PhD Mama Tiwik: Melawan Kanker Payudara dan Membidani Gerakan Literasi
Hola Mama!
Minggu lalu, saya kedatangan tamu dari Surabaya, mbak Tiwik namanya. Baru saja menyelesaikan PhD awal tahun ini, saya bersemangat sekali mendengar kisah perjuangan mbak Tiwik yang diwarnai cerita melawan kanker payudara dan mengasuh dua orang anak sembari studi PhD di Australia. Selamat membaca!
Apa yang dirasakan setelah lulus PhD?
Mungkin ini klise ya. Tapi betul kata orang. Rasanya batu berat yang ada di kepala itu diangkat. Saya ingat sensasinya ketika membuka ijazah, siang hari saya ditelepon delivery service: “ibu, kami mau kirim paket dari Melbourne.” Saat itu saya masih di Jogja, jadi saya telepon orang rumah. Nanti jam 9 ada orang kirim paket pasti ijazah. Begitu terima, dibuka perlahan, dengan mata berbinar.
Di satu sisi terbayang rasa puas yang sering disebut orang-orang. Eh ternyata rasa puas itu biasa saja. Ya ternyata sudah selesai. Tapi perasaan yang lebih kuat adalah ketika Mas Prapto bilang.. “hmm itu hasil jungkir balik selama 4 tahun.” Muncullah perasaan bahwa jerih payah itu telah terbayarkan.
Apa momen terberat yang mbak Tiwik rasakan semasa studi?
Banyak momen berat, bingung memilihnya (tertawa). Berat secara fisik adalah waktu sakit, harus kemoterapi. Tidak bisa apa-apa selama 6 bulan. Tetapi, Allah Maha Adil ya. Saat sakit itu malah saya merasa sangat bahagia karena kita punya family time betulan. I can see the other side of my husband.
Dia itu willing untuk kerja kasar, padahal urusan dapur dirumah biasanya tidak terlalu sering terjun. Disana ketika saya sakit, dia yang ngurusin makanan, bekal, anak sekolah, kerja di pasar. He never failed to smile. Jadi kesabaran itu rupanya tidak ada batasnya. Meski kalau dalam kondisi normal sulit dibayangkan. Mungkin cobaan itu memang membuat orang jadi tidak normal.
Saat sakit itu malah saya merasa sangat bahagia karena kita punya family time betulan. I can see the other side of my husband.
Adakah perasaan takut saat itu?
Takut mati pasti. Secara emosi, saya banyak pasrah, apapun yang terjadi ya sudah. Aku juga percaya disana I can get the best treatment. Sehingga banyak kekhawatiran yang tersingkirkan. Ketika teman datang ke rumah, lalu bertanya gimana perasaan saya, saya justru enak bercerita.
Ketika pas kemo lagi dahsyat, aduh aku kuat nggak ya menahan gempuran obat ini. Mas Prapto bilang, “kalau kamu lemas, bukan karena nggak kuat, tapi karena obatnya sedang bekerja.” Berarti nanti kan ada titik obatnya tidak bereaksi lagi.

Setelah kemoterapi yang terakhir, saya mulai mencari kembali kekuatan tubuh yang sempat hilang
Bagaimana kehidupan paska PhD sekarang?
Terus terang saya bingung menaruh otak, banyak sekali yang mesti dipikirkan (tertawa). Tapi alhamdulillah semua sesuai dengan passion saya, bergerak di dunia literasi. Nyambung juga dengan thesis saya terkait literacy practices para buruh migran.
Sejujurnya, ketika pulang niatnya hanya membantu masyarakat sekitar untuk membudayakan literasi. Tapi ketika pulang ketemu teman yang sevisi semisi, tiba-tiba saya berada dalam kumparan magnet ini. Ikut menjadi penggerak dalam gerakan literasi skala nasional.
Apa sih tujuan gerakan ini?
Secara sederhana ingin membuat bangsa ini jadi lebih literat, budaya baca tulisnya jadi makin bagus. Tapi lebih kompleksnya adalah kemampuan mengolah mengkritisi informasi secara sehat, agar tidak jadi bulan-bulanan gempuran informasi.
Ini ada cerita yang sering kami pakai sebagai ilustrasi. Anak SMA di sebuah kota pakai gadget untuk selfie, masuk ke kamar, lepas busana, selfie lagi. Parahnya, foto diunggah di medsos. Ujung-ujungnya mereka diciduk polisi karena melanggar norma sosial. Tapi mereka jawabnya, “lho saya kan mengunggahnya didalam kamar, orang tidak tahu?”
Itu lah contoh sederhana, disatu sisi kita menjadi sangat dekat dengan informasi digital, tapi tidak tahu tentang pentingnya mengolah informasi secara sehat.
Apa yang digagas lewat gerakan literasi?
Di gerakan literasi itu, ada dua hal sederhana yang bisa dilakukan. Tidak mudah tapi asal sabar melakukan. Kita sekarang punya Permendikbud no 23 th 2015 yang mewajibkan membaca 15 menit sebelum pelajaran yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan budi pekerti.
Secara tidak langsung, orang yang suka membaca akan jadi lebih arif. Sekolah punya kewajiban menyaring bacaan yang sesuai.
Misal di SMP, kita mengencourage sekolah melaksanakan kegiatan membaca tadi. Berikan pelatihan, panduan dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan bukunya? Sekolah memberikan rekomendasi bacaan untuk anak sekolah sesuai usia.
Apakah literasi bukan barang mewah untuk kebanyakan orang Indonesia?
Ya komentar itu muncul juga, ada yang bilang di desa masih mikirin perut. Mengirim ke sekolah, bukannya ke sawah, itu saja sudah sulit. Itulah mengapa perlu pelibatan publik.
Ini bukan proyek, tapi gerakan sosial dimana semua punya kewajiban terlibat. Komite sekolah bisa menggalang sumbangan buku. Anak-anak dibiasakan membaca dirumah, orang tua perlu menyisihkan waktu membaca bersama anak.
Bagaimana mbak Tiwik melihat perilaku di media sosial dimana orang menshare informasi yang tidak jelas kredibilitasnya?
Itu dia maka perlu diciptakan lingkungan kaya teks sehingga kita terbiasa dan pelan-pelan belajar memilah. Lingkungan kaya teks atau literasi misalnya di rumah, ada rak buku yang bisa diakses oleh anak-anak.
Di sekolah, guru diarahkan untuk melakukan pembelajaran berbasis project yang menghasilkan sebuah teks misalnya prakarya, gambar atau apa, lalu dipajang, itu banyak sekali manfaatnya. Untuk asesmen guru, mengapresiasi karya anak, dan menjadi promosi ketika visitor datang ke sekolah. Lingkungan yang kaya teks adalah bukti bahwa sekolah punya budaya literasi.
Strategi literasi ini perlu dimasukkan ke dalam mata pelajaran tidak hanya Bahasa Indonesia. Misal guru sejarah membahas PKI, biasanya sumbernya hanya satu.
Kalau di Melbourne, membahas slavery atau perbudakan, ada dua teks dari opposing views. Ketika membahas sorry day, anak-anak diberi teks yang argumennya bertentangan. Jadi anak diajar kritis. Teks yang dibaca siswa bukan yang ada di buku pelajaran, tapi kliping koran atau peraturan pemerintah. Prinsipnya adalah membuka diri terhadap ragam teks.
Menggaungkan literasi apakah tidak berarti kita mengamini standar Barat tentang literasi dan kemajuan bangsa?
Kita bisa melakukan creative adaptation. Materi yang diberikan ke siswa perlu memperhatikan kearifan lokal. Contohnya kurikulum 2013, komponen kearifan lokal sudah banyak masuk disana.
Apakah kemudian literasi menjadi satu-satunya kunci menuju kemodernan?
NO. It’s not the answer, it’s just an answer. Kalau dari kacamata New Literacy Studies, modernitas ini multi aspek. Tapi saya melihat nilai dari pentingnya literasi ini, dari berbagai riset ditunjukkan bahwa kegiatan membaca 15 menit itu juga baik untuk kemampuan akademik. Dengan terbiasa membaca, orang akan lebih tahan duduk membaca. Dalam pendidikan, ketahanan fisik itu juga penting.
Standar capaian pendidikan seperti PISA juga sebetulnya perlu dicermati. Wajar jika skor kita jelek, karena kita tidak terbiasa dengan membaca karya sastra. Tapi kita kesampingkan lah standar itu, membaca karya sastra kita itu juga meningkatkan kebanggaan identitas bangsa.
Memakai pendekatan Eurocentris, menjadikan Barat atau Eropa sebagai standar kemajuan, mungkin kita akan gagal. Lebih baik tidak usah menarget, karena bagaimanapun pembiasaan membaca itu penting. Yaitu untuk menggali kekayaan budaya bangsa kita sendiri.

Kembali aktif di konferensi setelah pulih dari kemoterapi
0 Comments