Angelina Prima Kurniati: Yakin dan percaya diri, kunci menjalani kuliah PhD
Nama saya Angelina. Saya menjalani studi PhD di School of Computing, University of Leeds, Inggris, tahun 2016 hingga 2020. Saat memulai studi, saya berusia 33 tahun, sudah menikah dan dikaruniai dua anak, serta sudah bekerja sebagai dosen di Universitas Telkom, Bandung selama 10 tahun. Pada kondisi yang sudah tidak muda itu, plus multiperan sebagai seorang istri, ibu, sekaligus seorang karyawan swasta yang sudah “nyaman” dalam pekerjaan, saya memulai studi di Inggris.

Awal Januari 2016, dengan restu dan dukungan penuh dari keluarga tercinta, saya berangkat ke Inggris. Saya berangkat sendiri, meninggalkan suami dan dua anak yang ketika itu berusia enam dan 1,5 tahun. Sungguh tidak mudah, apalagi saya masih menyusui anak kedua saat itu. Namun, kami sekeluarga yakin bahwa itu adalah waktu dan keputusan yang tepat untuk memulai petualangan kami. Saya perlu berangkat sendirian dulu agar dapat mempersiapkan segala sesuatunya, terutama tempat tinggal yang nyaman bagi keluarga saya di Leeds. Baru satu setengah bulan kemudian, tepatnya di bulan Maret 2016, saya pulang ke Indonesia dan kembali ke Leeds bersama suami dan anak-anak.
Di awal studi, suami saya mengambil alih tugas mendampingi anak-anak. Namun, suami saya yang juga berprofesi sebagai dosen pun rajin mencari peluang studi lanjut selama di Leeds. Lumayan, kan, sambil menyelam minum air. Singkat cerita, Oktober 2016, suami saya resmi menjadi mahasiswa PhD di kampus dan jurusan yang sama dengan saya. Maka dimulailah perjuangan kami yang sesungguhnya: studi lanjut berdua sambil mengurus anak-anak yang juga dalam usia sekolah.
Supervisor yang “Klik”
Di akhir tahun 2014, saya mengambil cuti melahirkan anak kedua. Cuti ini memberikan kesempatan bagi saya terbebas dari pekerjaan kantor. Saya kemudian memanfaatkan waktu itu untuk mencari peluang studi PhD. Saya mencari lowongan di berbagai universitas di dunia yang sesuai dengan bidang riset saya. Mencari informasi prodi tujuan, menyusun lamaran, menulis proposal, atau berdiskusi via email dengan calon supervisor, adalah rutinitas saya selama cuti. Total ada 33 lamaran S3 yang saya kirimkan, sebagian di antaranya berlanjut hingga diskusi dengan calon pembimbing. Ada tiga yang kemudian lolos dan diterima; satu di antaranya adalah pilihan yang akhirnya saya ambil untuk melanjutkan studi PhD.
Di University of Leeds, saya bersyukur dipertemukan dengan tiga orang supervisor yang baik. Supervisor utama saya adalah pakar di bidang riset saya, juga seorang direktur di sebuah perusahaan yang ia dirikan. Supervisor kedua adalah seorang profesor di bidang Artificial Intelligence. Bidang keahlian beliau tidak sama persis dengan bidang riset saya, namun beliau sangat membantu dari segi teknis. Supervisor ketiga saya merupakan seorang dosen dan dokter senior di bidang kanker sekaligus direktur bidang IT di rumah sakit pendidikan Leeds. Ketiganya punya kesibukan yang luar biasa, namun mereka juga sangat concern pada mahasiswa-mahasiswa bimbingannya, termasuk saya.
Selama mengerjakan tesis (sebutan untuk “disertasi” di universitas-universitas di Inggris), saya sangat terbantu dengan supervision meeting bersama ketiga pembimbing yang rutin dilaksanakan sebulan sekali. Di luar pertemuan “full-team” itu, saya bisa menemui mereka masing-masing sekitar dua minggu sekali. Dalam pertemuan ini, biasanya saya akan mengonsultasikan bagian-bagian khusus dari tesis saya yang berhubungan langsung dengan bidang keahlian mereka. Saya juga sering berdiskusi dengan rekan-rekan sesama pelajar PhD yang dibimbing oleh supervisor utama, untuk memperkaya pandangan saya.
Ada banyak hal berkesan yang saya alami bersama supervisor, salah satunya adalah penekanan work-life balance yang diajarkan oleh supervisor. Suatu ketika – hari Jumat sore ketika itu – supervisor mendatangi saya di ruang kerja dan menunjukkan sebuah buku teks yang baru saja dibelinya. Beliau sudah membacanya sepintas dan menemukan beberapa bagian yang menurut beliau akan menarik bagi saya. Lalu beliau menawarkan meminjamkan buku tersebut, jika saya tertarik membaca. Tentu saja saya bilang “iya”.
Lalu beliau bertanya, “Oke, kamu boleh pinjam. Kapan kamu mau membacanya?”
Saya jawab, “Weekend ini saya baca, Senin semoga sudah selesai dan bisa saya kembalikan.” Cepat beliau menyanggah, “Oh tidak, kalau begitu, kamu tidak boleh bawa sekarang. Habiskan waktu weekend-mu untuk keluarga. Senin kalau kamu masih tertarik, kamu ambil di ruangan saya, ya.”
Dari kejadian itu, saya mengerti bahwa supervisor saya ini benar-benar peduli pada mahasiswa bimbingannya, tidak sekadar menuntut saya bekerja maksimal dalam studi, tapi juga menjaga saya agar tetap memiliki keseimbangan hidup.
Kendala Selama Studi PhD
Perjalanan kehidupan saya selama menjalani studi PhD terbilang lancar dan menyenangkan. Dalam mengerjakan studi, saya banyak terbantu dengan support system yang terbentuk. Supervisor saya sangat suportif dan perhatian. Saya juga tergabung dalam sebuah kelompok belajar yang terdiri atas rekan-rekan PhD di bawah bimbingan supervisor yang sama. Kelompok belajar ini sangat membantu proses penulisan tesis saya. Support system lainnya adalah tim dari sebuah teaching hospital (rumah sakit pendidikan) di Leeds. Riset saya mengambil topik process mining in oncology dan membuat saya harus berhubungan dengan rumah sakit tersebut. Saya pun sering berinteraksi dan memperoleh bantuan dari tim peneliti di rumah sakit maupun tim pengembang aplikasi rumah sakit tersebut.
Support system yang saya miliki sudah sangat baik, namun tetap saja saya mengalami beberapa kesulitan atau kendala selama studi. Pertama, kendala penyesuaian bahasa. Saya bisa berbahasa Inggris dengan cukup baik, namun berinteraksi dengan orang-orang Inggris asli tetaplah menantang. Logat dan istilah-istilah yang mereka pakai dalam lisan maupun tulisan sebagian masih asing bagi saya. Saya mengatasinya dengan menjelaskan keterbatasan pemahaman saya di awal, dan tidak ragu-ragu bertanya jika kurang paham dengan apa yang orang lain sampaikan.
Kesulitan kedua adalah perbedaan cuaca. Inggris yang memiliki cuaca empat musim tentu terasa jauh berbeda dengan cuaca di Bandung. Kadang stamina tubuh saya menurun ketika pergantian musim, dan akibatnya konsentrasi belajar sulit didapat. Terkadang saya juga rindu jalan-jalan kepanasan, sebab di Leeds seringkali jari-jari kaki saya terasa kaku untuk berjalan karena cuaca superdingin. Untungnya, banyak cara mengatasinya, mulai dari mengenakan pakaian hangat, menyalakan heater (pemanas) untuk menghangatkan badan hingga mengonsumsi makanan dan minuman yang hangat dan sehat.
Ketiga, bidang penelitian saya adalah irisan dari bidang Information Technology (IT) dengan bidang kesehatan. Saya cukup menguasai IT namun bidang kesehatan sangatlah asing bagi saya. Setiap kali harus bertemu dengan salah satu supervisor yang merupakan oncolog senior, saya mempersiapkan diri mati-matian dengan membaca berbagai istilah kesehatan yang mungkin akan dibahas dalam pertemuan itu.
Stres dan cemas tak jarang menghinggapi diri saya, namun dapat teratasi dengan menjalani keseimbangan hidup alias work-life balance yang disarankan oleh supervisor utama saya. Pola ini sangat sesuai bagi saya yang terbiasa bekerja pada hari dan jam kerja di kantor. Saya berusaha menerapkan pukul 9-5 sebagai jam kerja dan hanya melakukan segala hal yang berhubungan dengan tesis di waktu-waktu tersebut. Sementara itu, kegiatan memasak, bermain dengan anak-anak, bersosialisasi, jalan-jalan dengan keluarga, ngobrol santai dengan suami, belanja, dan lain-lain, akan saya kerjakan di luar jam belajar. Saya juga sering ngobrol dan melepas kangen dengan teman-teman di Indonesia. Aktivitas ini mungkin terkesan sederhana namun banyak mengembalikan mood baik ke dalam diri saya.
Manajemen PhD Mama
Saya dan keluarga tinggal di sebuah flat akomodasi kampus. Lokasinya yang strategis dan dekat dengan berbagai fasilitas umum sangatlah memudahkan kehidupan kami. Jarak rumah ke sekolah anak-anak hanya sekitar 15 menit jalan kaki, kemudian dari sekolah anak-anak ke kampus juga sekitar 15 menit jalan kaki. Maka, total 30 menit kami habiskan tiap pagi dan sore untuk berangkat dan pulang studi.

liburan bersama keluarga.
Setiap hari saya dan suami menyiapkan anak-anak berangkat berangkat sekolah, sementara kami pergi ke kampus. Di pagi hari, rutinitas saya misalnya memasak dan menyiapkan sarapan, bekal makan siang kami berempat, dan jajan sore anak-anak. Sore harinya, saya memasak untuk makan malam, makan bersama, mandi, bersantai dan mengerjakan tugas sekolah jika ada, lalu tidur. Jika saya dan suami harus bekerja di kampus lebih lama dari biasanya, anak-anak akan kami titipkan kepada salah seorang kawan. Ia bersedia menjaga anak-anak sepulang sekolah dan menunggui mereka sampai kami pulang dari kampus.
Akhir pekan biasanya kami isi dengan kegiatan berempat, baik berdoa di gereja, bersantai di rumah, maupun jalan-jalan ke tempat wisata yang menarik bagi kami. Kadang ada kegiatan dalam komunitas keagamaan (fellowship) yang harus kami hadiri pula. Di luar itu, saya dan suami mengatur waktu mengerjakan tesis di rumah dan secara bergiliran menemani anak-anak serta memenuhi kebutuhan mereka. Di lain waktu, kami menghadiri kegiatan di sekolah anak entah acara khusus atau pertemuan orangtua dan guru.
Dengan rutinitas dan tanggung jawab sebagai mahasiswa sekaligus orangtua, pengaturan waktu menjadi salah satu tantangan terbesar bagi kami. Strategi yang utama bagi kami adalah diskusi dan dialog. Kami harus selalu terbuka satu sama lain, menyampaikan prioritas dan target-target harian kami. Dengan begitu, kami bisa saling menyesuaikan. Strategi kedua sebagai penyeimbangnya adalah pemisahan hal-hal prioritas dan non-prioritas. Misalnya, jika sedang ada banyak tugas di kampus dan anak-anak juga sedang butuh perhatian, maka bersih-bersih rumah adalah non-prioritas. Tentu saja setiap hari penentuan prioritas ini harus terus dievaluasi dan disesuaikan dengan kondisi hari itu.
Di titik ini, saya sangat menyadari besarnya peran suami dan anak-anak, bukan hanya dalam mendukung studi PhD namun juga dalam aspek lainnya. Mereka adalah penghibur saya di masa sulit dan rekan bersukacita dalam masa bahagia. Bahkan mereka juga membantu saya tumbuh sebagai pribadi, pelajar, istri dan ibu.
Saran untuk Anda
Saran yang dapat saya sampaikan bagi para perempuan yang ingin melanjutkan PhD, yang pertama, pupuklah keyakinan dan rasa percaya diri. Status sebagai perempuan seharusnya tidak pernah menjadi penghalang untuk belajar setinggi mungkin dan meningkatkan kualitas hidup. Bahkan jika Anda perempuan yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak, Anda tetap bisa memiliki kesempatan meraih impian, asal Anda yakin dan percaya pada diri sendiri.
Akan tetapi, yakin dan percaya diri saja kadang tidak cukup. Bagaimanapun juga, kita perlu mendapat restu dari Tuhan dan keluarga. Jauh sebelum mulai mencari peluang studi, saya sering berdoa dan berdiskusi dengan orangtua, adik-adik, maupun suami, untuk mengumpulkan kekuatan berupa restu dari mereka. Bagi saya, apapun yang saya lakukan, harus berdasarkan restu dan dukungan pihak-pihak terpenting dalam hidup saya, yaitu Tuhan dan keluarga. Setelah itu, pastikan bahwa institusi tempat bekerja, sponsor, saudara dan teman-teman yang terlibat juga menyetujui/ mendukung usaha Anda.
Ketiga, bangunlah support system yang baik. Pastikan Anda siap membangun sistem pendukung studi PhD Anda. Jangan merasa terlalu percaya diri dan menganggap bahwa studi PhD adalah kepentingan Anda maka hanya Anda yang perlu berusaha. Tidak. Bahkan, suami dan anak-anak harus dikondisikan supaya bisa mengerti tantangan-tantangan baru yang mungkin muncul karena ibunya studi PhD. Terakhir namun tak kalah penting, tetaplah jaga hidup seimbang antara studi dan kegiatan lain. Studi dan tesis kita sangatlah penting, namun ia bukanlah satu-satunya hal yang harus diperhatikan dalam hidup semasa studi. Sempatkan diri menyalurkan hobi, jalan-jalan menikmati pemandangan, bermain bersama anak-anak, bersosialisasi dengan teman dan tetangga sekitar, dan lain-lain, agar kesehatan mental pun tetap terjaga.
*Artikel ini bersumber dari hasil wawancara melalui email, ditulis oleh Roudhotul Anfalia dan diedit oleh Pratiwi Utami.
1 Comment
Rizka Khairunnisa · August 24, 2022 at 2:21 am
Halo mama.. Apakah kuliahnya dengan beasiswa atau biaya sendiri? Lalu saat pulang sekolah, siapa yg menjaga anak-anak? Apakah mama dan suami pulang kuliah sama waktunya dengan pulang sekolah anak-anak?