Tentang sekolah anak dan ‘resilience’

Published by phdmamaindonesia on

image

ilustrasi dari web blog.uad.ac.id

CATATAN PHDMAMA

Selamat hari pertama sekolah untuk anak-anak Indonesia dimanapun berada!

Terkait dengan tema sekolah, izinkan saya menuliskan catatan saya dari obrolan dengan PhD Mama Hani Yulindrasari yang berlatar belakang psikologi pendidikan. Obrolan ini berawal dari kegalauan beberapa Mama terkait memilih sekolah untuk anak-anak kami sekembalinya ke tanah air.

Pemberitaan yang begitu keras di media yang memotret betapa ruwetnya permasalahan sekolah di Indonesia membuat saya jadi gelisah: bagaimana memilih sekolah yang tepat untuk anak? Pada umumnya, para ibu khawatir tentang 2 hal: bullying dan beban pelajaran.

Sebelum itu, ada catatan penting bahwasanya obrolan ini tidak ditujukan untuk menstigmatisasi pilihan-pilihan tertentu yang dibuat oleh orang tua yang memiliki pertimbangannya masing-masing dalam merencanakan pendidikan untuk anaknya.

Tulisan ini sifatnya pengaya informasi, dan mudah-mudahan bisa menghadirkan wacana alternatif (dibanding apa yang banyak dipotret media dan ilmuwan psikologi dan pendidikan mainstream) soal sekolah anak.

Mbak, bagaimana sebaiknya kita mencermati berbagai persoalan di sekolah seperti kekerasan dan pornografi?

Ya, nggak bisa dipungkiri bahwa itu terjadi dibeberapa tempat. Ditambah lagi hal-hal seperti itu diberitakan sedemikian rupa oleh media dan diangkat oleh ilmuwan-ilmuwan psikologi dan pendidikan seperti saya ini (tertawa).

Ini kemudian membuat banyak orang tua yang menjadi gelisah atau bahkan shock karena merasa kok banyak sekali ya, permasalahan sekolah anak saat ini. Jadi wajar jika banyak orang tua jadi bingung ketika mencari sekolah.

Lalu apa yang sebaiknya jadi pegangan untuk orang tua?

Waspada itu penting, tapi saya juga mau bilang, jangan sampai orang tua menjadi paranoid. Paranoid itu yang harus dihindari.

Dan harus disadari betapa pendidikan sekarang betul-betul dikomersialisasi.

Sekolah-sekolah dengan biaya yang aduhai banyak yang mengklaim bahwa mereka punya program pendidikan yang paling baik yang bisa menghasilkan manusia-manusia yang unggul.

Memang sih, lewat penelitian saya, saya menemukan ada kultur sekolah yang berbeda antara TK murah meriah di desa dengan TK mahal di kota besar.

Waktu itu saya melihat, kultur sekolah yang di desa ya sesuai dengan kebiasaan masyarakat sekitar, banyak jajan, permainannya adalah main kejar-kejaran laki-laki mengejar yang perempuan, intinya permainan kolaborasi. Sementara di TK mahal terlihat anak-anaknya lebih individual milih main sendiri-sendiri.

Di TK desa pengajaran nilai tidak diinstusionalisasikan, di formalkan dalam sesi pengajaran, tetapi muncul berdasar konteks, misal ada kejadian teman jatuh, guru mengajarkan untuk menolong. Sementara di TK mahal, hal-hal tersebut diinstusionalisasikan dalam kurikulum, diatur dan diingatkan setiap hari.

Jadi sekolah seperti apa yang ideal?

Menurut saya fokusnya harus dirubah. Bukan pada sekolah, tapi pada anak kita.

Setiap anak itu tangguh. Punya daya survival yang tinggi.

Punya kemampuan memaknai pengalamannya sendiri. Selalu bisa mengambil pelajaran berharga dari good or bad pengalamannya.

Saya yakin semua ibu sudah menanamkan nilai kebaikan ke anak-anaknya.

Selama kita membantu anak untuk mengasah nuraninya, empatinya, saya pikir mereka akan baik-baik saja di manapun sekolahnya.

Bagaimana dengan masalah beban kurikulum dan potensi bullying, terutama untuk murid pindahan?

Kalau menurut saya, semakin banyak anak menghadapi tantangan, semakin baik. Dan tantangan yang mendewasakan itu adalah tantangan emosional.

Beban pelajaran, bullying, pornografi, adalah permasalahan yang bisa terjadi dimanapun, oleh karenanya kita sebagai orang tua lah yang perlu lebih tanggap membentengi kejiwaan anak kita.

Anak juga perlu pengalaman tantangan yang bervariasi. Anak yang tidak pernah gagal akan terbanting saat gagal pertama kali.

Supaya bisa menghargai kesuksesan dan kemenangan, ya harus pernah melalui kegagalan. Jadi memang perlu mengalami nano-nano.

Saatnya susah berteman, saatnya takut, saatnya gagal, dan saatnya berhasil.

Bagaimana dengan homeschooling?

Tergantung tujuannya apa.

Sebetulnya tiap pilihan menurutku punya keunggulan dan kelemahan, termasuk homeschooling.

Perlu dipikirkan juga sampai kapan kita mau lakukan homeschooling. Kapan kita akan berani lepaskan anak ke dunia nyata di luar proteksi kita.

Lihat juga kondisi anak. Salah seorang teman bercerita bahwa salah satu kesulitan anaknya adalah social skill, jadi dia berpikir malah akan jadi lebih parah kalau homeschooling.

Jadi apa yang harusnya menjadi pertimbangan utama memilih sekolah?

Menurutku jarak sekolah ke rumah lebih penting. Lalu familiaritas orang tua dengan lingkungan sekolah.

Setelah diputuskan mau masuk sekolah mana, selanjutnya dijalani dengan pemahaman bahwa, masalah-masalah yang dihadapi anak di sekolah, selama tidak mengancam fisiknya, kita tak perlu panik! Kita perlu ada di dekat mereka, memposisikan diri sebagai teman dialog, teman curhat masalah mereka di sekolah.

Anak diajari mengatasi masalahnya, bukan menghindari masalah, sehingga anak jadi punya ‘resilience’ dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Ini akan jadi pelajaran berharga buat anak-anak dan membekali mental anak juga untuk masa depannya.

Categories: AnakRiset

phdmamaindonesia

Blog phdmamaindonesia.com digagas oleh Kanti Pertiwi, Ph.D, pada tahun 2016. Blog ini memuat cerita-cerita seputar perjalanan studi PhD serta strategi menjalani studi dari perspektif perempuan. Kirimkan tulisanmu ke Tim Redaksi di phdmamaindonesia@gmail.com

%d bloggers like this: