PhD Mama Najmah: Perjuangan panjang berangkat studi S3 bersama 2 balita
Najmah, bisa cerita sedikit bagaimana perjuangan mendapatkan beasiswa S3 sekarang ini?
Ya, saya sudah memimpikan studi PhD dari sejak lama. Waktu itu tahun 2011 saya baru saja menikah. Saya mendaftar beasiswa kesana kemari tapi berkali-kali itu juga saya gagal. Rupanya Allah ingin kami fokus pada pencapaian lain yaitu untuk punya anak terlebih dahulu. Alhamdulillah kami dianugerahi 2 bayi dalam tempo 2 tahun, setelah sebelumnya sempat merasakan periode dua tahun mendambakan anak pertama.
Apa saja yang melatarbelakangi keputusan Najmah studi lanjut?
Sebagai ibu dengan dua anak perempuan yang masih kecil-kecil, buat saya tidak mudah memutuskan ingin lanjut studi dan terbang ke negara asing. Tapi syukurnya, dengan dukungan terbaik suami, saya bisa berangkat ke New Zealand dengan beasiswa New Zealand ASEAN Scholarship (NZ-AS). Terus terang, keberangkatan ini adalah keberangkatan yang ditunggu-tunggu. Sebelumnya, saya pernah gagal berangkat karena berbagai hal, dari mulai gagal mendapat Letter of Acceptance (LoA) dari universitas tujuan sampai kehamilan, saya harus menunda lagi keinginan ini.
Seperti apa proses seleksi beasiswa kemarin?
Proses mendaftar beasiswa NZ-AS diawali dengan seleksi dokumen. Saya sengaja melampirkan LoA karena itu jadi nilai plus untuk aplikasi kita. Selanjutnya, panitia seleksi akan mengundang untuk wawancara di Jakarta. Sementara untuk pelamar luar Jakarta maka akan diwawancara via telepon. Ada 4 wawancara yang saya lalui. Dan untungnya, tiap wawancara hanya 30 menit jadi sangat manageable untuk yang punya anak kecil seperti saya.
Setelah menerima pengumuman bahwa saya diterima, ada rintangan-rintangan baru menghadang. Saya dinyatakan hamil anak kedua, dan syukurnya diberi kelonggaran untuk menunda keberangkatan.
Setelah melahirkan, luka dari bekas operasi saya tak kunjung reda, saya pun diberi kemudahan lagi untuk memundurkan keberangkatan atas izin pengelola beasiswa. Alhamdulillah.
Mungkin ada yang pernah bertanya, kenapa sih mau bersusah payah memboyong keluarga ke negeri seberang untuk sekolah lagi?
Buat kami, perjuangan 3-4 tahun ke depan bukan capaian pribadi, tapi capaian untuk keluarga kecil kami.
Tidak cuma saya yang bisa tinggal di Auckland, berkuliah di Auckland University of Technology dalam rangka menimba ilmu dan meraih sebuah gelar, tapi keluarga saya juga bisa merasakan hidup di salah satu kota terbaik di dunia untuk bermukim.
Ini keputusan yang sungguh tidak mudah. Pertama, suami harus meninggalkan karirnya di Indonesia dan kedua, saya harus meninggalkan Ayah yang sudah berusia lanjut sendirian. Ketiga, ada kekhawatiran karena anak-anak saya masih kecil, usia 6 bulan dan 2 tahun, masih membutuhkan banyak perhatian dari Ibunya sehari-hari. Saya memberanikan diri untuk mengambil keputusan ini.

Presentasi poster didampingi anakku Adilla
Seperti apa proses mempersiapkan keberangkatan waktu itu?
Pihak pengelola beasiswa biasanya menyarankan para mahasiswa baru untuk berangkat duluan dan menyamankan diri terlebih dahulu dengan kehidupan baru dan rutinitas sebagai mahasiswa. Tapi karena saya saat itu masih menyusui, saya bermohon agar bisa berangkat sekaligus bareng keluarga. Beruntungnya, banyak yang mendukung keputusan saya ini. Saya difasilitasi oleh pengelola beasiswa, pembimbing saya, dan pihak universitas dalam menyiapkan tiket untuk saya dan keluarga, mengatur persiapan untuk orientasi dan akomodasi di Auckland.
Pernah terpikir untuk berangkat sendiri saja tanpa keluarga?
Hmm, rasanya sulit ya, berada dekat keluarga amat penting buat saya. Di budaya kita, perempuan yang menikah dan punya anak diberikan nilai tersendiri dimata masyarakat. Agama juga memberikan keutamaan dalam memikul tugas sebagai seorang ibu, disamping meniti karir, meraih gelar pendidikan, dan lainnya.
Kalau saya berpisah dengan keluarga, rasanya akan sulit sekali berkonsentrasi untuk menyelesaikan studi.
Diluar itu, membawa anak ke lingkungan baru yang menawarkan berbagai kelebihan juga nilai plus tersendiri. Keluarga saya jadi punya kesempatan melihat kehidupan yang berbeda, budaya yang berbeda, orang-orang, sistem pendidikan yang berbeda, yang bisa jadi bekal buat kami berbagi dengan lingkungan terdekat kami sekembalinya ke Indonesia kelak. Layanan kesehatan gratis, kemudahan transportasi, tiket masuk gratis untuk beberapa museum, kebun binatang, dan rekreasi lain untuk anak-anak, adalah sedikit contoh fasilitas publik yang umum kita dapati disini dan saya kira semua orang Indonesia berhak menikmatinya suatu hari nanti.

Suasana kelas di sekolah anakku yang pertama
Selanjutnya, hijrahnya kami ke New Zealand juga memberi kesempatan pada kami untuk mengenalkan tentang Islam pada masyarakat setempat.
Saya ingin bisa meluruskan miskonsepsi tentang Islam dan posisi wanita dalam Islam, apalagi melihat saya sebagai wanita berhijab.
Ya, mudah-mudahan imej Islam sebagai agama penyebar teror bisa berkurang. Apalagi, New Zealand adalah negara yang ramah terhadap pendatang, negara yang multikultur.
PhD Notes by Najmah
they are sleeping, we are reading
they are playing, we are writing
they are tired, we are tired
they have not got up, we get up earlier
they are eating, we are eating
they go to childcare, mommy start to think to write, to read or to enjoy rest in Uni..
we work when they are sleeping, playing, etc…
no exact time for us, to spare 8 or 10 hours a day like other students…
we just need to make our own deadline
with a deadline, we will work faster particularly in the end of deadline

Anak-anak tertidur lelap di parents room di lingkungan kampus
1 Comment
Niyoko · August 1, 2021 at 5:26 am
Anda tepat datang di negeri Kristen yang “Islami”, itulah nilai-nilai Kristiani, yang kadang dikafirkan.