Cerita Para Papa Pendukung PhD Mama. Henri Jufry: Keluarga Itu Bukan Bisnis

Published by tadiningrum on

Henri, Diah, dan kedua putrinya pada hari wisuda PhD

Bagi Henri Jufry, mendampingi istri sekolah sudah kenyang dilakoni. Bersama-sama keluarganya, ia telah mendampingi Diah, istrinya, menempuh pendidikan Master of Education di Flinders University, Australia tahun 2006-2008. Tahun 2011 kesempatan studi lanjut datang kembali untuk istrinya dalam bentuk beasiswa PhD Fulbright. Kala itu Diah diterima di fakultas Pendidikan UC Berkeley, San Fransisco, salah satu kampus paling bergengsi di Amerika Serikat. Tak tanggung-tanggung, mereka menghabiskan enam tahun di Amerika untuk menyelesaikan PhD dan sekaligus menempuh program postdoc.

Kenapa mau pergi meninggalkan pekerjaan dan mendampingi istri?

Aku memang bukan tipe yang suka menahan-nahan orang mencapai cita-cita yang tinggi. Itu juga yang aku sukai dari pekerjaanku sekarang di Apple Academy, mendorong orang untuk mencapai hasil yang lebih baik kalau mereka punya potensi. Jangan tanggung-tanggung, harus maksimal.

Ketika Diah mengabarkan kesempatan itu, aku cuma tanya, apa benar ini yang kamu mau? Aku juga ajukan syarat, kalau mau berangkat ayo, tapi kamu harus benar-benar serius menyelesaikan. Dan nggak bisa melupakan keluarga, karena kita sudah bukan single lagi, harus ingat sama yang di rumah.

Apa tantangan terbesar dalam mendampingi istri?

Banyak sih suka dukanya. Ada saat-saat yang benar-benar membuat perasaan putus asa, sampai pernah terpikir “apakah sudah saatnya menyerah saja”. Aku sudah biasa tinggal di luar negeri, dulu juga lulusan Master dari Australia. Dulu waktu mendampingi Diah menempuh Master, aku punya bekal jejaring yang bagus dan kualifikasi yang sesuai. Mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan memberikan dukungan finansial bagi keluarga. Saat-saat hidup di Australia dulu itu benar-benar indah dan berkesan.

Berangkat ke Amerika, kami tanpa bekal. Tidak kenal orang, tidak kenal situasi. Apalagi San Fransisco itu kota termahal di Amerika. Uang beasiswa sebulan USD 1500 habis untuk sewa rumah, sehingga kami harus berjuang untuk mencari biaya hidup. Bisa dibilang bulan-bulan pertama itu berat sekali. Aku dapat pekerjaan sebagai chef sushi, lumayan buat bantu pengeluaran hidup. Setelah itu aku coba mencari jalan untuk bisa menjadi pekerja yang punya skill lebih, ikut kursus yang mendapatkan sertifikasi lalu ada program magangnya juga. Paling tidak ada track record kerja kantoran lah di Amerika. Tahu sendiri kalau San Fransisco itu tempatnya Silicon Valley, tujuan orang-orang yang mau bermigrasi ke Amerika. Otomatis kompetisi untuk migran mencari kerja itu tinggi sekali. Pengalaman yang paling membuat patah semangat itu ketika aku mencari pekerjaan lewat agen. Terasa sekali perlakuannya yang meremehkan orang Asia, walaupun yang mewawancara orang Asia juga. Di situ aku merasa terpukul sekaligus membuatku marah. Tapi di sisi lain juga termotivasi untuk usaha lebih keras lagi menaklukan Amerika.

Tak hanya urusan finansial, tapi urusan keluarga juga menjadi tanggung jawabku. Jadi ya aku harus bisa masak, bebersih rumah, jaga anak, antar dan jemput anak sekolah. Apalagi karena baru sebulan sampai di Amerika, ternyata Diah hamil dan kami dikaruniai anak kedua yang sudah kami usahakan begitu lama. Untuk membantu Diah, kami mendatangkan Ibu dari Indonesia selama empat bulan. Tapi selebihnya ya harus kami kerjakan semua sendiri. Tuntutan PhD di Amerika sangat berat, sehingga kadang Diah harus kerja di kampus sampai tengah malam.

Seiring dengan membaiknya kemampuan finansial kami, karena akhirnya aku bisa perlahan-lahan meningkatkan skill dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kehidupan kami berangsur menjadi lebih stabil. Tapi ya begitu, aku harus kerja dua peran, satu di Google Ads, dan satu lagi sebagai Residence Advisor di kompleks mahasiswa yang membawa keluarga.

Jadi sebenarnya dalam perjalanan ini, what’s in it for you? Bukannya sudah mapan dengan pekerjaan di Indonesia?

