PhD Mama Hani: Sepatu Berhak, Jilbab dan Feminisme
Hai Mama!
Kali ini saya berkesempatan ngobrol dengan Mbak Hani Yulindrasari, yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Australia. Sebagai seseorang yang sering meneliti tentang gender, saya sempat ngobrol sedikit tentang gerakan feminisme dan kaitannya dengan kehidupan perempuan zaman ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!
Mbak Hani meneliti tentang apa sih?
Riset saya interdisipliner. Ada psikologi, sosiologi, antropologi, gender studies, dan pendidikan. Jadi saya banyak baca bidang-bidang ilmu itu. Saya meneliti tentang guru laki-laki di TK. Ini terkait latar belakang saya yang bekerja sebagai dosen di program pendidikan anak usia dini, dan saya mengajar juga di bidang psikologi gender. Jadi saya mencari topik yang bersinggungan.

Kesibukan sebagai kandidat PhD hadir di konferensi
Apa tantangan khusus hidup di Australia?
Yang paling pertama terasa ya di Indonesia banyak helper, disini tidak. Di Indonesia saya juga punya akses terhadap childcare, karena di kantor ada. Kalau disini, karena beasiswa saya tidak eligible untuk bantuan childcare jadi tidak bisa menitip anak di situ karena saya harus membayar penuh dan mahal sekali.
Kemudian pekerjaan rumah tangga praktis jadi tanggungjawab saya karena suami sudah sibuk kerja full time di luar rumah untuk menutupi gap beasiswa.
Bagaimana cara mengatur waktu?
Saya ke kampus ketika anak sudah disekolah. Waktu yang ada saat weekend ya diisi bersih-bersih, jemur baju lipet baju. Dulu juga nggak ada pembantu, tapi kan kalau lagi capek bisa panggil orang, kalau disini semacam cleaner ya.
Meski kerepotan, justru disini saya merasa bahagia banget jadi full time housewife and mom, part time student (tertawa).
Masih sempat rekreasi bersama keluarga?
Iya dong. Menurut saya family time itu penting banget, juga husband-wife time. Saya berkomitmen dengan suami seminggu sekali ada waktu untuk kami berdua, pas dia libur kerja, entah untuk belanja atau makan bareng, yang simple-simple aja. Kalau ada waktu yang lebih banyak ya kami jalan berempat agak jauh.
Kebetulan suami nggak terlalu suka pergi berombongan dengan yang lain, supaya lebih private kali, ya. Jadi betul-betul kami berempat saja. Kalau nggak ada waktu, kami dirumah, toh banyak cara menikmati kebersamaan.

Family time ala kami saat Melbourne dikepung cuaca panas
Sebagai seseorang yang banyak meneliti tentang gender, sebetulnya apa sih kritik utama gerakan feminisme?
Wah, jadi berat nih (tertawa). Ya, sederhananya gerakan feminisme itu memperjuangkan persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan: politik, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Gerakan feminisme ada banyak ragam yang biasa disebut sebagai gelombang atau wave. Awalnya adalah gerakan perempuan yang memperjuangkan hak perempuan dalam politik dan ekonomi utamanya hak perempuan untuk voting (women’s suffrage).
Sementara, second-wave feminism banyak bicara soal persamaan hak dan kesempatan dalam berbagai bidang, termasuk politik, pendidikan, ekonomi, kesehatan dan juga tentang hak reproduksi dan seksualitas. Salah satu tuntutan yang terkenal di masa ini adalah kesetaraan upah atau equal work for equal pay.
Di masa inilah banyak muncul kelompok feminist radikal yang sayangnya sampai sekarang jadi acuan ketika orang awam menyebut kata ‘feminist’ atau ‘feminism’.

Keragaman pengalaman hidup perempuan (image credit: youtube)
Lalu apa yang menyebabkan feminisme banyak dimusuhi?
Ya banyak yang terpaku pada second-wave feminism itu tadi, karena tidak tahu feminisme banyak ragamnya. Kalau kita sering dengar: “feminisme itu dari Barat yang mempengaruhi cara berpikir perempuan kita, sehingga perempuan kita lupa kodratnya”.
Nah anggapan ini merupakan salah satu reaksi terhadap second-wave feminism yang gagal melihat realitas perempuan yang beragam, mereka cenderung menganggap bahwa jilbab itu bentuk opresi terhadap perempuan; high heels, perlombaan ratu kecantikan, make up dan sebagainya sebagai salah satu bentuk opresi patriarki terhadap perempuan. Padahal, tidak semua ragam feminisme berpandangan seperti itu.
Di tahun 90an muncul wave baru feminism, yaitu the third-wave feminism yang banyak dipengaruhi oleh filsafat postmodernism dan teori teori post-colonial. Third-wave tidak menggantikan second wave, sampai sekarang kedua wave ini masih ada dan kadang saling berdebat.
The third wave feminism mengakui adanya perbedaan pengalaman perempuan dan tidak mengenal universalitas pengalaman perempuan.
Pada masa third wave inilah jilbab tidak lagi dilihat sebagai bentuk opresi tapi bisa jadi bentuk empowerment untuk sekelompok perempuan, tapi juga bisa sebagai opresi untuk kelompok perempuan yang lain.
Begitu juga dengan cara berpakaian perempuan yang minim, high heels, make up, dll, tidak lagi dilihat secara sederhana sebagai bentuk opresi patriarki terhadap perempuan.
Tapi bisa dilihat sebagai kebebasan berekspresi dan penguasaan perempuan atas tubuhnya sendiri. Dikotomi antara brain vs beauty tidak lagi diperjelas.
Seorang perempuan bisa cantik, seksi, dan pintar. Perempuan berjilbab tidak lagi dianggap kampungan, penurut, dan teropresi tapi bisa dilihat sebagai perempuan yang empowered, pintar, cerdas, bebas, dan bahkan modern.
Third-wave feminism ini merayakan keberagaman sampai di level individual. Bahwa pengalaman dan realita hidup itu subjektif adalah konsep yang banyak digunakan dalam teori teori third-wave feminism.
Nah sekarang ini konon katanya sudah muncul fourth-wave feminism, yang katanya kebangkitan kembali the second-wave feminism yang menyatakan bahwa opresi gender perlu dianalisis dari berbagai sisi karena ini merupakan hasil persinggungan antara gender, kelas, usia, orientasi seksual, dan berbagai kelompok kategori sosial lainnya, terutama jika kelompok sosial tersebut termasuk ke dalam kategori kelompok yang termarginalisasi.
Buat saya sendiri nggak terlalu penting soal wave-wave-an itu, saya mendefinisikan diri saya sebagai feminist yang ingin menghargai pemaknaan pribadi perempuan terhadap pengalamannya.
Apa yang baik untuk satu perempuan belum tentu baik untuk perempuan lainnya.
Karena latar belakang saya psikologi, saya lebih concern terhadap subjective wellbeing perempuan, bagaimana seorang perempuan memaknai kehidupannya sendiri, daripada normative wellbeing yang ditetapkan untuk perempuan.

Mengajak orang tua yang sedang berkunjung menikmati pemandangan indah kota Melbourne
Pesan untuk perempuan Indonesia yang ingin sekolah lagi?
Untuk yang ingin melanjutkan studi, pesan saya persiapkan sebaik mungkin dengan mengukur kemampuan masing-masing. Misalnya saya dulu masih ada bayi, saya sengaja menunggu sampai usia anak saya sudah 3,5 tahun.
Tapi ada juga PhD Mama lain yang sanggup, nggak ada masalah juga. Jadi saran saya, kenali diri sendiri dulu, seperti apa batasan kemampuanmu, kira-kira sanggup atau tidak, baru putuskan. Kira-kira begitu.
5 Comments
Masnijuri · May 29, 2016 at 5:31 am
menginspirasi yang lain, tetap semangat yah PhD Mama semuanya
diana · May 29, 2016 at 10:49 am
you are my inspiration Ph.D. mama Hani, semoga mba hani, mas tulus, mba galuh dan bimo sehat2 selalu ya
Nilamsari · March 30, 2020 at 9:09 am
Baru baca dan sanhat menginspirasi buat mama2. Semangat buat perempuan
Ria · May 28, 2020 at 7:12 am
Terimakasih sudah berbagi pengalaman anda dengan tulisan ini PhD Mama Hani ini, karna dapat menjadi inspirasi untuk yang lain .
reyhan · April 9, 2021 at 8:13 am
terimakasih keren