Lilis Mulyani: Tentang Laparotomy, Keguguran, dan Perjuangan Melanjutkan Sekolah
Hai Mbak Lilis, boleh cerita sedikit apa yang mendorong Mbak untuk melanjutkan studi hingga jenjang S3?
Hai Mbak Kanti. Jadi ceritanya waktu itu setelah menyelesaikan studi Master of Law di Australia tahun 2005, saya memberi target pada diri sendiri, setidaknya dalam lima tahun akan segera melanjutkan studi doktoral. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Peneliti di lembaga penelitian pemerintah (LIPI), pendidikan menjadi salah satu syarat utama kompetensi yang harus dimiliki peneliti. Oleh karena itu, sangat wajar ketika kami di LIPI selalu punya target melanjutkan sekolah lagi.
Namun sekembalinya dari studi Master justru saya (dan saya perhatikan juga terjadi pada rekan-rekan seangkatan dan junior lainnya) disibukkan dengan rutinitas pekerjaan kantor yang seolah tidak pernah berhenti. Setiap hari selalu datang dan datang lagi pekerjaan-pekerjaan yang semuanya dianggap penting untuk segera diselesaikan. Komitmen untuk mulai membuat proposal penelitian, mencari universitas dan lainnya, tanpa terasa terlupakan dengan waktu.
Ketika waktu merayap di tahun ke-9 setelah kembali dari studi Master baru saya terjengah. Hampir sepuluh tahun! Kemana saja saya selama ini? Ngapain aja? Kok lima tahun bisa terlewatkan tanpa persiapan mengenai rencana saya dahulu?
Akhirnya agak tergesa-gesa saya mempersiapkan proposal penelitian dan mulai mengontak beberapa professor di Belanda, negara tujuan awal saya melanjutkan studi doktoral. Namun ternyata, Belanda bukan jodoh saya.
Sayapun merasa down dan tidak mau mengimel professor yang menjadi kontak saya itu karena malu, malas dan perasaan-perasaan gagal lainnya yang menahan saya untuk melanjutkan kontak dengan beliau. Proses aplikasi pun tertunda. Saya dan suami juga akhirnya memfokuskan diri pada program hamil (promil) yang sudah kami jalani sejak tahun ketiga pernikahan.
Wah ternyata prosesnya tidak semulus yang dibayangkan ya?
Sama sekali tidak, Mbak! Hehe. Tahun kesebelas paska lulus Master, saya baru bangkit lagi.
Alasannya karena saya memiliki satu proyek riset yang cukup besar, membawa saya menemukan jaringan sesama akademisi, peneliti dan aktivis yang bergerak dalam bidang yang sama. Sehingga semangat saya kembali muncul untuk melanjutkan kuliah.
Saya mulai menata ulang proposal dengan berdasarkan pada hasil riset yang saya lakukan di LIPI. Memberanikan diri menghubungi salah satu atasan sewaktu di LIPI untuk memberikan referensi bagi saya dalam rangka mengajukan aplikasi. Bukan proses yang mudah, karena beliau orang yang sangat sibuk.
Saya juga mencoba menghubungi beberapa profesor yang pernah bekerja bersama, untuk mendapatkan referensi. Juga tidak mudah. Akhirnya salah satu professor bersedia memberikan referensi. Akhirnya, pada bulan September 2016 saya memasukkan aplikasi ke University of Melbourne melalui bantuan Representative Office yang ada di Jakarta.
Disaat yang sama, saya juga mendaftar ke kampus lain sebagai cadangan. Saya mendapat balasan dari Erasmus University Rotterdam. Saya kembali mengontak salah satu profesornya, dan beliau minta melakukan Skype interview.
Bagaimana ceritanya Mbak, seleksi admisi lewat Skype?
Jujur saja cukup menegangkan, Mbak. Saat itu, penyakit endometriosis saya kembali muncul (saya selalu rutin cek up ke obgyn, karena riwayat endometriosis dan juga dalam rangka program hamil). Dan dokter menyatakan kalau mau bersih dan tidak lagi bermasalah harus operasi besar. Laparatomy.
Mendengar kata operasi besar saja saya sudah menangis. Saya memberanikan diri, terlebih karena saya sudah pernah menjalani dua kali operasi kecil laparaskopi. Saya merasakan perbedaan signifikan sebelum dan sesudah operasi atas nyeri haid yang selalu datang rutin setiap bulan.
Setelah berdiskusi panjang lebar dengan suami, karena operasi juga akan menguras tabungan kami berdua; kami pun menguatkan tekad untuk berikhtiar mencari kesembuhan melalui operasi ini.
Dokter obgyn yang menangani adalah salah satu dokter senior yang mengajar di salah satu universitas ternama di Jakarta. Bismillah ucap saya kepada suami, semoga Allah meridhoi ikhtiar kami.
Akhirnya di sela proses aplikasi universitas dan beasiswa; saya dan suami mengambil keputusan untuk melakukan operasi laparotomy.
Tepat di hari saya melakukan skype interview adalah hari saya harus sudah berada di RS untuk melakukan operasi keesokan harinya.
Saya tiba di rumah sakit sehari sebelum operasi laparatomy pukul 4 sore. Skype interview dilakukan pukul 5 sore waktu Indonesia atau pukul 11 waktu Rotterdam.
Saya dan suami tiba lebih cepat di rumah sakit sekalian untuk mengetes jaringan internet agar proses wawancara Skype dapat dilakukan dengan lancar. Alhamdulillah, rumah sakit ini meskipun kecil tapi akses internet sangat bagus dan lancar.
Saya berpesan pada suami untuk memberi tahu suster yang datang untuk memberi waktu sekitar setengah jam sebelum melakukan persiapan-persiapan operasi. Biasanya memang untuk persiapan operasi, pasien akan diambil darah, dites EKG, dan tekanan darah untuk memastikan semuanya baik untuk operasi keesokan hari. Skype pun dilakukan.
Apa saja yang dibicarakan?
Ya, saya beruntung. Professor dari Belanda itu adalah profesor perempuan yang sangat baik. Ketika saya bilang saya di rumah sakit untuk persiapan operasi dia bilang dia sangat paham, dan berharap yang terbaik buat saya. Kami bicara mengenai minat riset saya. Tentang proposal saya, dan tentang pekerjaan saya sekarang.
Kemudian dia bicara tentang persiapan admisi dan contact persons yang akan menghubungi saya. Di luar saya mendengar percakaan suami dengan suster, rupanya dokter jaga datang untuk melihat kondisi pasien. Untungnya Skype interviewnya baru saja selesai. Saya pun memanggil suami dan akhirnya persiapan operasinya dilanjutkan. Benar-benar hari yang tak terlupakan. Sering saya dan suami tersenyum kalau mengingat momen ini.

Menikmati rerindang pohon di Princes Park, taman umum seberang rumah kami
Bagaimana hasilnya?
Paska operasi, saya mendapat pengumuman lulus di Australia dan Belanda. Alhamdulillah. Saya bersujud syukur atas semuanya. Dua bulan lebih dari pengumuman itu tidak ada kegiatan yang berarti selain menunggu. Sementara itu, saya dan suami terus cek ke dokter termasuk melanjutkan program paska operasi. Ternyata ada berita yang sangat menggembirakan. Saya dinyatakan hamil.
Wah, berita bahagia, lalu apa rencana Mbak saat itu?
Kami bersujud syukur. Tapi dokter mewanti-wanti karena janinnya lemah. Saya diminta total bedrest. Saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah menjaga calon kehidupan yang dititipkan di rahim saya.
Beasiswa? Lupakan saja. Saya tidak akan memilih sekolah ke luar negeri kalaupun bisa jika harus memilih dengan kehamilan yang sangat kami nanti-nantikan.
Sekolah bisa di dalam negeri nanti dan ini yang lebih penting, pikir saya. Saya meminta doa dari orang tua dan keluarga besar agar dikuatkan. Sebulan lebih saya bedrest dan sesekali cek up ke rumah sakit.
Kami terus berdoa pada Allah Yang Maha Pengasih untuk memberi kesempatan kami menjadi orang tua. Tapi takdir berkata lain, memasuki minggu kelima saya mengalami pendarahan.
Saya menangis dan menelpon rumah sakit. Suster menyuruh saya bersabar. Kemungkinan janinnya lepas kata Suster. Seminggu itu saya patah hati, menangis dan menangis. Di hari kelima paska keguguran, saya melihat ada email dari pihak pemberi beasiswa. Tapi saya acuhkan. Karena suasana masih tidak memungkinkan.
Paska keguguran adalah masa yang cukup sulit buat saya secara emosional, hal-hal kecil bisa membuat saya berlinang air mata. Memang tidak sampai menangis lagi seperti seminggu masa patah hati itu, tapi cukup menyesakkan. Melihat bayi berlinang air mata, melihat ibu hamil berlinang air mata.
Tapi saya tidak lupa bahwa ada email masuk dari lembaga pemberi beasiswa. Ketika dicek benar saja, undangan melakukan tes seleksi substansi di pertengahan Mei, kurang dari seminggu setelah keguguran. Saya berdiskusi dengan suami. Alhamdulillah dia mendukung langkah apapun yang saya pilih. Mungkin ini jalan Allah, kata suami, satu jalan (sepertinya) selesai, satu jalan lagi terbuka.
Luar biasa, lalu Mbak melanjutkan proses seleksi?
Ya, dengan dukungan suami dan doa dari keluarga saya berangkat tes. Dengan kondisi badan yang masih belum diperkenankan melakukan aktivitas berat sebetulnya, dan emosi yang masih sering labil. Saya beruntung mendapatkan hari tes yang dilakukan dalam satu hari sekaligus. Pagi hari saya melakukan tes On the Spot Essay.
Oh Tuhan, ternyata tempat tesnya di lantai 2 dan tidak ada lift. Sementara masih terngiang dokter saya wanti-wanti, sebaiknya jangan aktivitas berat, jangan angkat-angkat yang berat-berat, jangan naik tangga! Tangga. Itu jadi tantangan awal saya. Saya naik satu persatu. Sangaat pelaan… beberapa kenalan baru sesama pelamar beasiswa mencoba menyemangati saya, dikira saya keberatan badan mungkin.
Singkat cerita, alhamdulillah, saya mendapatkan beasiswa tersebut dan dengan beberapa pertimbangan saya memilih untuk melanjutkan studi di Universitas Melbourne, Australia.
Seperti apa perjalanan PhD Mbak ditahun pertama hingga sekarang?
Alhamdulillah tahun pertama lancar. Apalagi di Melbourne saya jadi banyak aktivitas fisik (jalan kaki pulang pergi ke kampus atau sempat bersepeda setiap minggu). Mencari makanan yang sesuai diet yang dianjurkan untuk endometriosis juga sangat mudah jadi gejala endometriosis tidak muncul lagi. Dan mudah-mudahan memang tidak akan muncul lagi seterusnya. Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT karena sakit haid tidak lagi jadi halangan untuk fokus pada studi.
Kalau tantangan lebih pada sifat penunda saya sih, Mbak, hahaha. Sering menunda pekerjaan sampai pada tenggat waktu yang sudah mepet. Juga sering kangen sama keluarga.
Tentang program hamil, berhubung suami belum bisa menemani untuk jangka waktu panjang, kami memutuskan untuk menunda dulu. InsyaaAllah kami ikhlas kalaupun tidak diberi momongan, mungkin suatu hari Allah SWT akan memberi jalan lain 😊

Suami yang senantiasa memberi dukungan penuh untuk saya
Apa pesan Mbak untuk perempuan Indonesia?
Bagi para perempuan yang sedang berjuang untuk sekolah sekaligus ingin punya momongan tentu jangan pernah putus semangat, jangan lelah berikhtiar dan berdoa.
Tidak memiliki anak atau tidak bisa melahirkan karena berbagai sebab tidak mengurangi nilai kita sebagai perempuan, sebagai seorang manusia.
Kita perempuan punya arena perjuangan masing-masing. Ada yang menjadi ibu, istri, anak, adik, kakak. Apapun itu dan dimanapun jangan pernah saling menilai buruk atau berprasangka.
Kadang sedih kalau ada yang bilang saya lebih mementingkan sekolah atau karir, mereka tidak paham perjuangan kami hari demi hari.
Saya kira kita para perempuan harus saling menguatkan dan mendukung satu sama lain agar peran kita dimasyarakat bisa sama-sama optimal meski mungkin jalan cerita hidup kita berbeda-beda antara satu dan lainnya.
Lilis Mulyani, kandidat doktor di Melbourne Law School, dapat dihubungi di lmulyani@student.unimelb.edu.au
1 Comment
Chandra Hadi Saputra · May 12, 2019 at 7:22 am
Sangat inspiratif.