Kali ini tim PhD Mama berkesempatan berbincang – bincang dengan peraih beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) jalur reguler, Anbarsanti. Wanita kelahiran Bandung ini sedang menempuh pendidikan doktoralnya di salah satu Perguruan Tinggi utama dunia, Nanyang Technology University (NTU) di Singapura dengan bidang study Electrical Engineering.

Halo mbak Santi Assalamua’laikum apa kabar? Boleh diceritakan sedikit mbak dulu memutuskan kuliah S3 di Singapore kisahnya seperti apa?
Halo juga mbak Waalaikumsalam. Alhamdulillah kabar baik. Jadi bergini kisahnya, saat di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dulu, saya dan teman – teman saya memang sering sekali mengikuti Olimpiade Sains, nah kebanyakan teman – teman saya memutuskan untuk kuliah S1 di Singapura, itu alasan pertama saya ingin kuliah S3 di NTU. Selain karena lokasi Singapura tidak terlalu jauh dengan Indonesia, negara kecil ini juga menjadi salah satu negara dengan nilai Programme for International Student Assessment (PISA) peringkat tiga teratas di dunia. Jadi saya rasa banyak sekali manfaat yang didapatkan dengan memilih studi di NTU, dan tentunya tidak hanya buat saya saja, tetapi untuk keluarga saya juga kedepannya.
Bagaimana kisahnya berjodoh dengan supervisor di NTU?
Pada tahun 2018, saya mendapat tawaran untuk posisi PhD student bersamaan dengan beasiswa di NTU dari kakak kelas. Saat itu, alhamdulillah saya dinyatakan lolos semua persyaratan dan sudah hampir berangkat. Namun, beberapa bulan sebelum keberangkatan, calon supervisor tiba – tiba mengatakan bahwa ada masalah dengan aplikasi saya, sehingga aplikasi saya menggantung hampir sekitar 1.5 tahun. Setelah itu, akhirnya saya mengetahui bahwa calon supervisor saya tidak menerima dengan kondisi saya yang baru melahirkan anak kedua.
Semangat belum padam, saya memutuskan untuk mencari professor dari awal. Saat itu, saya menghubungi 25 calon pembimbing dari seluruh negara dan 51 calon pembimbing dari NTU Singapura. Saya lebih banyak mencari pembimbing dari NTU Singapura karena sebelumnya saya sudah pernah mengirimkan aplikasi saya ke NTU dan disana menerapkan system dimana aplikasi kita sebelumnya itu dapat ditransfer ke calon pembimbing baru sehingga lebih efisien. Nah, dari sekian banyak calon pembimbing yang saya hubungi, yang merespon hanya beberapa saja termasuk supervisor saya saat ini. Alhamdulillah akhirnya saya berjodoh untuk studi lanjut di NTU atas izin Allah.
Apakah sempat mengalami culture shock dalam proses perkuliahan maupun kehidupan sehari – hari?
Culture shock, tetap ada. Karena saya sebelumnya tidak pernah belajar atau kuliah di luar negeri, jadi cukup challenging di sekitar 6 bulan pertama perkuliahan, terutama masalah bahasa. Saat saya persiapan tes bahasa untuk IELTS (International English Language Testing System), aksen yang dilatih adalah aksen US, UK dan Australia. Sedangkan aksen di Singapura adalah aksen Singlish (Singapore-English) dan aksen campuran lainnya (Chinese dan Indian). Sehingga saya kesulitan berkomunikasi dengan baik entah itu dengan warga lokal, pegawai pemerintahan, maupun kolega di kampus yang mayoritas berasal dari Cina daratan.
Selain bahasa, yang berikutnya adalah etos kerja dan budaya kompetitif yang tinggi. Mahasiswa yang belajar di Singapura memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Mereka biasanya sudah mempelajari syllabus dan materi satu semester ke depan bahkan sebelum perkuliahan dimulai. Materi satu semester yang dipelajari banyak sekali, sehingga tidak akan memiliki waktu yang cukup jika tetap menggunakan etos kerja di Indonesia yang notabene baru belajar mendekati ujian. Sebaliknya, saat mendekati ujian, rata – rata para mahasiswa sudah tidak ada yang belajar lagi, library sudah sepi.
Karena seorang PhD student di NTU diwajibkan mengambil coursework minimal 6 mata kuliah setingkat master di tiga semester pertama (1.5 tahun), dengan CGPA minimum 3.5 (dari 5) untuk naik level ke PhD candidacy, di semester pertama, saya sedikit kewalahan. Mengatur ritme perkuliahan (yaitu sekitar pukul 6 sampai 9 malam) sembari mengurus keluarga yang cukup banyak printilannya (sekolah anak, pengasuhan anak, kegiatan anak, belanja mingguan, dan memasak). Pun saya juga masih memakai etos kerja di Indonesia yang baru belajar saat mendekati ujian bahkan saya sampai menginap beberapa kali di kampus. Hasilnya ya nilai saya tidak bisa sama dengan siswa lainnya. Namun memang bagi seorang Ibu yang kuliah lagi, support system itu sangat penting khususnya dari suami. Setelah suami lulus dari program Master of Business Administration (MBA) dari kampus yang sama, saya jadi sedikit terbantu dan bisa memberikan performa terbaik saya di perkuliahan maupun riset saya.
Di Singapura, alhamdulillah negara yang sangat muslim friendly, sama sekali tidak ada masalah dengan pakaian saya yang berkerudung panjang dan bergamis istilahnya Syar’i. Dalam hal pertemanan, bagi saya lebih mudah menjalin pertemanan dengan teman-teman beretnis India, dari Australia maupun New Zealand. Sedangkan perihal makanan, alhamdulillah tidak ada culture shock karena makanan dan toko berlabel halal dari MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura) relatif sangat mudah didapatkan dibandingkan di negara maju lainnya.

Lalu saat kuliah apakah ada salah satu anak mbak Santi ada yang masih berusia balita dan harus ke Daycare?
Saya memiliki 3 orang anak. Saat ini mereka berusia 8 tahun, 6 tahun dan 3 tahun. Semuanya disini menemani saya kuliah S3 ini. Anak yang pertama di Sekolah Dasar (SD), yang kedua masih Taman Kanak-kanak (TK-B) dan yang terakhir bersama Asisten Rumah Tangga (ART) yang saya bawa dari Indonesia.
Nah salah satu kelebihan kuliah di Singapura ini adalah bisa membawa ART dari Indonesia jika kondisi keuangan yang mencukupi. Alhamdulillah saya juga memiliki usaha di bidang fintech yaitu Nabitu.id sehingga memungkinkan untuk kami membawa dan membiayai ART. Di Singapura, gaji minimal ART itu ditentukan oleh pemerintah. Gaji ART di Singapura, harganya kurang-lebih sama dengan biaya menitipkan anak di Childcare. Sehingga saya dan suami akhirnya sepakat memilih opsi menggunakan ART saja.
Proses membawa ART dari Indonesia setidaknya ada dua. Pertama, bisa mendaftarkan ART melalui agen yang tentunya memiliki biaya tersendiri. Kedua, kita bisa melakukan pendaftaran sendiri melalui website MOM (Ministry of Manpower). Saya memilih untuk mendaftarkan ART sendiri. Setelah disetujui oleh MOM, maka MOM akan menyeluarkan visa kerja bagi ART dan ART sudah bisa mulai bekerja secara legal.
Bagi yang ingin menggunakan Childcare, bisa saja menghubungi dan membaca informasi di laman berikut:
- Https://www.ecda.gov.sg
- https://www.sassymamasg.com/learn-childcare-centres-singapore
- https://pcf.org.sg/sparkletots/services
Nah untuk beasiswanya sendiri apakah untuk kuliah di NTU bisa menggunakan beasiswa lain selain LPDP?
Seperti halnya kampus world class lainnya, di NTU juga ada beasiswa dari kampus maupun dari pihak sponsor lainnya. Jika ingin mendapatkan beasiswa dari kampus, kita perlu memiliki track record yang stellar (seperti first-class honour dari S1 dan S2 atau best graduate dari kampus sebelumnya jika dari Indonesia, atau lulusan dari kampus ternama dunia).
Bagi yang track record pendidikan sebelumnya tidak terlalu outstanding seperti saya, maka akan sulit sekali mendapatkannya. Saya ikut test IELTS sampai 9 kali dan test Graduate Records Examination (GRE) sebanyak 6 kali hanya untuk memenuhi kriteria ambang batas dari NTU dan dari LPDP. Jadi bagi saya, pilihan terbaik adalah beasiswa LPDP. Meskipun saya juga harus jatuh bangun berkali-kali sebelum akhirnya atas izin Allah saya dapat LPDP jalur reguler. Ini juga selaras dengan usaha Nabitu.id yang sudah saya bangun di Indonesia.
Adakah tips untuk lolos LPDP yang bisa dibagi ke pembaca yang ingin mendaftar LPDP jalur reguler?
Tipsnya adalah melakukan persiapan dan tentunya berdoa. Saya sempat tidak lulus wawancara LPDP karena kurangnya persiapan. Di kesempatan selanjutnya, sebelum interview saya membuat daftar seluruh pertanyaan yang mungkin muncul dan membuat draft jawabannya. Lalu saya berlatih berkali-kali dengan keluarga, latihan dua kali dengan psikolog, lalu latihan sekitar tiga sampai empat kali dengan awardee yang sudah lolos.
Latihan dengan psikolog ini penting karena di wawancara LPDP, ada yang namanya probing dan seorang psikolog biasanya tahu mengenai hal ini. Psikolog akan membantu kita mencari alternatif cara menjawab dengan bahasa yang lebih baik dan tepat sesuai dengan substansinya.
Terakhir nih mbak Santi, adakah tips umum yang bisa dibagi ke pembaca baik itu cara menjaga hubungan baik dengan supervisor atau yang lainnya sekaligus closing statement ya mbak?
Menjaga hubungan baik dengan supervisor adalah dengan menjaga komunikasi dengan baik (fast response), selalu melaporkan progress dan perkembangan yang diusahakan signifikan di setiap progress meeting. Jika ada masalah atau disturbance di keluarga yang mengganggu pekerjaan, maka disampaikan kepada pembimbing dengan jujur. Pertahankan etos kerja yang baik karena supervisor biasanya akan senang dengan hal ini.
Budaya di setiap negara berbeda, karena di Singapura ini budayanya cenderung lebih cinta kerja, maka pembimbing saya pun lebih bahagia jika saya berikan progress riset dibandingkan kalau saya berikan buah tangan dari Indonesia. Hehe.
Perjalanan studi saya juga penuh tantangan. Saya pernah menjalani career gap year selama sekitar 4 tahun serta resign dari pekerjaan sebagai dosen, namun saya berusaha untuk tidak putus asa. Bagi ibu – ibu yang sedang menjalani gap year, tetaplah bersemangat dan berkarya, jangan pernah terpaku dengan pekerjaan offline. Kita bisa bekerja secara online sambil membersamai buah hati. Banyak sekali kemungkinan pekerjaan yang bisa dilakukan secara online di rumah. Selain itu, rezeki datangnya dari Allah, maka marilah kita minta tercapainya cita-cita kita dengan penuh kesungguhan kepada Allah. Libatkan Allah di setiap proses usaha. Jangan pernah menyerah. InsyaAllah jika kita gagal pun, kita tetap mendapatkan pahala atas usaha dan jerih payah yang kita lakukan.
*artikel ini merupakan hasil wawancara dan ditulis oleh Aini Khadijah dengan mbak Anbarsanti, di edit oleh Laksita Gama Rukmana, di publish oleh Chlara Yunita Prabawati untuk PhD Mama Indonesia. Mbak Santi bisa dihubungi via DM LinkedIn maupun Instagram (at)anbarsanti.

Masyaallah tulisannya bagus banget dan sangat ,emginspirasi, semoga saya yang kuliah di http://walisongo.ac.id/ bisa juga merasakan kuliah di luar negri seperti kakanya.
LikeLike