalan keluar yang lebih baik, sebab Allah SWT sangat sayang kepada kita. Jadi dengan absennya supervisor di UWA, mereka bertanggung jawab dan memberi saya surat rekomendasi ke Curtin University untuk proses kepindahan. Alhamdulillah saya mendapatkan supervisor baru yang lebih sesuai.

Supervisor yang baru bahkan pernah bekerja sama dengan almamater S2 saya, Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam menerima program Double Degree antara S2 Planning Curtin University dengan program Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD) UGM.

Selanjutnya, supervisor saya menjabat sebagai Director International Curtin University sehingga sering ke Indonesia. Bahkan saya pernah menemani beliau di Yogya waktu sedang tugas di UGM. Beliau juga lebih paham konten disertasi (thesis) saya karena topik disertasi saya adalah Studi Komparasi Profesi Arsitektur Lansekap di Indonesia dan Australia. Dalam prosesnya, saya perlu mewawancarai puluhan arsitek, arsitek lansekap dan planner di Indonesia dan Australia.

Bagaimana Ibu menjalani LDR (Long Distance Relationship) dengan suami di Kanada serta dua putri beserta cucu di Indonesia? 

Alhamdulillah, suami dan saya mendapat beasiswa S3 pada saat kami berusia 50 tahun, jadi kami adalah pasangan yang sudah cukup matang dalam berkomitmen dan memberi kebebasan dan kepercayaan satu sama lain.

Memang landasan hubungan suami istri harus kuat dalam iman dan fokus dengan tujuan hidup dan tugas negara. Hal itu tidak mudah, tapi yang penting kita harus ikhlas dan saling percaya, dan dapat dipercaya.

Tentu saja ada beberapa persen yang berakhir dengan perpisahan pasangan karena berjauhan akibat tugas belajar, tapi sebenarnya semua adalah pilihan kita. Kalau niatnya sudah mantap dan bertekad selesai studi untuk tugas negara dan kebaikan keluarga, inshaa Allah kita selalu ingat tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kita sebagai duta bangsa dan tidak terpikirkan untuk berbuat hal-hal lain di luar jalur studi, sehingga selalu memelihara komunikasi dalam hubungan keluarga dengan pasangan dan anak cucu.

Setiap hari kami rutin berkomunikasi via skype, google chat, Whatssapp dan video call. Beruntunglah kita hidup di dunia yang sudah maju di era digital, sehingga komunikasi real time sangat membantu melepas rindu. Beruntungnya lagi, dengan adanya direct flight Garuda rute Jakarta-Perth yang bisa ditempuh dalam waktu kurang dari lima jam, praktis saya dapat pulang setiap semester.

Bahkan ada beberapa semester yang mengharuskan saya pulang tiap dua-tiga bulan sekali karena keperluan survei, mengurus surat dinas di kantor Kopertis dan kampus tempat saya bekerja, serta keperluan keluarga (menunggui kelahiran cucu pertama dan kedua saya, alhamdulillah).

Saya juga beruntung dapat menjenguk suami saya di Kanada pada tahun kedua studi, sambil mengikuti International conference di Simon Fraser University, tempat suami belajar di Vancouver, Kanada. Sebenarnya itu agak dicari-cari sih alasannya, hehe.. karena banyak tujuan International Conference lainnya.

Tapi karena niatnya menjenguk suami ya dicarilah konferensi yang lokasinya di tempat suami studi. Alhamdulillah, pada waktu itu bisa dapat grant untuk conference dan tiketnya, karena tidak murah untuk flight Australia-Kanada.

Intinya harus ada upaya untuk menyelaraskan antara studi dan komunikasi dengan pasangan dan keluarga.

irina_family

Merayakan momen Idul Fitri, berkumpul bersama keluarga di Indonesia 

Dari pengalaman Ibu, sebetulnya apa kesulitan terbesar yang dihadapi selama studi PhD?

Sebenarnya kalau kita menganggap tantangan sebagai kesulitan, maka semua kendala akan menjadi momok yang menakutkan. Tetapi kalau kita selalu bersandar kepada iman dan takwa kita kepada Allah SWT, maka semua tantangan itu akan ada solusinya.

Jadi kita perlu selalu menjaga mind set untuk positive thinking dan selalu fokus dengan pencarian solusi sehingga tidak sempat mengeluh dan menyesali yang telah terjadi.

Kalau masalah akademis, konten disertasi kita, sebenarnya kita yang paling tahu (mengutip kata supervisor saya), jadi kesulitan bukan dalam konten disertasi. Menurut pengalaman saya, kesulitan terbesar selama studi PhD adalah menjalin komunikasi dengan supervisor dan semua pihak (pemberi dana, keluarga, pasangan, anak, teman2 kolega studi dan atasan di kantor dan lain-lain).

Ada juga teman-teman yang sampai saat ini belum menyelesaikan thesisnya, karena masalah komunikasi dengan supervisornya, sehingga akhirnya harus kembali ke tanah air. Ada pula yang memutuskan hubungan dengan keluarga di tanah air untuk menikah dengan orang lokal dan memilih tidak kembali ke Indonesia.

Jadi masalah terbesar seorang PhD student menurut saya, adalah masalah non akademis seperti komunikasi dan fokus terhadap studi, bukan hanya masalah konten disertasinya.

Di tengah menjalani kuliah, Ibu juga aktif bekerja paruh waktu, mendampingi putra bungsu yang masih kuliah serta terlibat aktif dalam organisasi mahasiswa dan kegiatan budaya. Ada tips bagaimana bisa menjalani peran multitasking ini, sambil harus tetap fokus untuk merampungkan studi? 

Alhamdulillah saya memiliki kepribadian yang menurut Florence Littauer, adalah tipe sanguinis popular, jadi happy-happy aja di segala cuaca. Saya berusaha selalu melihat positive side dari setiap kejadian dan menikmati lingkungan saya dalam tiap musim dan kejadian apapun.

Saya memandang dunia dengan mata anak-anak yang naïve, jadi semuanya indah dan menyenangkan.

Kalau ada kendala, saya berdoa dan berusaha secepat mungkin langsung mencari jalan keluar dan melakukan action untuk mengatasinya, tidak sempat berkeluh kesah. Saya tidak suka bergosip karena membuang waktu dan energi. Sebenarnya saya juga termasuk ibu-ibu PhD student seperti teman-teman lain, yang juggling antara waktu studi dan kegiatan ekstra kurikuler serta mengurus keluarga (mengurus rumah, berbelanja, memasak setiap pagi dan malam).

Putra bungsu saya ikut tinggal bersama saya di Perth sambil sekolah sejak SMA. Saat saya kuliah di Curtin, putra saya kuliah di kampus yang beda sehingga akhirnya kami kos di tempat yang berbeda.

Jadi memang saya harus mengatur jadwal dengan ketat dan membagi waktu antara kegiatan kampus, kegiatan sosial budaya, berkomunikasi dengan keluarga serta mengurus masalah administrasi terkait dengan sekolah anak dan sebagainya.

Hal yang sangat membantu adalah,  kota Perth cukup mungil  dan tidak macet, jadi kemana-mana kita bisa naik transportasi umum yang nyaman dan tertib jadwalnya.

Kalaupun perlu menyupir sendiri, cuma butuh waktu 10-15 menit sudah sampai di kampus, tempat kerja atau tempat belanja.

Yang membuat saya masih selalu kangen dengan Perth adalah, jarak jangkauan tempat tinggal dengan kantor atau kampus, yang membuat saya masih punya waktu untuk memasak tiap hari. Dan tidak perlu menghabiskan waktu di jalan berjam-jam karena kemacetan lalulintas seperti di Jakarta!

irina_dance2

Aktif dalam kegiatan seni budaya di kampus, Curtin University

Luarbiasa seru pengalamannya ya Bu.. Setelah akhirnya berhasil merampungkan perjalanan studi yang cukup menantang, dan kembali ke Indonesia, bagaimana kesibukan saat ini?

Alhamdulillah, saya berhasil menyelesaikan studi di Curtin University dalam waktu tiga setengah (3.5) tahun jika dihitung dari saat enrollment, kemudian candidature lagi dengan judul thesis baru,  sampai thesis submission saya.

Setelah menunggu reviewers memeriksa thesis PhD saya selama satu semester lebih setelah submission, akhirnya keluar hasil review yang hanya memerlukan revisi minor, sehingga saya dinyatakan lulus pada awal Oktober 2016. Sejak pertengahan September 2016 saya sudah kembali mengajar di Universitas Gunadarma di Jakarta.

Pada waktu formal Graduation di bulan Februari 2017, saya kembali ke Perth untuk mengikuti wisuda PhD yang special karena berlangsung di Forum Arena Campus Bentley yang dilakukan di senja hari dan diakhiri dengan kembang api yang semarak.

Selain itu, seminggu kemudian saya menghadiri wisuda anak saya yang menyelesaikan program Advance Diploma dalam Business Management di Polytechnic West. Jadi sekalian visiting Perth untuk dua wisuda sekaligus. Alhamdulillah.

Sekarang saya sudah disibukkan dengan kegiatan kampus baik dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Selain itu juga membimbing mahasiswa untuk Kuliah Lapangan  Arsitektur di LN, seperti tahun 2017 lalu ke Dubai dan tahun 2018 ini rencananya ke Turki.

Inshaa Allah kami ingin mengadakan Kuliah Lapangan Arsitektur ke Perth, Western Australia pada tahun 2019. Mohon doa dan dukungannya, semoga lancar semua.

irina_graduation

Wisuda bersama dengan putra bungsu tercinta di Perth

Ir. Irina Mildawani, MT., PhD dari jurusan landscape architecture and planning, School of Built Environment, Curtin University. Dosen di jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Gunadarma. Beliau dapat dihubungi di irina_milda@staff.gunadarma.ac.id

 

 


hera suroso

I love the smell and sound of summer... the blue sky and white cotton clouds floating by, warm summer breeze blow softly right through your hair, the smell of sweet watermelon and popsicles and sea salt fills the air

1 Comment

Nuruul · August 19, 2018 at 6:05 am

Terharu banget baca pengalaman ibu yang sangat berharga.

Leave a Reply

%d