Yuherina Gusman: Tips mengelola keuangan dan waktu dari PhD mama di Taiwan

Published by smuniroh on

Nama saya Yuherina Gusman, biasa dipanggil Yuher atau Rina. Saya mahasiswa PhD tahun keempat Jurusan Hubungan Internasional di National Chengchi University, Taiwan.

Tidak sengaja memilih Taiwan

Sebelumnya saya lulus S2 dari Taiwan National Cultural Study, dan S1 di jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran. Ini adalah kali kedua saya belajar di Taiwan menggunakan beasiswa dari MOE (Ministry of Education) – salah satu beasiswa dari pemerintah Taiwan. Awal saya melanjutkan studi S2 ke Taiwan sebenarnya secara tidak sengaja, dulu saya berniat untuk bersekolah ke Korea. Tapi pada tahun 2009, ketika masih bekerja sebagai staff di DPR, saya mendapatkan kesempatan mencoba ikut wawancara di Universitas Indonesia untuk beasiswa studi ke Taiwan dan diterima. Dengan berbekal pengalaman studi S2 ini, ditambah kebetulan suami juga mendapat kesempatan untuk sekolah juga di Taiwan, akhirnya saya memutuskan kembali ke Taiwan untuk melanjutkan studi S3 dengan membawa keluarga.

Thesis dan Aktivitas di Serikat Pekerja Taiwan

Selain sebagai PhD mama, saya juga aktif bekerja sebagai manajer program untuk Union Migrant Indonesia di Taiwan. Thesis PhD saya juga sangat erat kaitannya dengan pekerja migran. Saya meneliti tentang family hood dari pekerja migran, terutama bagaimana mereka mengelola kehidupan keluarga dari jarak jauh. Selama ini fokus utama para pekerja migran adalah pada sektor ekonomi karena peran mereka yang besar dalam menopang perekonomian keluarga. Namun ada sisi lain yang tidak banyak tersentuh oleh pekerja migran yaitu fenomena dimana hampir seluruh pekerja migran ini merasa tidak cukup untuk bekerja di Taiwan dengan satu kali kontrak. Mereka cenderung untuk memperpanjang kontrak 2x atau 3x sampai batas maksimum yang diperbolehkan oleh pemerintah, bahkan ada yang sampai bekerja selama 13 tahun di Taiwan. Hal ini karena biasanya gaji yang sudah mereka dapat tidak digunakan secara produktif. Misalnya mereka memiliki keinginan untuk membeli rumah yang lebih bagus dari majikan. Para pekerja migran ini tidak bisa mengelola capital dengan baik, atau yang disebut dengan istilah global cinderella. Hal ini tentu saja berdampak bagi keluarga para pekerja migran, misalnya seorang ibu harus meninggalkan anak di Indonesia ketika masih bayi dan ketika pulang si bayi sudah beranjak menjadi remaja.

Pemerintah Indonesia melalui serikat pekerja memberikan pelatihan untuk TKI – BMI untuk memutus rantai migrasi yang terus menerus sehingga tidak ada lagi keluarga di Indonesia yang terbengkalai. Masa kerja di upayakan untuk cukup 1-2x kontrak saja. Serikat pekerja melakukan edukasi agar mereka mampu mengelola keuangan dengan baik. Mereka juga diberikan pelatihan ekonomi, bisnis, maupun pelatihan seperti membuat video untuk menjadi youtuber agar bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Pemerintah juga memberikan pelatihan untuk keluarga TKI/BMI di tanah air, karena selama ini keluarga di tanah air-lah yang justru menghabiskan uang yang dihasilkan pekerja migran secara konsumtif, bukan untuk hal yang bersifat produktif. Anak-anak pekerja migran diberikan training untuk meminimalisir faktor resiko negatif secara psikologis agar anak-anak menjadi lebih percara diri.

Saya meneliti strategi bagaimana family hood di-maintain dari jarak jauh serta bagaimana tingkat keberhasilannya. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa selama ini banyak keluarga pekerja migran yang menerima stigma negatif, namun ada juga di antara keluarga mereka yang berhasil. Saya mempelajari apa strategi family hood yang bisa sukses diterapkan bagi pekerja migran ini, bagaimana mereka bisa mengelola anak-anak yang ditinggal. Pengalaman bekerja di Serikat Pekerja Migran ini sangat membantu saya saya dalam thesis karena subyek penelitian saya adalah pekerja migran yang ada dalam serikat tersebut.

Home-schooling anak untuk pendidikan agamanya

Salah satu tantangan yang saya hadapi selama di Taiwan adalah bagaimana memilih pendidikan yang cocok untuk anak saya, Najmi, 5 tahun, yang saat ini duduk di bangku TK B. Dia sempat mencoba sekolah selama satu semester, namun tidak cocok karena kendala bahasa. Selain itu saya merasa pendidikan agamanya juga menjadi sangat kurang. Pada waktu Nazmi mencoba bersekolah selama satu semester dulu, saya sibuk belajar di kampus dari pagi sampai malam. Suami saya juga demikian, kerja dari pagi sampai sore. Akibatnya waktu bersama keluarga menjadi tidak ada, Najmi merasa kehilangan attachment dan mudah sekali untuk tantrum. Disisi lain saya dan suami meyakini bahwa usia Najmi adalah usia terbaik untuk mengenalkan terhadap tauhid, karena hal ini tidak diajarkan di sekolah di Taiwan. Akhirnya kami memutuskan untuk memberi Najmi waktu seminggu uji coba untuk tidak sekolah. Alhamdulillah hasilnya lebih bagus – Nazmi hafalannya menjadi banyak. Dulu rukun Islam saja tidak tahu, karena kami sudah kelelahan dan tidak sempat mengajarkan. Pada akhirnya saya dan suami memutuskan untuk melakukan homeschooling demi pendidikan agama anak saya. Saya membagi waktu saya, di pagi hari untuk Nazmi, siang untuk bekerja di catering, dan malam untuk belajar, menunggu anak tidur atau menunggu ada ayahnya untuk menjaga Nazmi.

Strategi finansial

Berdasarkan pengalaman, dana beasiswa Taiwan yang diberikan hanya cukup untuk kebutuhan satu orang tapi tidak cukup untuk keluarga. Singkat kata, untuk mahasiswa yang masih lajang, besaran dana yang diterima sangatlah cukup karena mereka bisa tinggal di dormitori yang harga sewanya lebih murah. Lain halnya dengan mahasiswa yang membawa keluarga, karena tidak diperbolehkan untuk tinggal di dormitori sementara biaya sewa apartement mahal sekali, banyak mahasiswa yang akhirnya berguguran karena masalah finansial. Oleh karena itu bagi calon mahasiswa yang akan studi di Taiwan dengan membawa keluarga, penting sekali untuk membuat perencanaan finansial dengan baik.

Beasiswa MOE yang saya terima mengcover biaya untuk studi maksimal 5 tahun. Karena saya sudah menggunakan dana 2 tahun untuk pendidikan S2, maka saya hanya berhak menerima biaya MOE untuk studi PhD saya selama 3 tahun saja. Biaya kuliah selanjutnya harus saya tanggung sendiri . Hal ini tidaklah mudah. Karena itu saya dan suami sudah harus menyusun langkah yang akan kami lakukan dari sebelum berangkat ke Taiwan. Berikut ini strategi yang saya lakukan:

  • Mencari informasi dari Persatuan Pelajar Indonesia terkait real living cost dan biaya-biaya lain seperti day care. Biaya sekolah di Taiwan untuk anak usia 5 tahun keatas gratis, namun untuk anak usia TK harus membayar sekitar 2000NT per-bulan atau 1 juta per-bulan. Untuk anak usia 5 tahun kebawah biaya daycare/preschool sekitar 5-10 juta/bulan. Ada pilihan yaitu merawat sendiri, tapi tentu saja akan berpengaruh ke terbatasnya waktu untuk pendidikan. Pilihan lain adalah dengan membawa pembantu namun akan terkendala karena setiap 3 bulan harus keluar terkait aturan visa. Jalan tengah yang bisa di ambil adalah dengan berbagi tugas dengan suami untuk mengasuh anak dan bekerja.
  • Biaya makan hampir sama seperti Jakarta, yang mahal adalah biaya apartemen. Jika ingin mencari apartemen yang murah konsekuensinya bisa lokasinya yang jauh dari kampus, atau kalaupun dapat yang dekat kampus fasilitasnya akan kurang maksimal, misalnya mendapatkan apartemen di lantai 5-6 tanpa lift. Banyak mahasiswa terpaksa memilih opsi ini asalkan keluarga bisa berkumpul.
  • Taiwan adalah negara 4 musim yang setiap 3 bulan terjadi perubahan cuaca, maka tentu saja kita harus menyiapkan pakaian untuk bisa adaptasi
  • Karena beasiswa tidak mengcover tiket keberangkatan keluarga, maka persiapkan uang untuk membiayai tiket pesawat PP sendidri. Beasiswa yang ditanggung terbatas tuition fee, credit fee, dan living cost. Beasiswa MOE besarnya 20.000 NT, untuk mahasiswa lajang lumayan besar, namun untuk keluarga tidak cukup karena keluarga kecil dengan 1 anak membutuhkan sekitar 80.000 NT per bulan. Jadi kita harus memiliki pekerjaan untuk mencari tambahan.
  • Ada aturan batasan jumlah jam kerja untuk mahasiwa. Mahasiswa hanya di perbolehkan untuk bekerja maksimal 20 jam seminggu. Visa pasangan sebagai dependent tidak boleh bekerja full time. Ada peluang mahasiswa untuk bekerja menjadi research assistant tapi tetap tidak cukup untuk mengcover biaya hidup keluarga. Namun kenyataannya justru semakin banyak mahasiswa ke Taiwan membawa keluarga. Untuk bisa survive, mahasiswa dan pasangan harus bekerja paruh waktu seperti menjadi tukang cuci piring di warung indonesia. Kalau saya, memilih berjualan makanan/catering untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah.

Kalau tidak berpikir panjang terlebih dahulu sebelum berangkat tentu akan menyulitkan baik diri sendiri maupun keluarga, yang pada akhirnya akan bisa mengganggu kegiatan studi. Mahasiswa dan pasangan perlu menyusun strategi siapa yang akan bekerja dan bagaimana mengasuh anak selama di Taiwan. Banyak kasus mahasiswa yang bekerja, justru malah membuat studinya terbengkalai

Tips mengelola waktu

Selain strategi finansial, penting untuk bisa mengelola waktu agar tercapai semua tujuan dalam kehidupan akademik dan keluarga.

  • Susun prioritas tujuan sesuai kebutuhan setiap bulan: berapa jam dalam sehari yang di butuhkan untuk riset, nulis, revisi, anak, atau bekerja (catering) – kemudian bagaimana mengatur ritme dari setiap kegiatan
  • Usahakan bangun sebelum subuh untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan konsentrasi tinggi, seperti membaca
  • Coba menulis 2 jam setiap hari – jika dilakukan terus-menerus, sedikit demi sedikit pasti akan menghasilkan tulisan yang banyak.  Saya pernah menunda-nunda dan baru menulis diakhir menjelang deadline, pada akhirnya hasil tulisan saya menjadi tidak bagus dan Profesor saya marah.
  • Mengisi ruhiyah kita untuk mendapatkan kekuatan yang lebih sehingga mampu mengerjakan beberápa amanah dalam waktu terbatas. Misal, membersamai anak dalam waktu 2 jam secara berkualitas.
  • Be profesional! Walaupun dirumah anggaplah seperti kerja dikantor untuk setting mood agar menjadi lebih produktif.

*Artikel ini dikemas ulang dari tayangan instalive di Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Siti Muniroh dan diedit oleh Imi Surapranata untuk phdmamaindonesia


smuniroh

English Teacher Educator, Universitas Negeri Malang, Indonesia

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: