PhD Mama Sherly: Tentang menjadi ibu baru, pernikahan jarak jauh dan lingkungan studi yang kompetitif

Published by hera suroso on

Menjalani program PhD di negara tetangga, Singapura, dapat menjadi opsi yang menguntungkan terutama dari segi kedekatan lokasi serta tingkat kompetisi prestasi yang cukup tinggi. Sherly Haristya, seorang PhD Mama yang menimba ilmu di negeri Singa, berbagi kisah tentang masa-masa menjalani perkuliahan sebagai pengantin baru, mama baru serta momen-momen up and down dalam studi S3.

Sher, boleh cerita sedikit tentang proses awal memulai perjalanan PhD? Bagaimana akhirnya memutuskan untuk memilih Singapura sebagai tempat melanjutkan studi?

Saya memutuskan memilih Singapura sebagai tempat menimba ilmu karena perpaduan antara ketersediaan beasiswa serta kesediaan pembimbing yang bidang keahliannya sesuai dengan topik riset saya. Saat saya mencari beasiswa, saya sudah menetapkan tujuan untuk mendapatkan pembimbing yang mampu membimbing saya dalam bidang tata kelola Internet.

Saya mencoba mendaftar di beberapa kampus di beragam negara. Singapura masuk ke dalam daftar pada waktu itu, karena saya mendapatkan nama Profesor yang menjadi pembimbing saya saat ini. Profesor saya merupakan salah satu pionir ahli tata kelola Internet, yang pada waktu itu cukup langka di Asia.

Di awal mulai studi PhD, Sherly juga baru mengawali perjalanan sebagai pengantin baru. Bagaimana pengalaman menjalani rutinitas baru dan melewati masa-masa adaptasi untuk dua hal itu- studi dan berkeluarga?

Awalnya, saya dan calon suami (pada waktu itu) berencana akan melangsungkan pernikahan ketika saya berhasil mendapatkan beasiswa. Pada akhirnya, rencana tersebut terwujud- kami akhirnya memutuskan menikah setelah mengetahui bahwa saya memperoleh beasiswa S3.

Syukurnya, kami relatif tak mengalami kesulitan beradaptasi menjalankan pernikahan semi jarak jauh- karena kami sudah berkomitmen dan siap menjalani rencana tersebut. Cara mengakali masa adaptasi ini adalah dengan setiap satu bulan sekali kami berkumpul- antara saya pulang ke Jakarta atau suami yang datang ke Singapura. Komunikasi sehari-hari tak luput kami jaga.

Singapura dikenal dengan suasana yang kompetitif untuk belajar. Adakah kesulitan dengan tingginya tingkat kompetisi dalam proses belajar?

Bagi saya, suasana belajar yang kompetitif di Singapura dapat menjadi motivasi, sekaligus juga bisa menjadi ‘racun’ di dalam proses saya menjalankan studi. Tidak dapat saya pungkiri, kondisi yang kompetitif membuat saya makin semangat untuk belajar, termasuk mengikuti banyak seminar yang kerap diadakan di kampus, serta bahkan sampai membentuk etos kerja saya menjadi semakin tangguh.

Namun di sisi lain, kondisi tersebut juga dapat membuat saya merasa seperti sebuah kegagalan ketika pencapaian yang saya dapat ada di belakang rekan-rekan S3 seangkatan saya. Pada akhirnya, saya belajar untuk mawas diri dan bersyukur. Dengan cara merefleksi perjalanan dan pencapaian yang sudah saya dapat di tengah kemampuan serta mengingat keterbatasan diri sendiri.

Presentasi sidang proposal

Di tengah menjalani kuliah, Sherly menjalani kehamilan pertama dan melahirkan. Bagaimana adaptasi dengan masa-masa kehamilan? Setelah melahirkan, bagaimana menyeimbangkan rutinitas merawat anak dan tetap fokus untuk menjalani studi?

Mengingat komitmen suami dan saya yang sangat kukuh- untuk saya menempuh studi S3- maka kehamilan saya di tahun ketiga studi S3 merupakan hal yang cukup mengagetkan untuk kami berdua serta keluarga. Akan tetapi, saya dan suami mengambil keputusan untuk menerima kenyataan dan menatap ke depan. Karena sikap hati kami yang demikian, saya jadi bersukacita menjalani kehamilan ini, meski saya sendirian di Singapura.

Saya pergi sendiri memeriksakan kandungan saya ke dokter kandungan di Singapura. Saya yang terbiasa berjalan cepat, akhirnya terpaksa mengalah berjalan ‘tinuk-tinuk’ (pelan-pelan- red) di lorong kampus. Saat memasuki kehamilan di bulan keenam, saya malah sempat menempuh penerbangan jarak jauh- 39 jam (plus layover)- sendirian untuk mengumpulkan data. Tapi saya dengan senang hati menjalaninya karena pilihan sikap yang kami ambil.

Setelah melahirkan, ada empat kunci utama yang memampukan saya untuk tetap fokus menjalani studi: peran suami, peran keluarga besar, peran pembimbing serta komitmen saya sendiri. Suami saya amat perhatian dan suportif untuk mendukung keberlangsungan proses studi saya. Untuk itu, suami dan saya berusaha mencari pengasuh untuk membantu merawat bayi kami. Keluarga juga membantu merawat dan bermain dengan si kecil ketika saya harus belajar.

Sementara untuk pembimbing, saya berhutang besar kepada beliau. Beliau memberikan perpaduan yang begitu pas di tiga elemen ini: Beliau menaruh kepercayaan kepada saya, memberikan ruang gerak kepada saya untuk menentukan proses dan ritme bimbingan, namun juga memberikan pressure yang tidak berlebihan supaya saya terus termotivasi untuk maju. Selain itu, saya sendiri juga berusaha berkomitmen dengan waktu menulis saya. Ketika mendengar suara si kecil tertawa manis dengan pengasuhnya, saya harus berteguh hati menolak godaan bermain dengan anak dan tetap lanjut menulis.

Saat mengikuti training research method di New Delhi

Pernah mengalami masa-masa paling ‘down’ atau waktu terberat ketika studi S3?

Masa paling down yang saya rasakan adalah ketika Papa saya meninggal di tahun ketiga saya menjalani S3. Ya, di tahun yang sama ketika saya berjibaku merawat bayi saya serta mengerjakan thesis, di saat itu juga saya berjuang merawat Papa sebelum meninggal dan bergumul melepaskan beliau setelah meninggal.

Setelah Papa meningggal, saya sempat menutup thesis saya selama 1 bulan. Selain itu juga ada saat-saat ketika saya merasa mentok, tidak ketemu ide dan tulisan yang bagus- yang membuat saya terkadang merasa “I am a failure.” Untuk bangkit dari mental breakdown seperti ini tidak mudah.

Bisa cerita sedikit tentang topik riset yang dilakukan? Dan apa harapan ke depan terkait dengan pengembangan riset tersebut di Indonesia?

Area riset saya adalah mengenai tata kelola Internet global. Pendekatan multistakeholder amat digaungkan di tengah perdebatan mengenai tata kelola Internet di level global. Secara garis besar, pendekatan ini mendorong agar pemerintah, bisnis dan masyarakat sipil berkolaborasi di dalam mengelola isu-isu terkait Internet.

Riset saya khususnya meneliti bagaimana masyarakat sipil yang datang dari beragam negara- dengan membawa bermacam prioritas suara dan pendekatan- dapat berkolaborasi ketika mereka terlibat di dalam proses pembuatan kebijakan terkait Internet di level global.

Harapan saya, riset dan pengetahuan yang sudah saya gali bisa mendukung stakeholder yang berkepentingan di dalam isu terkait Internet di Indonesia, untuk catch up dengan dinamika tata kelola Internet yang begitu bergerak cepat.

Selain menjalani studi S3 dan mendampingi keluarga, ada kesibukan lain yang dilakukan?

Saat ini, isu-isu terkait Internet semakin menghubungkan antarnegara di tingkat global. Di sinilah topik riset saya bersilangan dengan kebutuhan Indonesia dalam mengelola Internet. Saat ini, selain menjalani studi S3, saya juga memilih untuk ikut terlibat dengan teman-teman CSO (Civil Society Organization) karena melihat ada kebutuhan di antara teman-teman CSO di Indonesia untuk menjadi partner yang dapat menyeimbangi gerak pemerintah Indonesia di dalam mengelola Internet di Indonesia.

Saya bersama teman-teman CSO belakangan ini sedang berusaha mendorong agar Indonesia suatu hari nanti memiliki Undang-undang Perlindungan Data Pribadi guna membangun ekosistem digital yang mampu menaungi keamanan data masyarakat di tengah mendukung perkembangan ekonomi berbasis digital yang semakin gencar ke depannya. ***

***Tulisan ini merupakan kontribusi Hera Suroso, kandidat PhD di Universitas Curtin, Perth, Australia


hera suroso

I love the smell and sound of summer... the blue sky and white cotton clouds floating by, warm summer breeze blow softly right through your hair, the smell of sweet watermelon and popsicles and sea salt fills the air

0 Comments

Leave a Reply

%d