Liputan Webinar Memimpikan Dunia yang Bebas Dari Kekerasan Terhadap Perempuan – Mungkinkah?

Published by evayulita on

Webinar seri pertama dalam rangka hari anti kekerasan terhadap perempuan pada bulan November ini telah dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 31 Oktober 2020. Sebagai narasumber pertama adalah Iwan Awaluddin Yusuf yang sedang menempuh studi S3nya di Monash University di bidang media, film, dan jurnalisme. Narasumber kedua yaitu Hani Yulindrasari yang telah menyelesaikan studi S3nya dari University of Melbourne di bidang studi gender. Moderator pada acara ini adalah Cahya Hanifah Yunizar yang sedang menempuh studi S3 di University of Minnesota, dengan peminatan studi tentang Keluarga. Rekaman acara tersebut tersedia di kanal YouTube PhDMama Indonesia.

Mas Iwan mempresentasikan materinya dengan judul “Perempuan dan Kekerasan dalam Pemberitaan Media”. Indikasi kekerasan terhadap perempuan bisa digambarkan oleh sebuah piramida, dimana letak dari urutan yang paling atas hingga yang paling bawah adalah explicit violence, removal autonomy, degradation, dan rape jokes. Masalah yang sama juga terus terjadi di media, diantaranya:

  1. perempuan tidak banyak ditampilkan di media untuk hal yang sifatnya serius. Perempuan hanya ditampilkan sebagai pemanis, pelengkap;
  2. misrepresentasi atau kekeliruan sering terjadi jika perempuan ditampilkan dalam media;
  3.  sangat sedikit perempuan yang bekerja di media sebagai jurnalis, pekerja kreatif. Sehingga media banyak ditampilkan dari sudut pandang atau kacamata laki-laki.

Menurut laporan dari PBB, 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan: 35% kekerasasan dilakukan oleh orang terdekatnya dan 7% oleh orang asing. Di Indonesia sendiri, menurut Komnas Perempuan 2016, 3 perempuan mengalami kekerasan tiap 2 jam. Media memiliki berbagai peran untuk menyikapi kekerasan terhadap perempuanm diantaranya, pasif atau tidak mengambil peran dan tidak peduli; mereproduksi atau memodifikasi untuk memperoleh penonton atau pembaca; mengedukasi publik dengan menjalankan fungsi pengawasan serta pencegahan dan menyeimbangkan orientasi kepentingan publik dengan orientasi ekonomi perusahaan; progresif dengan menerapkan dan mengembangkan jurnalisme sensitif gender serta berkomitmen, berserikat, melakukan advokasi terhadap penyintas serta menyuarakan hak-hak perempuan. Menurut penelitian Abar dan Subardjono (1998) beberapa koran mainstream, seperti Suara Merdeka dan Kedaulatan Rakyat, menggunakan 21 kata yang mengganti kata “perkosaan”. Untuk memperbaiki kondisi ini, hendaknya media melakukan pendekatan sensitif gender dan memberikan latar belakang yang cukup ketika melaporkan kejadian kekerasan terhadap perempuan.

Mbak Hani memberikan presentasi dengan judul “Mengenal Kekerasan Berbasis Gender”. Menjadi laki-laki dan perempuan melibatkan banyak hal, diantaranya jenis kelamin secara biofisiologis; harapan sosial, budaya, agama, kelas; dan simbol maskulin atau feminin. Gender merupakan atribut sosial budaya yang dilekatkan pada jenis kelamin yang secara budaya bersifat kodrati. Contoh, laki-laki adalah maskulin yang kuat, rasional, pemberani, dan pencari nafkah utama. Sedangkan perempuan adalah feminin yang lemah lembut, emosional, gemulai. Padahal dalam kenyataannya perempuan itu juga kuat secara fisik, sebagai contoh seorang Ibu bisa menggendong anaknya berjam-jam di tangan sebelah kanan sambil membawa belanjaan di tangan kirinya. Diskriminasi berbasis gender kerap terjadi, misalnya dalam hal kesenjangan upah. Upah rata-rata per jam laki-laki lebih tinggi dibanding dengan upah perempuan. Hal ini terjadi pada buruh bangunan yang kebanyakan dikerjakan oleh laki-laki yang memperoleh upah lebih tinggi dan libur karena dinilai pekerjaannya lebih berat dibandingkan asisten rumah tangga yang kebanyakan dikerjakan oleh perempuan yang bekerjanya dinilai tidak lebih berat. Padahal dalam kenyataanya, asisten rumah tangga mengerjakan urusan rumah tanpa henti yang juga sangat melelahkan.

Segregasi gender juga terjadi di beberapa universitas, sebagai contoh di ITB penerimaan mahasiswa baru laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini karena ITB memiliki program studi yang dikaitkan dengan laki-laki, dibandingkan dengan program studi di UI dan UGM. Fenomena memandang rendah perempuan oleh laki-laki (mansplaining) juga merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang masih sering terjadi, sebagai contoh ketika di dalam suatu rapat ada peserta rapat laki-laki yang berusaha menjelaskan kembali apa yang sudah dijelaskan oleh seorang peserta perempuan. Di samping itu perempuan juga seringkali mengalami beban ganda, misalnya untuk mencapai posisi dalam pekerjaan perempuan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terhambat oleh urusan rumah tangga. Perempuan juga kerapkali mengalami stigmatisasi seperti ibu yang gagal, ibu yang baik, istri yang baik, istri yang tidak bisa mengurus suami. Mbak Hani berpendapat bahwa untuk menghentikan kekerasan berbasis gender bisa dilakukan pendekatan struktural dan hukum berupa kebijakan dan norma, pendekatan budaya yang berupa edukasi, serta kerjasama antara kaum perempuan dan laki-laki untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan anti kekerasan.

Penulis: Eva Yulita Nugraheni
Editor: Tatum Syarifah Adiningrum


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: