Najmah Usman: Atmosfer akademik dan peran pembimbing dalam pembelajaran PhD

Published by Rahimi Syaidah on

Halo teman-teman, perkenalkan nama saya Najmah Usman, seorang ibu dengan 3 orang anak yang telah menyelesaikan PhD di Selandia Baru tahun 2020 ini. Saya lahir dan besar di bantaran sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Latar belakang Pendidikan S1 dan S2 saya adalah Kesehatan Masyarakat, saya memperoleh beasiswa AUSAID di Melbourne University dan menggeluti bidang statistik dan epidemologi.  Saya mengambil beasiswa S3 melalui New Zealand ASEAN Scholarships di Auckland University of Technology dalam bidang Kesehatan masyarakat.  Walaupun latar belakang  pendidikan saya lebih terfokus pada statistik untuk data kuantitatif, namun dalam pengambilan S3 ini saya lebih sering menggunakan metode kualitatif.

Saya adalah seorang dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya dengan keahlian statistik. Walaupun studi S3 saya merupakan ilmu yang berbeda dengan yang saya pelajari sebelumnya, saya tetap berperan sebagai pengajar statistik di FKM UNSRI karena saya mulai aktif kembali pada pertengahan tahun ajaran. Selama menempuh studi PhD, saya menulis dua buah buku yang berkaitan dengan statistik agar saya tidak melupakan ilmu statistik saya. Namun saya tetap berharap saya dapat mengoptimalkan ilmu yang saya dapat dari S3 dengan bergabung dalam tim kualitatif. Saat ini ilmu kualitatif yang saya pelajari selama kuliah S3 baru saya manfaatkan untuk projek sosial seperti English camp pada kampung pandai serta promosi Kesehatan mengenai korona dan epidemologi korona.

Perjuangan selama S3 diluar negeri

Hal utama yang menjadi bekal untuk kuliah diluar negeri adalah perlunya memahami adanya perbedaan perspektif antara barat dan timur. Selandia Baru menganut perspektif barat dengan ciri-ciri masyarakatnya mampu berfikir mandiri sejak dini, mampu berdiplomasi dan menuntun kita untuk banyak membaca dan mencari literatur sendiri. Sedangkan di Indonesia yang menganut perspektif timur, mahasiswa cenderung untuk selalu dituntun oleh dosen pembimbingnya. Di Selandia Baru kita akan diberi kebebasan untuk menentukan topik apa yang menjadi ketertarikan kita dan diajarkan untuk memahami lebih mendalam topik tersebut dan bagaimana kita mampu menuliskannya secara kritis. Lain halnya dengan di Indonesia, penulisan yang kita lakukan masih secara deskriptif dan melakukan analisis hanya dari data deskriptif dan analitik. Di Selandia Baru, mahasiswa dikenalkan bahwa dalam dunia kualitatif, tidak ada analisis yang benar dan tidak ada yang salah. Untuk memulai metode pembelajaran seperti ini maka kita harus memulainya dengan menjadikan pikiran kita seperti gelas kosong. Dengan demikian kita baru dapat menggali sesuatu yang baru dan terlatih bukan hanya sekedar membaca jurnal tetapi untuk mengkritisi dan menguliti setiap kalimat yang baca.

Perbedaan pola komunikasi dengan dosen pun menjadi suatu hal yang baru. Di Indonesia kita masih mengenal strata dengan dosen sehingga membuat kita takut bicara dan memiliki paradigma bahwa guru tahu segalanya. Sementara di Selandia Baru hal tersebut tidak berlaku.

Penulisan proposal di Selandia Baru dilakukan sejak tahun pertama, dan kita pun diberikan kebebasan untuk berfikir dan berpendapat dalam penulisan proposal ini. Jika di tahun ke-empat ternyata penulisan kita agak menyimpang, kita akan ditarik dan diarahkan agar tepat tujuan, seperti layangan nyasar yang ditarik lagi.

Dalam hal bimbingan proposal, ada seni yang harus kita taklukan yaitu seni dalam memahami perkataan pembimbing yang berbeda kultur. Kalau dia menyatakan “kayaknya tulisan kamu tidak akan disukai penguji”, kita tidak boleh berpikir ya sudah kalo penilai tidak suka abaikan saja, karena sebenarnya hal itu artinya tulisan kita kurang baik dan harus ditulis ulang. Contoh lainnya jika pembimbing bilang “kayaknya kita gak pernah diskusi tentang topik ini” artinya bagian tulisan tersebut belum ada atau belum tepat dan harus ditulis ulang. Tipikal pembimbing ‘bule’ yang sangat lembut tidak langsung ke inti permasalahan ini kadang membuat kita merasa baik-baik saja padahal kondisinya tidak baik-baik saja. Hal ini berbeda dengan pembimbing dari Indonesia yang cenderung langsung menanggapi ke inti permasalahan.

Pola adaptasi dan komunikasi

Kendala seorang ibu yang memiliki anak namun melanjutkan studi PhD ini kadang dipaksa pada keadaan untuk memilih keluarga atau studi, bagi saya keduanya tidak terpisahkan. Untuk itu maka hal yang saya lakukan sejak awal adalah memperkenalkan keluarga saya kepada pembimbing sehingga pembimbing dapat memahami kondisi saya. Ada beberapa hal yang mendukung keberhasilan saya untuk sekolah sambil berkeluarga :

  1. Intimate, dukungan dari suami mulai dari membantu di rumah dan menggantikan mengasuh anak
  2. Hubungan diplomasi (power of diplomacy) dengan pembimbing khususnya jika pembimbing lebih dari satu orang. Mereka harus bisa kita jadikan bukan hanya pembimbing tapi juga sahabat, kawan dan orang tua

Perbedaan atmosfer kampus

Auckland University of Technology merupakan kampus milenial dengan jumlah mahasiswa yang tidak terlalu banyak namun sistemnya di optimalkan agar mahasiswa bisa lulus dengan baik. Pelayanan yang disediakan untuk mendukung sistem ini diantaranya adalah :

  1. Learning advisor; disediakan untuk meluruskan hubungan mahasiswa dengan supervisior.
  2. Fasilitas Bahasa; Bantuan untuk proof reading untuk mahasiswa asing. Karena kendala yang sering dihadapi kita adalah bagaimana menulis Bahasa Inggris dengan baik dan benar
  3. Perwakilan pemberi beasiswa dari pemerintah Selandia Baru di kampus untuk mendukung apabila ada masalah sehingga mahasiswa dapat menghubungi perwakilannya tersebut

Kunci terpenting untuk mengambil PhD di luar negeri adalah resilience, jangan menyerah jika ada masalah. Hal ini bisa dilakukan dengan curhat ke suami untuk menenangkan emosi atau diskusi dengan teman yang tepat. Sebagai contoh jika kita memiliki ide yang berbeda dengan pembimbing maka kita perlu memiliki teman asing yang memang terbiasa berfikir kritis sehingga mampu menerjemahkan keinginan implisit dari pembimbing kita. Selain itu kita juga harus bergaul dengan teman yang memiliki Bahasa yang paling bagus dalam satu jurusan sehingga kita dapat pencerahan atas kebingungan kita.

Jika memiliki masalah dengan salah satu pembimbing maka diperlukan kemampuan diplomasi dengan menemui pembimbing satu persatu terlebih dahulu sebelum bertemu secara bersama-sama untuk menyelesaikan masalah. Jika permasalahan belum mampu dipecahkan, bisa menggunakan pihak ketiga, dalam hal ini biasanya adalah learning advisor. Kita harus sering berinteraksi dengan pembimbing untuk melatih sensitivitas kita agar mengurangi kesalahpahaman yang mungkin terjadi.

Semangat menulis tinjauan pustaka

Dalam penulisan tinjauan pustaka (literature review) kita bisa diminta untuk melakukan revisi hingga 10 kali. Kuncinya jangan merasa kecil hati atau merasa kurang baik kalau tulisan kita terus diminta untuk di revisi, hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang baik didepan tim penguji nantinya. Dalam setiap kali revisi, kita harus bisa belajar dari supervisior karena memang ilmu dan kemampuan kita belum sedalam yang diharapkan. Kita perlu membuka pikiran bahwa supervisor memberikan kita tanggapan yang terbaik.

Biasanya penulisan tinjauan pustaka diawali dengan 2000-3000 kata pertama yang kemudian nantinya akan berkembang menjadi proposal sebanyak 10.000 kata. Tinjauan pustaka ditulis dalam 2 tahun untuk bab awal. Pada kasus saya, saya baru mulai mengedit tinjauan pustaka setelah saya mendapatkan hasil dan penulisan hingga bab akhir. Ketika kembali ke bab awal saya baru menyadari bahwa tulisan saya masih berupa data dan saya harus menggunakan metode tematik untuk memperbaiki dengan pola ‘5W + 1 H’. Ternyata saya baru menyadari di akhir kalau pola yang baik dalam penulisan itu diawali dengan pemetaan pertanyaan dan diakhiri dengan menjawab pertanyaan melalui pencarian literatur. Kesalahan yang saya lakukan dalam penulisan bab awal ini adalah karena saya menggunakan tinjauan sistematik dengan menuliskan langsung apa yang ada dijurnal tanpa dikritisi lebih dalam.

Tips paling penting dalam penulisan adalah untuk selalu membuat resume dari setiap 1 jurnal atau 1 bab buku yang kita baca dan sebisa mungkin dilakukan secara disiplin, misalnya 1 minggu sekali. Untuk menjaga keamanan dari resume tersebut maka perlu di upload di blog dan membuat tabel dengan memberikan kata kuncinya sehingga kita tidak menjadi seorang google picker, tapi benar-benar mampu menganalisis intisari dari setiap jurnal yang kita baca.

*Artikel ini dikemas ulang dari tayangan instalive di Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Rahmi dan diedit oleh Imi Surapranata untuk phdmamaindonesia


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: