Anis Hamidati: Tentang Titel Istri vs. Suami dan Kemuliaan Menuntut Ilmu Bagi Siapa Saja
Lika-liku Studi PhD
“Kalau menulis disertasi itu harus konslet, Nis,” kata Ibu untuk kesekian kalinya dalam upayanya membesarkan hati saya ketika saya stuck dalam proses penulisan disertasi. Menulis bagi saya adalah sesuatu yang tidak mudah, terlebih lagi menulis disertasi yang adalah suatu proses yang panjang. Ibu saya lah yang bisa membesarkan hati saya ketika saya berpikir kalau kegiatan saya kurang produktif. Bila saya sedih karena saya menghabiskan waktu bermain, liburan, atau bersantai, Ibu akan bilang, “it’s okay, you deserve it.” Bila saya sedih karena saya merasa hidup saya tidak banyak kemajuan, Ibu akan bilang, “but look around you, you’ve done so much more than others.”
Menjadi mahasiswa PhD itu berarti hidup dengan rasa bersalah yang terus menerus, terutama bila mengerjakan yang selain perkuliahan alias kegiatan hidup normal lainnya. Beruntung saya punya Ibu yang bisa meringankan beban saya dengan menyarankan saya untuk take it easy baik dalam perkuliahan dan dalam hidup secara umum. Ibu selalu mengingatkan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, untuk bersabar, selalu berusaha dan melihat hikmah dari kemudahan dan kesulitan yang saya hadapi. Masukan Ibu jelas sangat relevan karena apa yang saya jalani karena Ibu pun pernah menjalaninya. Lima belas tahun yang lalu Ibu lulus dari perannya sebagai seorang PhD Mama.
Belajar dari Ibu Saya: Sang PhD Mama
Sebelum menjadi seorang PhD Mama, Ibu adalah seorang Master Mama. Dan sebelum itu, saya terlahir dari seorang BA Mama. Saya berkesempatan untuk melihat kedua orang tua saya dalam kapasitas mereka sebagai mahasiswa di berbagai jenjang. Ada asumsi bahwa memiliki orang tua berpendidikan tinggi otomatis akan ada tekanan bagi saya dan adik untuk berusaha sebaik mungkin dalam mengejar nilai di sekolah. Tapi pendekatan mereka selalu santai mengenai pendidikan kami.
Kadang saat mendapat nilai memuaskan pada kenaikan kelas saya menanyakan perihal hadiah. Ibu akan menjawab dengan bercanda, “Harusnya Ibu yang dikasih hadiah karena nyekolahin kamu, Nis.” Bila kami tidak mendapat nilai bagus pun, itu pun bukan masalah. Satu waktu saya meminta ikut kelas tutorial tambahan setelah jam sekolah, tetapi tidak diperbolehkan oleh Ibu. Setelah saya dewasa, saya tanyakan alasannya dan jawaban Ibu adalah, “I am an educator, Anis. I know what’s good for my children, and you should spend your time playing.” Pendekatan yang santai tersebut yang menghindarkan saya dan adik dari mengalami burn out dan kebosanan dalam mengejar ilmu secara formal dan memungkinkan kami kuliah sampai ke jenjang pasca sarjana.
Hanya satu yang kami harus pelajari tiap hari sepulang sekolah, yaitu berkenaan dengan agama. Karena kami Muslim, kami diwajibkan untuk untuk mengkaji Al-Quran, tanpa libur. Pengajarnya ya orang tua kami sendiri. Dan kami diminta untuk kritis bertanya dan berdiskusi dengan baik dan santun. Tidak ada satu pertanyaan matematika atau esai yang dibantu pengerjaannya sewaktu saya di bangku sekolah, tetapi keseluruhan solat dan ngaji diajarkan oleh Ibu. Bagi saya dan adik saya, peribahasa al-ummu madrasah al-ulaa yaitu Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya adalah benar adanya.
Ketika saya mengerjakan skripsi saya di Universitas Padjadjaran, baru saya melihat kapasitas Ibu sebagai pengajar. Walau disiplin ilmu kami berbeda, masukannya relevan dan dari Ibu lah saya belajar untuk melihat sesuatu secara multi-disipliner. Dalam kebingungan saya sewaktu menentukan metodologi, Ibu menyarankan dan akhirnya mengajarkan satu metodologi dari bidang keilmuannya yang juga bisa saya terapkan pada penelitian saya. Akhirnya buku-buku linguistik yang Ibu baca saat PhDnya pun menjadi relevan untuk saya baca.
Kali kedua saya melihat kapasitas Ibu saat saya mengerjakan tesis saya di Monash University. Satu waktu saya bingung tentang cara menulis tesis dan Ibu lah yang mengurai kebingungan saya, menyarankan saya untuk fokus dan untuk selalu mengingat bahwa saya menulis agar dimengerti untuk pembaca. Saya disarankan untuk menggunakan kalimat yang mudah dan menghindari penulisan dengan bahasa akademis yang rumit, untuk fokus untuk menjawab pertanyaan secara simple dan menghindari pengulangan.
Tujuan Ibu selalu adalah untuk mempermudah, baik itu mengajarkan untuk hidup dengan lebih mudah dengan mengurangi beban-beban yang tidak berguna ataupun mengajarkan menulis dengan runut dan efisien dengan menghilangkan kata-kata yang ruwet. Nasihat Ibu sebelum saya memutuskan untuk menjadi pengajar adalah, “nanti kalau kamu jadi dosen, Nis, jelaskan dengan kata-kata yang paling gampang ke mahasiswamu.” Ketika saya tanyakan bagaimana Ibu bisa menjelaskan secara runut dengan waktu yang singkat, dijawabnya sambil tertawa, “Ibu kan udah ngajar selama 30 tahun, Nis.”
Simplenessnya dalam pemikiran pun diterjemahkan dalam keseharian Ibu. Dibandingkan ibu-ibu lainnya, Ibu mungkin termasuk yang simple dalam berpakaian. Ibu adalah seorang perempuan biasa, seorang dosen pada umumnya, tetangga sebelah rumah yang selalu murah senyum kepada yang ditemuinya. Orang yang selalu santai dalam berpenampilan, Ibu sering disangka teman-teman sebagai kakak perempuan kami. Ibu pun selalu memilih untuk naik kendaraan umum kemana-mana, termasuk di dalam dan di luar negeri. Jalan-jalan bersama Ibu dan Bapak selalu bebas repot. Bila saya dan adik saya lebih memilih untuk tidur saat liburan ke luar kota, Ibu dan Bapak selalu siap di pagi hari dengan backpack mereka dan menarik kami dari depan TV, “ayo berangkat, Nas, Nis.”
Bapak Sosok Teladan yang Langka
Yang membuat Ibu hidup dengan bebas repot adalah sigarane nyowonya, yaitu Bapak. Sama seperti Mbah Kung, Bapak saya berprinsip bahwa tidak ada yang harus dalam hidup. Sebagai orang Jawa, terkadang kami dituntut untuk melakukan hal-hal yang patut menurut budaya yang mungkin kadang-kadang tidak begitu penting. “Yang bilang harus itu siapa?” adalah kalimat Bapak yang sering diucapkan ke Ibu. Kepada saya pun Bapak berpesan sama, “remember, my daughter. Focus on the essential, not the existential.”
Bapak saya memang tergolong langka. Ketika banyak laki-laki yang tidak terlalu mendukung istrinya mencapai kapasitas terbaiknya, Bapak melakukan sebaliknya. Sewaktu Ibu memulai kuliah S2, Bapak melepaskan pekerjaannya dan kami sekeluarga pindah mengikuti Ibu kuliah ke luar negeri. “Bapak nggak apa-apa kalau Ibu titelnya lebih tinggi?” tanya saya sewaktu kecil. “Ya nggak apa-apa dong. Emangnya kenapa kalau istrinya lebih tinggi titelnya?” tanya Bapak kembali ke saya. Hmm.. pertanyaan Bapak membuat saya ikutan berpikir kenapa kita terjebak pada pemikiran bahwa istri harus terbatas kemampuan suami.
Menurut Bapak, apa yang Ibu lakukan dalam menuntut ilmu itu adalah ibadah. “Al-ulama warasatul anbiya, Nis. Ulama atau orang yang berilmu adalah pewaris para Nabi.” Ulama diartikan oleh Bapak sebagai orang yang berilmu. Maka menurut Bapak, siapapun yang mendapat kesempatan belajar harus didukung.
Dan setelah Ibu selesai PhDnya, situasinya terbalik. Bapak berkesempatan untuk melanjutkan kuliah jenjang S3 sementara Ibu yang lalu bekerja purna waktu. Sikap Bapak yang tidak membatasi potensi Ibu dan juga sebaliknya membuat saya memiliki kepercayaan yang besar terhadap fungsi keluarga, bahwa semua anggotanya baik laki-laki dan perempuan bisa mendukung satu sama lain.
Sikap Bapak yang selalu mendukung Ibu seringkali diutarakan kepada kami anak-anaknya. “Kok Ibu bisa ya bicara di tempat umum dan lancar seperti itu?” tanya Bapak dengan kagum. Saya dan adik saya hanya bisa roll our eyes dan menahan ketawa bila mendengar public display of affection ini. Lucu sebenarnya mendengar itu dari Bapak, karena Bapak pun sangat bagus ketika menyampaikan ceramahnya di publik. Sepertinya mengagumi satu sama lain adalah kunci kebahagiaan hubungan Bapak dan Ibu. Keduanya adalah orang yang pandai bersyukur.
Bapak Studi S3
Ketika Bapak mulai kuliah S3nya, saya dan adik sedang mengerjakan S1 kami. Kalau ditanya alasan kenapa kuliah lagi, Bapak menjawab, “why not? Kuliah terus kan juga enak?” Betul juga. Kuliah adalah kesempatan yang bagus untuk belajar hal-hal yang mungkin tidak bisa kami tekuni di tempat kerja. Dan kuliah itu bisa dibawa fun, bahkan ketika masa-masa yang stress terberat seperti saat penulisan tesis atau disertasi tiba. Sering ketika saya pulang sekolah saya mendapati Ibu menurunkan beberapa plastik besar dari mobil yang berisikan hasil buruannya di op-shop di dekat rumah. Caranya Ibu melepaskan stress adalah dengan berburu belanjaan yang mungkin tidak terlalu diperlukan, tetapi berhubung harganya sangat murah maka tak apa lah. Bisa dikira-kira berapa container yang kami bawa pulang setelah Ibu selesai PhDnya?
Lain ceritanya dengan Bapak yang tiap malam selalu bermain badminton di lapangan dekat rumah, saat sedang mengerjakan tesisnya. Kalau stressnya malah mengarah ke hal-hal yang fun, maka why not kuliah lagi? Selain fun, Bapak pun memberikan motivasi baru untuk kami kuliah lanjut. Candanya Bapak adalah, “ya kalau Bapak Ibunya kuliah S3, anak-anaknya minimal juga sama lah.”
Walau saya dan adik saya tidak merasa terbebani, tapi kami pun mencoba peruntungan kami dalam mengejar beasiswa, seperti yang dilakukan oleh orang tua kami. Pada saat yang sama kami mendapatkan kesempatan kuliah S2 di belahan dunia yang berbeda. Dengan memberikan contoh langsung, orang tua kami sukses mempengaruhi kami untuk terus berusaha menimba ilmu sepanjang hidup kami. Lalu sehari setelah Bapak lulus sidang Doktoralnya, saya pun berangkat ke belahan dunia utara untuk mengikuti jejak yang sudah dilalui Ibu dan Bapak saya.
Keluarga sebagai Motivator dan Pemetik Manfaat
Yang saya pelajari dari orang tua saya adalah proses kuliah itu bisa diperingan bila dijalani dengan bantuan banyak orang, terutama keluarga. Kali ketiga saya kuliah, kali ini di University of Hawaii at Manoa. Saya sekarang sedang menjalani proses terberat dalam perkuliahan, yaitu menulis disertasi. Sama seperti waktu S1 dan S2, saya harus kembali berkutat dalam pembuatan kerangka penelitian di kepala saya. Dan sama seperti pada dua jenjang sarjana sebelumnya, saya pun membicarakan penelitian saya kepada Ibu.
Walaupun skripsi dan tesis saya diberi banyak masukan oleh Ibu, saya masih tetap terkejut ketika Ibu mengenalkan teori dalam bidangnya yang sangat relevan dengan penelitian disertasi yang saya lakukan. Saya pun kembali membaca buku-buku yang Ibu baca ketika mengerjakan PhDnya dulu. Walau disiplin ilmu kami berbeda, sepertinya selalu ada benang merah antara studi saya dan studi Ibu. Seharusnya saya tidak lagi terkejut akan adanya persamaan ini, toh apel jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tapi tetap saja mendengar Ibu memberikan saran yang sangat relevan walau perbedaan disiplin kami selalu membuat saya tersenyum-senyum di ujung telepon.
Ibu menulis di bagian acknowledgement di tesisnya perihal support dari Bapak, adik dan saya:
“The greatest debt I have incurred in the whole process of producing this thesis is to my husband, who has been the greatest support, morally as well as financially. More importantly, he has always been source of ideas and criticisms for sharpening my views about many things in the thesis. His support and understanding has been the source of encouragement, which gave me strength in going through all the difficulties at all stages for the completion of the thesis. My special thanks are for my children, Anis and Anas, who have ‘sacrificed’ a great part of their young life for my career and study. To me, they have always a source of inspiration.”
Walau sepertinya Ibu adalah bagian yang hanya menerima dukungan, kenyataannya adalah PhD adalah proses pengembangan yang berdampak pada seluruh keluarga.
Dari Ibu dan Bapak, kami melihat bahwa proses belajar adalah suatu proses yang fun, bermanfaat untuk seluruh keluarga, suatu amanah dan ibadah dimana pahalanya tidak akan putus bila ilmunya terus disebarkan kepada yang lainnya.
*Anis Hamidati adalah staf pengajar di jurusan Komunikasi dan Humas dari Universitas Swiss German yang sedang melanjutkan kuliahnya di program Communication and Information Sciences di University of Hawaii at Manoa dengan pembiayaan dari program beasiswa luar negeri DIKTI. Penulis bisa dihubungi melalui emailnya di hamidati@hawaii.edu.
0 Comments