Keluarga itu bukan bisnis, jadi ya tidak bisa dihitung-hitung seperti itu. Kalau buat aku pribadi, tentunya dapat pengalaman bekerja di Australia dan juga di Amerika. Mendapatkan kualifikasi yang lebih baik dengan mengambil sertifikasi di negara-negara tersebut yang bisa dijadikan bekal ketika pulang. Tapi yang jelas ini perjalanan keluarga. Secara keluarga, berkah yang kami dapatkan besar sekali, kami mendapatkan Nayra (anak kedua) dan Diah berhasil mendapatkan gelarnya. Kirana juga mendapatkan kesempatan sekolah di luar negeri, dan kini dia menjadi anak yang berpikiran terbuka dan bisa menggunakan penilaian dan nilai-nilainya sendiri.

Momen apa yang membuat paling merasa bersyukur dalam perjalanan ini?

Dapat Nayra dan juga Diah bisa selesai PhD nya. Itu tidak mudah, karena pada saat terakhir pun dia masih bimbang apakah disertasinya sudah layak submit. Mau tidak mau saya berikan ultimatum, harus submit sekarang atau kita pulang. Sudah lebih limat tahun kan, usia sudah tidak muda lagi untuk merintis karir nanti di Indonesia.

Jadi menurut Henri, dukungan apa sih yang paling diperlukan oleh mama-mama PhD dari suaminya?

Dukungan moral ya. Dukungan bahwa I got your back, aku ada di belakangmu. Aku mungkin ga bisa menyelesaikan permasalahan dia, tapi dia bisa selalu cerita sama aku dan mungkin aku bisa bantu. Selain itu tentu dukungan membantu pekerjaan apa saja yang bisa dibantu, berbagi tugas dan berbagi beban. Dan tentunya suami harus memotivasi supaya istri menyelesaikan PhD nya.

Bagaimana kalau papa-papa yang tidak bisa hadir di sisi mama yang sedang menempuh PhD? Dukungan apa yang bisa mereka berikan?

Trust. Kepercayaan bahwa istri itu sedang sekolah demi kebaikan keluarga. Percaya bahwa istri tidak melakukan hal-hal lainnya. Tanpa kepercayaan, belum tentu keluarga dapat bertahan.

Kalau perempuan yang ingin sekolah tinggi biasanya banyak menghadapi stigma masyarakat. Bagaimana dengan laki-laki, apakah juga menghadapi hal yang sama?

Wah tentunya. Kata-kata seperti “apa lu nggak takut diremehin?” atau takut disemena-menain istri itu cukup sering juga aku dengar dari lingkungan terdekat. Tapi kita kan tidak hidup dari penilaian orang, mereka menilai saja tapi ikut memberi kita makan juga tidak. Aku tidak terlalu dengarkan yang seperti itu. Buat aku, bisa ikut mendukung sebuah mimpi yang besar itu sangat berarti. Rejeki itu ada di setiap orang, terlepas dari gendernya. Kalau memang rejeki istri lebih besar, ya apa salahnya? Apalagi dua anakku perempuan, aku harus bisa memberi contoh yang nyata supaya mereka juga tidak merasa dibatasi kesempatannya di kemudian hari.

Tapi aku tidak memungkiri bahwa laki-laki di Indonesia masih ada, mungkin banyak, yang mengamini pandangan seperti itu, takut istrinya lebih tinggi pendidikannya karena takut nanti kalah pendapatannya.

Padahal sekolah sampai tinggi belum tentu menjamin pendapatan yang besar juga kan. Tapi bagi para lelaki yang masih punya pandangan seperti itu, sebaiknya sama-sama refleksi dengan pasangannya bila istri mau PhD. Apakah memang itu yang terbaik dan apakah itu pasangan kalian yang terbaik? Karena kalau tidak bisa mengatasi pergulatan ego seperti itu maka resikonya bisa terjadi perceraian.

Pesan buat para papa pendamping PhD?

Karena kita akan ke tempat yang minim dukungan, siapkan mental dulu untuk menghadapi berbagai kesulitan. Siapkan skill yang sesuai. Kalau menurut pengalaman di US, akunting dan IT merupakan skill yang paling mudah dalam mencari pekerjaan. Tapi skill lain seperti penata rambut juga bisa jadi bekal, nanti tinggal ambil sertifikasi di sana. Jangan cuma mengandalkan uang beasiswa, karena pengeluaran keluarga yang baru pindah tidak bisa diduga. Persiapkan biaya hidup untuk enam bulan. Selain itu harus bisa mengubah mindset biasa dilayani menjadi siap mengurus sendiri keperluannya.

Ditulis oleh Tatum Syarifah Adiningrum untuk PhD Mama Indonesia

Categories: Keluarga

0 Comments

Leave a Reply

%d