Hani Yulindrasari: Tahun Pertama PhD dan Mengenali Depresi

Published by nettyulm on

Hai! Perkenalkan nama saya Hani, saya adalah dosen Pendidikan Guru Anak Usia Dini (PGPAUD) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saya melanjutkan studi PhD di bidang Gender Studies di Universitas Melbourne melalui beasiswa Dikti. Perjalanan PhD selama 4 tahun adalah perjalanan yang luar biasa. Namun bagi saya,  tahun pertama PhD-lah yang menjadi pengalaman yang cukup berat karena saya harus beradaptasi dengan kehidupan baru sebagai kandidat PhD, baik itu adaptasi akademik maupun keluarga.

Adaptasi Akademik

Pengalaman akademik bisa berbeda-beda tiap universitas dan fakultas. Di Fakultas saya yaitu di Faculty of Arts Melbourne University, saya harus mengambil 2 mata kuliah wajib dan 2 mata kuliah pilihan. Sehingga dalam tahun pertama total ada 4 mata kuliah yang berkaitan dengan topik riset yang akan diambil. Mata kuliah yang diambil di tahun pertama juga memiliki standar nilai yang harus dipenuhi. Jika nilai kurang dari 79 maka tidak lulus dan tidak bisa melanjutkan PhD. Namun, dapat pindah ke M.Phil (Master of Philosophy).  Selain mengambil mata kuliah, saya juga sambil menyiapkan proposal riset untuk konfirmasi yang akan diujikan di akhir tahun pertama. Tahun pertama juga waktunya untuk membuat strategi untuk kehidupan akademik PhD selama 4 tahun. Dalam membuat strategi dan target tersebut juga diusahakan  realistis dengan mengukur kemampuan diri. Seperti misalnya saya hanya menargetkan dapat lulus PhD tepat waktu. Bagi saya itu sudah cukup. Hal ini karena saya menyadari kemampuan saya dalam mengatur waktu, dalam sehari saya bisa duduk di depan komputer secara fokus hanya 5 jam yaitu dari jam 21.00- 2 malam atau siang dari jam 9 – 15.30. Akan tetapi waktu siang hari banyak yang harus saya urus seperti pergi belanja, memasak, membuat camilan, dan sebagainya sehingga saya memang lebih fokus saat malam hari.

Adaptasi Keluarga

Tahun pertama PhD saya tidak terlalu stress akademik karena proposal untuk konfirmasi di akhir tahun pertama sudah saya matangkan di Indonesia. Yang lebih menantang sebenarnya adalah pengaturan waktu untuk keluarga. Saat saya memulai PhD, anak saya yang pertama berumur 5 tahun. Dia masuk sekolah dari jam 9 – 17.00. Sedangkan anak kedua saya saat itu berumur 3 tahun. Sehingga, saat tahun pertama, anak saya yang kedua saya bawa kemana-mana. Saya ajak anak saya untuk bertemu dengan supervisor, berbelanja, dan pergi ke kampus, pokoknya nempel terus dengan saya. Di kampus saya  tidak terlalu leluasa membawa anak saya ke ruang kerja karena  di ruang kerja  saya satu ruangan dengan mahasiswa lain, saya tidak enak jika anak saya rewel dan mengganggu yang lain. Meskipun mahasiswa lain dapat memahami kondisi saya, namun saya tidak enak dengan mereka. Setelah berhari-hari saya membawa anak saya kemana-mana, saya merasa lelah. Sehingga saya memutuskan untuk membuat work station di rumah. Saya putuskan untuk bekerja dari rumah. Menurut saya, walaupun bekerja dari rumah, untuk perempuan yang sudah berkeluarga tetap sulit untuk menggunakan semua waktunya untuk sendiri karena tetap mengurus anak dan keluarga.

Suami saya juga ikut menemani saya PhD. Sebelum menikah, saya membuat kesepakatan dengan suami bahwa saya akan melanjutkan PhD di Australia. Saya tidak memaksa suami untuk ikut karena suami saya juga bekerja. Namun, saya akan tetap membawa anak-anak karena masih kecil-kecil. Seiring dengan berjalannya waktu, suami saya berpikir dan akhirnya memutuskan untuk ikut menemani saya. Suami saya mendapatkan pekerjaan full-time di Australia dari pagi hingga jam 18.00. Sehingga saya yang benar-benar memegang semua urusan rumah di siang hari. Saat suami pulang, saya langsung ke kampus sampai jam 12 malam. Suami saya sudah menurunkan egonya terhadap karirnya di Indonesia dan berkorban menemani saya di Australia. Sehingga saya yang berusaha bernegosiasi ke diri sendiri untuk tidak membuat target akademik yang terlalu tinggi, yang penting tetap sesuai alur dan selesai tepat waktu.

Saya juga mendapatkan wisdom saat PhD yaitu tidak perlu membandingkan dengan orang lain karena setiap orang memiliki kompleksitas dan tantangannya sendiri.

Depresi saat PhD

Depresi pada mahasiswa dapat disebabkan oleh masalah akademik dan/atau keluarga. Kebanyakan mahasiswa PhD adalah high achiever. Semuanya berkumpul dalam satu tempat yang semuanya high achiever. Ketika saya berada di tempat itu, saya seperti disadarkan bahwa di langit masih ada langit. Saya juga merasa ketika semakin banyak yang saya baca, saya  semakin merasa hanya mengetahui sedikit hal. Selain itu, perjalanan PhD adalah personal journey. Topik riset mahasiswa PhD berbeda satu dengan lainnya. Sehingga saat saya mengalami kebuntuan atau kebingungan juga bingung harus berbagi dengan siapa. Saya hanya bisa berdiskusi dengan supervisor saya. Namun, supervisor juga bukanlah orang yang ahli di bidang kita. Peran supervisor hanyalah mengarahkan saja. Kemudian untuk permasalahan keluarga, adalah di pengaturan waktu yang sudah saya jelaskan di atas.

Pengalaman pribadi saya, saya pernah depresi di tahun ke-3 menuju ke tahun ke-4. Depresi saya dipicu oleh beasiswa yang akan habis karena jatahnya hanya 3 tahun. Sehingga saat sudah di tahun ke -3 saya mengajukan perpanjangan. Saat itu, saya tiba–tiba tidak bisa tidur dan lelah luar biasa. Kemudian suami bertanya kepada saya, “Kamu khawatir apa?”. Kemudian saya menjawab, “Gak tau”. Kemudian, suami saya mengatakan untuk masalah beasiswa, biar suami saya yang handle dulu. Saya diminta suami untuk fokus saja pada studi saya. Saya juga berpikir bahwa segala masalah ada solusinya. Namun saya tetap tidak bisa tidur. Kemudian saya memutuskan mengambil langkah untuk minum obat tidur agar saya dapat beristirahat. Jika saya tidak mengambil langkah memaksa diri saya untuk tidur, saya khawatir energi saya semakin sedikit dan muncul halusinasi. Hal itu akan memperparah kondisi depresi saya. Saya mengalami hal itu kurang lebih 6 bulan. Melbourne University termasuk salah satu kampus yang sangat peduli dengan kesehatan mental. Saya pun ditanya oleh supervisor tentang kondisi saya. Namun saya rasa, saya masih mampu untuk terus melanjutkan studi tanpa cuti.

Berikut beberapa tanda-tanda depresi yang saya rasakan yang bisa saya share di sini:

  • Sulit atau tidak bisa tidur.
  • Cloudy yaitu kondisi di mana otak terasa seperti ada awannya dan menyebabkan tidak dapat berpikir secara jernih dan cepat.
  • Tiba-tiba menangis tanpa sebab.
  • Overthinking yaitu memikirkan hal yang tidak perlu atau memikirkan sesuatu yang sudah terjadi secara terus menerus.
  • Kecemasan yang berlebihan.

Ketika mengalami depresi, ada beberapa hal yang saya lakukan, mungkin juga bisa bermanfaat untuk teman-teman yang sedang mengalami hal yang sama:

  • Mencari support group, bisa dari teman-teman yang mengalamai hal yang sama.
  • Berjemur.
  • Keluar rumah atau piknik.
  • Mendengarkan musik.
  • Art theraphy, yaitu mengikuti workshop tentang membuat kerajinan seni.
  • Melakukan riset yang lain diluar riset PhD.
  • Minum obat tidur jika tidak bisa tidur.

Bisa juga melakukan hal-hal positif lain yang bisa mengalihkan dari penyebab depresinya, dalam konteks ini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan proses PhD kita.

Selain sebagai dosen, Hani Yulindrasari juga merupakan social worker pendamping psikologis untuk para korban kekerasan seksual di Yayasan Areta Utama, Bandung. Beliau juga merupakan fasilitator  Sekolah Damai Indonesia, konselor di Pusat Pendidikan Keluarga JABAR dan supervisor hotline curhat online Tiara, Jawa Barat Beliau merupakan seorang ibu dengan 2 anak. Riset PhD beliau adalah tentang guru laki-laki di TK dan bagaimana mereka menegosiasikan maskulinitasnya.

* Artikel ini adalah hasil wawancara Kanti Pertiwi yang telah ditayangkan pada instalive Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Destin Kurniawati dan diedit oleh Netty Herawaty.


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: