Yulisna Mutiasari (Nana): Tantangan pindah kampus dan menyeimbangkan studi dan keluarga
Nama saya Yulisna Mutia sari biasa dipanggil Nana. Saat ini, saya sedang menempuh studi Ph.D di Monash University. Sebelumnya, saya telah menyelesaikan studi sarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Solo pada jurusan Fisioterapi. Kemudian saya menyelesaikan studi pasca sarjana di Universitas Wollongong, New South Wales, Australia bagian Timur. Setelah itu, saya melanjutkan studi S3 di Curtin University, Australia bagian Barat, tetapi pada akhirnya saya kembali ke Australia bagian Timur untuk melanjutkan studi di Monash University. Sebelum saya datang ke Australia, saya mengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta di Solo, tetapi pada akhirnya saya memilih untuk resign, karena waktu itu pilihan yang rasional dan memungkinkan bagi saya adalah resign untuk bisa tinggal bersama suami di Jakarta.

Adaptasi pindah kampus
Saat semester pertama, supervisor saya mengirimkan email kepada saya untuk mengadakan pertemuan. Di saat itulah supervisor tersebut memberitahu saya bahwa beliau akan pindah ke Monash University. Perasaan saya waktu itu seperti patah hati, karena salah satu alasan saya memilih Curtin University selain Perth yang dekat dengan Indonesia, alasan lainnya adalah supervisor tersebut bidang keahliannya sesuai dengan topik riset saya dan pengambilan data penelitian dilakukan di Indonesia. Sebenarnya, pilihan 100% ada di tangan saya, karena supervisor memahami kondisi saya yang membawa keluarga. Respon pertama saya setelah bengong mendengar kabar tersebut adalah langsung menelpon suami. Setelah itu, saya sudah tidak fokus untuk mengerjakan disertasi di kampus. Supervisor akan pindah ke Monash University dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan, sebelum presentasi kandidasi saya. Saat itu, saya berusaha fokus pada presentasi, dan setelah itu baru memberikan keputusan untuk pindah ke Monash University. Menurut saya, masing-masing pilihan memiliki konsekuensi. Apabila saya memilih untuk tetap di Curtin University, supervisor sebelumnya tidak bisa lagi menjadi main supervisor, sehingga saya harus mencari main supervisor pengganti yang ada di Curtin University. Tetapi jika saya memutuskan untuk pindah, pastinya saya harus siap untuk pindah membawa keluarga dan kembali beradaptasi di tempat yang baru.
Sebenarnya salah satu alasan utama saya berpidah dari Curtin University ke Monash University adalah karena supervisor saya pindah. Menurut saya, supervisor adalah kunci utama ketika melanjutkan studi S3, bahkan hal tersebut lebih penting dari pada universitasnya. Mengapa demikian? karena kita mencari supervisor yang cocok dan expert pada bidang research kita itu seperti mencari jodoh. Waktu itu saya merasa bahwa saya cocok dengan main supervisor itu, akhirnya saya memutuskan untuk pindah.
Di Curtin University, Fisioterapi itu adalah sebuah sekolah (School of physiotheraphy and Exercise Science). Sedangkan Fisioterapi di Monash University jangkauannya lebih kecil, termasuk kategori departemen. Saat itu, ketika Saya memilih Curtin University karena kampus tersebut sudah advance di bidang Fisioterapi, sehingga sudah tidak lagi menjadi departemen tetapi sekolah, dimana di dalamnya membawahi beberapa departemen lagi. Tetapi, supervisor saya mendapatkan promosi di Monash University, dan menjadi direktur di sebuah research center center dan menurut saya itu merupakan peluang yang baik juga bagi studi saya. Saat itu, saya merupakan PhD student pertama di research center tersebut.
Perjalanan studi dengan keluarga
Setelah menikah, saya tehah menjadi dosen di universitas Muhammadiyah Surakarta di solo. dan suami bekerja di DPD/MPR Jakarta. Setelah menikah saya menjalani long distance marriage dengan suami karena saya di Solo, sementara suami di Jakarta. Saya mendapatkan beasiswa dari DIKTI untuk studi S2 saya di Universitas Wollongong dan memiliki perjanjian bahwa tidak akan resign dari kampus minimal 4 tahun setelah kuliah. Saat itu saya menunggu peluang suami bisa pindah ke Solo atau tidak. Namun, setelah menunggu 4 tahun dan tetap belum ada peluang, akhirnya saya memutuskan untuk resign setelah masa perjanjian saya habis dan pindah ke depok bersama dengan suami, kemudian saya hamil anak kedua. Pada kehamilan tersebut, kehamilan saya kurang sehat. Sehingga, saya diminta untuk bed rest dan saya menjadi ibu rumah tangga selama 1 tahun. Saat itulah, saya mencoba membuat proposal untuk persiapan studi S3, dan suami pada saat itu sangat mendukung.
Saat ini, anak pertama saya berusia 5,5 tahun, bersekolah di tingkat Pre-Primary School. Sementara anak kedua berusia 2,5 tahun. Saat mendapatkan beasiswa di Australia, saya membawa serta suami dan dua anak saya. Pada waktu itu, anak kedua saya masih berusia 11 bulan dan saya mendapat kemudahan, karena apabila kita masih memberikan full ASI pada anak, maka keluarga boleh langsung ikut ke Australia. Tetapi, apabila kita tidak sedang memberikan ASI pada anak, biasanya kita harus menunggu tiga atau empat bulan baru keluarga boleh menyusul. Kebetulan saya mendapatkan beasiswa Australia Award Scholarship (AAS) yang mana visa, dan keperluan lain telah diurus oleh pihak beasiswa.
Dengan membawa keluarga, saya harus menyiapkan rumah sementara bagi keluarga. Pada waktu itu saya harus inspeksi dulu kemudian memasukkan aplikasi, dan menunggu apabila belum di approve. Saya mengurus itu semua sambil menggendong anak karena tidak ada pembantu ataupun orang tua untuk membantu saya mengurus dan dititipkan anak pada saat itu.
Pengalaman tentang beasiswa fisioterapi
Saya mendapatkan beasiwa S2 dari DIKTI, dengan mengambil jurusan gerontology and rehabilitation. Jurusan ini bukan murni jurusan fisioterapi. Tetapi, ini adalah bidang kesehatan yang fokusnya kepada lansia dan rehabilitasi lansia. Jurusan ini adalah multidisiplin ilmu dimana melibatkan beberapa ahli kesehatan seperti dokter, fisioterapi dan perawat yang fokus ke lansia, lebih fokus lagi ke geriatri. Studi S3 saya di jurusan fisioterapi dengan fokus pada riset lansia, khususnya lansia dengan dementia. Untuk bidang studi tersebut, setahu saya terdapat tiga jenis beasiswa, pertama beasiswa dari pemerintah Indonesia seperti BUDI dan LPDP. Kedua, beasiswa dari pemerintah Australia, seperti Australian Award Scholarship dan yang ketiga adalah beasiswa dari kampus di Australia.
Ketika ritme menjadi sebuah Tantangan
Tantangan paling besar adalah pengaturan ritme atau jadwal antara saya dan suami. Proses awal adaptasi menimbulkan sedikit pertikaian yang merupakan hal yang wajar. Dalam proses adaptasi, saya harus memikirkan yang mana yang harus saya prioritaskan. Pembelajaran yang paling sulit adalah berdamai dengan diri sendiri, karena tipe diri saya adalah me time dengan keadaan rumah rapi. Sehingga, saya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk mengatur ritme tersebut dan beberapa kali merubah strategi. Hal yang paling penting bagi saya adalah komunikasi dengan suami.
Peluang kerja untuk mahasiswa phD di Australia
Sebenarnya, terdapat banyak peluang pekerjaan untuk mahasiswa S3, seperti menjadi tutor atau staff di library. Tetapi saya tidak memilih untuk bekerja karena anak-anak saya masih kecil, sehingga suami saya yang bekerja. Saat ini suami bekerja di sekolah kuliner. Saat mencari pekerjaan yang menjadi pertimbangan adalah waktu agar dapat menyesuaikan jadwal dengan istri agar bisa bergantian menjaga anak.
Sistem kesehatan di Australia
Sistem kesehatan bagi mahasiswa yang hamil atau pun melahirkan tergantung dari beasiswa yang mereka terima. Beasiswa AAS tidak melarang hamil dan asuransi mahasiswa ditanggung oleh AAS, tetapi untuk asuransi keluarga tidak termasuk di dalamnya, artinya kita harus membayar sendiri untuk asuransi keluarga.
*Artikel ini dikemas ulang dari tayangan instalive di Instagram @phdmamaindonesia. (Ditulis oleh Roudhotul Anfalia, diedit oleh Della Rahmawati untuk blog phdmamaindonesia)
0 Comments