Nayunda Andhika Sari : Menentukan Topik Penelitian dan Studi Bersama Anak Semata Wayang

Published by Della Rahmawati on

Perjuangan ini belum berakhir! Puan, kamu juga bisa jangan pernah berhenti ketika sudah melangkahkan kakimu dalam perjuangan meraih mimpi dan keinginanmu.

Kisah kali ini merupakan kisah dari seorang mama yang sedang menempuh studi PhD di Monash University, yaitu Nayunda Andhika Sari dengan menggunakan beasiswa LPDP BUDI.

Bukanlah hal yang mudah bagi seorang Nayunda ketika akan mengambil kesempatan berjuang di Monash University sebagai seorang istri, mama sekaligus mahasiswa dengan segala pertimbangannya.

Nayunda yang memiliki ketertarikan yang sangat besar terkait Women Leadership, membawanya meneliti tentang Gender, Leadership dan Identity Literature melalui sebuah investigasi tentang bagaimana seorang perempuan mengambil keputusan dalam sebuah organisasi. Terkait apakah perempuan tersebut akan membuka identitasnya atau pun menutupi sebagian dari identitas aslinya.

Menurut Nayunda, saat ini Women Leadership sering kali disalahartikan oleh organisasi dikarenakan gender rule  dan banyak sekali judgment, stereotype dan bias terhadap perempuan.

…Perempuan itu sangat krusial dalam mengambil keputusan apakah ia harus membuka identitas aslinya ataukah menutup identitas aslinya sebagai perempuan.” ujar Nayunda.

Menurut Nayunda, perempuan sering kali merasa diri mereka tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya mereka rasakan. Bagaimana seorang perempuan membandingkan cara mereka melihat diri sendiri dengan bagaimana mereka percaya tentang pandangan orang lain melihat diri mereka.

Selain itu, perempuan juga harus dapat mengungkapkan bahwa mereka memiliki anak atau pun kehamilan, suami dan sebagainya kepada atasannya ataupun organisasinya.

Karena Puan Bisa!

Sebuah Kebijaksanaan Seorang Mama

“Ujung-ujungnya pengambilan keputusan seperti ini memang lebih ke personal sih, jadi kenapa Australia, kenapa Monash, itu lebih ke personal. Kalau di kasus saya itu personalnya lebih kepada karena ada suami dan anak. Walaupun sudah sangat bahagia dan betah di Inggris tetapi untuk kembali kesana maka Implikasinya banyak, dari segi biaya, jarak. Akan berpisah dengan suami karena sayakan hanya sekolah dengan anak semata wayang tadi jadi effortnya akan jadi besar kalau memilih di Inggris. Jadi memilih lokasi yang mana yang bisa yang kami bisa compromise”, ujar Nayunda.

Keluarga merupakan sebuah variabel pertimbangan yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keputusan Nayunda. Bukan hanya melihat peringkat kampus tetapi ia juga mempertimbangkan jarak lokasi kampus dengan keluarga. Walaupun kita tidak dapat menyamakan setiap kondisi dari orang-orang dalam mengambil keputusan untuk memilih lokasi studi mereka. Namun pertimbangan ini yang membuat Nayunda lebih memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Australia dibandingkan dengan Inggris yang sebelumnya telah membuat Nayunda sempat merasa bahagia saat mengambil gelar S2.

“Di Monash itu cuma ada 2 course yang wajib di ambil di tahun pertama dan itu sistemnya blok. Practicaly saya hanya kuliah dari Mei sampai September akhir atau Oktober dan yang mana itu sistemnya Blok. Jadi itu Cuma 5 full day untuk matakuliah pertama dan 5 full day untuk matakuliah kedua. Sedangkan di Inggris sama seperti di Indonesia full semester, jadi itu lebih melelahkan buat yang memiliki anak. Jadi Australia lebih membuat banyak waktu untuk mengurus anak.” ujar Nayunda

Menjadi mahasiswa sekaligus seorang mama dengan anak usia 6 tahun tidak membuat Nayunda terbebani. Tetapi, hal tersebut menjadi penyemangat tersendiri bagi Nayunda. Bersama dengan anak semata wayangnya, ia berhasil menentukan topik penelitian dari studinya di Monash University.

“Kalau mengambil keputusan membawa anak dan sebagainya sih pasti hasil dari diskusi. Jdi waktu itu banyak sekali pengalaman waktu saya sekolah di Inggris bareng suami dan anak juga yang mendukung keputusan ini. Memang kalau ini hal yang baru sekali mungkin effortnya akan lebih, mungkin persiapan mentalnya juga akan lebih besar lagi tapi saat itu didukung sekali sama hal-hal yang kita lewati bareng.”, ujar Nayunda.

Nayunda dapat dikatakan berhasil menjadi seorang mahasiswa tanpa kehilangan identitasnya sebagai seorang mama. Seperti teori Internal Identity Asymmetry yang akan dibahas Nayunda dalam topik penelitiannya, Nayunda juga membuka identitas aslinya sebagai perempuan yang telah berkeluarga dan mempunyai anak kepada supervisornya. Sebagai hasil, supervisornya pun mendukung Nayunda untuk menjadi seorang mahasiswa sekaligus seorang mama.

“Sebelum berangkat komunikasi kepada supervisor dan disana menyampaikan bahwa punya anak sebagai seorang student dan setelah disana dikomunikasikan kembali.”, ujar Nayunda.

Berjuang bersama Anak Semata Wayang

Bersama dengan anak semata wayangnya yang kini juga bersekolah di Australia, Nayunda memberanikan diri untuk mengambil topik penelitian tentang Women Leadership dimana penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian kecil yang pernah dilakukan Nayunda pada saat studi S2 di Inggris.

Lalu ketika mau ambil S3 jadinya ke arah situ sih ujung-ujungnya, ke arah gender tetap di lingkungan manajemen tapi tetap mengambil leadershipnya. Persepsi yang ada di saya bahwa itu pengalaman di area ini membuat saya tertarik dan akhirnya melanjutkan untuk dalam lagi menggali di S3.Tapi selain itu topiknya sangat personal sih bagi saya. ”, ujar Nayunda ketika ditanya pertimbangan utamanya dalam memilih topik proposalnya.

*Artikel ini dikemas ulang dari tayangan instalive di Instagram @phdmamaindonesia. Ditulis oleh Brema Damani dan diedit oleh Della Rahmawati untuk blog phdmamaindonesia.


0 Comments

Leave a Reply

%d