“Cerita Aik Ibu Rumah Tangga Sekolah Lagi Setelah Satu Dekade Sarjana”

Published by chlarayunita on

Salah satu kunci keberhasilan ibu-ibu yang bersekolah kembali adalah sebab mereka ibu rumah tangga. Mereka terbiasa melakukan beragam kerja dan menavigasi kebutuhan dan kerja rumah tangganya dengan kemampuan mencicil kerjaan, tepat waktu, dan berhemat. Itulah yang Ade Aryani Sari Fajarwati atau akrab dipanggil Aik, Ade, dan Fajarwati ini sampaikan saat berjuang menggapai jenjang doktoralnya yang cukup unik. Pasalnya Aik harus menunggu selama 12 tahun untuk melanjutkan sekolah kembali.

Aik menyelesaikan jenjang S1 dari Fakultas Seni rupa UNS pada tahun 2000. Selepas menggondol gelar sarjana, Aik tidak langsung melanjutkan pendidikannya ke jenjang pascasarjana. Ia memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya sebagai ibu rumah tangga yang seluruh aktivitasnya berfokus di rumah. Dulu, ia sempat bekerja sebagai desainer interior, tetapi sejak kelahiran anak-anaknya ia memilih untuk berkarya dari rumah. Aik dikaruniai empat putri dari pernikahannya.

Pada tahun 2012, tibalah masa ketika keempat putri Aik memasuki kehidupan sekolah semua, Aik kehilangan kesibukan rutin rumah tangga dalam jangka waktu yang panjang sejak anak-anaknya berangkat sekolah sampai kembali ke rumah. Ia justru merasa kelelahan karena energinya tidak terkuras seperti biasanya. Ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolah kembali. Aik menggondol gelar pascasarjana dari IKJ dan doctoral dari Culture Studies Fakultas Ilmu Budaya  UI.

Kepada PhD Mama Indonesia, Aik berbagi cerita bagaimana ia akhirnya melanjutkan kuliah 12 tahun sejak lulus S1. Ia merasa bersyukur bertemu dengan Sapardi Joko Darmono sehingga ia merasa bisa menjalani masa kembali bersekolah. Menurut Aik, keberhasilannya bersekolah diantaranya karena terbiasa berarisan panci. Target waktu dan jumlah uang cicilan setiap bulan sampai lunas membantu Aik bertahan dan beradaptasi dengan ritme belajar di jenjang lebih tinggi.

Apa yang Mendorong Aik kembali ke kampus ?

Ketika anak-anak sudah settle dengan kegiatan sekolah dari berangkat jam 6.30 pagi dan pulang jam 4 sore saya merasa kehilangan kesibukan rutin dalam jangka waktu cukup panjang. Saat bangun tidur, saya menjadi tidak memiliki rencana seperti, hari ini mau ngapain ya? Rasanya sangat melelahkan untuk kita yang sudah terbiasa terkuras energi dengan berbagai kegiatan sejak pagi hingga malam hari. Saya sudah mencoba aktif di kepengurusan RT/RW/Arisan gaul, dan lain-lain, tetapi ada sesuatu yang hilang saat berada di komunitas tersebut. Padahal apa yang saya kerjakan dalam komunitas tersebut untuk lingkungan sosial juga cukup besar.

Suatu hari, saat suami saya pulang dari pekerjaan dan mengajak ngobrol saya merasa seperti ada gap pembicaraan kami karena saya tidak memahami apa yang dia kerjakan dan mulai muncul percikan konflik karena sama-sama tidak bisa memahami kelelahan masing-masing.

Suami saya pada saat itu sudah menempuh kuliah paskasarjana selama setahun. Dulu, kami bertemu sebagai teman bicara saat kuliah yang kemudian menikah. Saat lulus S1, indeks prestasi saya ermasuk tertinggi di antara teman seangkatan sehingga dosen-dosen menawari posisi sebagai tenaga pengajar di UNS (saat itu sedang mencari dosen baru). Namun, setelah lulus di bulan Januari, saya langsung menikah bulan Maret dan ikut suami yang bekerja di Jakarta. Tanpa dialog dengan keluarga, saya menolak tawaran tersebut karena ingin mengikuti suami setelah menikah. Keluarga yang mengetahui hal tersebut setahun kemudian merasa menyayangkan mengapa kesempatan menjadi dosen ditinggalkan begitu saja padahal karir pegawai negeri dan ruang untuk mengekspresikan diri bisa didapatkan dengan menjadi dosen di UNS. Suami seperti merasa ada “hutang” dengan keluarga saya sehingga ia berusaha mencarikan lowongan menjadi dosen. Akan tetapi, tidak ada institusi di Jakarta yang mau menerima ibu-ibu minim pengalaman dan belum S2. Jadi, akhirnya dibulatkan tekad untuk mendaftar S2 meskipun saat itu tidak terlalu optimis untuk bisa diterima sebagai dosen lagi.

Apa tantangan yang Aik hadapi saat memutuskan bersekolah kembali?

Bisa dibayangkan ketidakmampuan seorang ibu rumah tangga yang tertinggal teknologi belajar selama 12 tahun. Tantangan pertama yang saya hadapi adalah teman-teman yang masih muda, energik, dan memiliki profesi pekerjaan yang mapan. Setelah 12 tahun, saya baru pertama kali dibelikan laptop sendiri. Saya ingat laptop tersebut bermerek Asus dengan warna putih. Laptop itu dibeli agar saya bisa mengetik paper dan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Saya pun belajar lagi memakai aplikasi mengolahan dokumen, menyimpan berkas, dan membuka tautan. Hal-hal yang sangat standar dilakukan teman-teman seangkatan.

Pertama kali saat wawancara S2,  saya juga sempat mengalami shock culture ketika melihat teman-teman perempuan yang merokok, berdialog dengan cara yang egaliter, dan model-model bergaul yang jauh berbeda dengan dunia emak-emak saya selama itu. Teman pertama saya adalah seorang perempuan dengan visual salihah nan cerdas. Ia memperkenalkan diri sebagai lulusan Seni Rupa ITB. Saat wawancara itu pula saya bertemu dengan teman-teman kerja suami: seorang art photography director yang terkenal. beberapa novelis, sutradara, dekan, dosen, dan lain-lain. Jujur, nyali saya ciut seketika.

Proses adaptasi dengan pengetahuan yang baru tentu saja dirasakan berat oleh siapa pun juga. Begitupun saya. Alhamdulillah, dalam setiap proses belajar, sayaselalu bertemu dengan guru yang baik. Adalah Sapardi Djoko Damono yang mengajari pelan-pelan bahwa semua mahasiswa memang diasumsikan semuanya pintar, tetapi kemampuan menulis mereka masih perlu dipertanyakan. Pada satu kelas, ada tugas penulisan untuk menjelaskan kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat pohon kelapa dalam bentuk deskriptif 500 kata. Saat evaluasi pertama itulah saya akhirnya menyadari bahwa teman-teman saya pada dasarnya juga mengalami kesulitan yang sama dengan saya. Mereka sama-sama belajar dan setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, termasuk latar belakang dan karakternya. Semua teman-teman bahkan lantas memanggil saya dengan sebutan “mak nyak” karena kebiasaan-kebiasaan saya yang khas ibu-ibu seperti mengingatkan mereka untuk mengerjakan tugas tepat waktu. Itu hal yang terbiasa saya lakukan sebagai ibu di rumah.

Saat memutuskan bersekolah lagi, adakah hal yang Aik takuti?

Tidak ada yang ditakuti seorang mahasiswa selain tampak bodoh. Hal ini juga saya rasakan ketika saya memutuskan lanjut ke S3 sekitar lima tahun setelah lulus S2. Otak yang stuck, tidak mengerti apa yang dijelaskan atau yang diinginkan pengajar; ini mimpi buruk buat ibu-ibu yang biasa mengejar “target” untuk anak-anaknya. Saat sekolah S3, saya ketemu para darah biru UI yang jago-jago. Rasanya saya ingin menggigit teman saat dia komplain nilainya A- sementara saya yang menerima nilai B+ saja sudah kegirangan. Takut tampak salah adalah masalah terbesar saya saat sekolah. Kalau bertanya terus, kok ya kebangetan. Tapi kalau tidak bertanya ya saya tidak paham. Untuk mengatasinya tentu saja akhirnya kita harus membaca secara ekstra untuk dapat setara atau setidaknya tampak setara dengan teman-teman sekelas.

Apakah ada yang menanggapi keputusan Aik bersekolah lagi dengan keraguan?

Ketika pertama kali melontarkan rencana sekolah S2, ibu mertua saya menyampaikan keberatannya. Saat itu saya sempat sedih mengapa ibu yang sangat dekat dengan saya tidak mendukung seperti bapak mertua yang yang langsung membelikan saya buku TOEFL dan alat perekam. Namun, sesaat saya memahami apa yang menjadi kerisauan seorang ibu dan nenek dari empat anak saya. Jika saya sekolah, bagaimana dengan anak-anak saya? Siapa yang akan mengurus mereka jika saya sibuk sekolah? Anak-anak masih kecil, masih SD. Ada faktor waktu, pikiran, dan biaya yang akan menyita perhatian saya. Selama 12 tahun sebelum sekolah, saya selalu mendampingi anak-anak. Namun, kembali lagi dengan alasan bahwa anak-anak saya telah ber sekolah semua dan ada pekerja rumah tangga yang bersedia melakukan kerja domestik dan perawatan, maka keputusan sekolah tetap dilanjutkan. Akan tetapi, ibu mertua memberi reaksi berbeda ketika saya sekolah S3. Beliau mendukung saya karena saya mampu menunjukkan semua keseimbangan antara sekolah dan bekerja. Bahkan, saat sidang S3 daring, ibu mertua saya menunggui saya dan sujud syukur saat saya dinyatakan lulus.

Setelah lama vakum dari dunia akademik, apa yang Aik persiapkan untuk kembali belajar di jenjang S2 dan S3?

Tidak bisa dipungkiri yang perlu dipersiapkan pertama-tama ketika memutuskan bersekolah kembali adalah kemampuan finansial. Sebagai ibu yang tidak bekerja pada sebuah lembaga, saya kesulitan untuk mendapatkan beasiswa. Menabung adalah strategi yang bisa kita lakukan. Bagian Tata Usaha (TU) di IKJ dan UI juga sudah hapal dengan nama saya karena kebiasaan saya mencicil bayar kuliah dan sering melakukan negosiasi terkait pembiayaan belajar. Selain SPP, ada juga dana untuk membuat penulisan, penelitian, dan lain-lain yang menjadi kebutuhan primer selama bersekolah lagi . Penghematan juga perlu yang dulunya saya suka jajan tas mahal ya musti ditahan. Kemudian, sebelum sekolah lagi, saya mulai perbanyak membaca jurnal dan artikel ilmiah. Kuncinya kita harus mencari tahu minat kita ke mana. Itu selalu jadi pertanyaan saat sekolah. Kita harus menyukai apa yang akan kita teliti karena ini akan kita geluti dalam waktu cukup panjang. Setelah itu, siapkan permasalahan teknis seperti: kalau saya sedang kuliah, siapa yang jemput anak, siapa yang ambil rapor, siapa yang menyiapkan makan dan lain-lain. Dukungan dari suami adalah basis penting dalam kesuksesan ibu bersekolah lagi. Jangan harap kita bisa sekolah dengan baik jika suami tidak merestui.

Apa Aik mengalami kesusahan tertentu selama bersekolah lagi?

Kesusahan terbesar yang saya alami adalah energi yang tidak semuda anak sekarang yang langsung lanjut sekolah. Selain itu, gagap teknologi sebagai emak-emak itu memang permasalahan klasik. Terkadang untuk menyiapkan presentasi saya dibantu teman-teman yang lebih muda karena colokannya beda-beda. Belum lagi berbagai sistem digital untuk mencari jurnal dan mengeceknya. Banyak yang harus kita pelajari. Oiya, awal yang paling susah adalah belajar membaca. Iqra. Kita sudah lama tidak membaca teks-teks panjang padahal saat kuliah lagi kita harus membaca minimal delapan jurnal per minggu, misalnya. Mata rasanya pengen tidur saja setiap ketemu jurnal. Itu yang harus kita lawan.

Apakah Aik memiliki cerita lucu selama bersekolah lagi?

Sebagai ibu-ibu yang biasa bertarget, kita jadi lebih memiliki nyali dan nekat dibandingkan teman-teman muda. Misalnya, jika dosen tidak ada waktu untuk ketemu ya kita tongkrongin dari pagi sampai selesainya kegiatannya. Antre belanja Tiptop (red: supermarket) saja kita jabanin, apalagi cuman nongkrongin dosen. Anak-anak saya sendiri adalah bagian dari teman penelitian. Suatu ketika anak-anak menyampaikan keluhan jika mereka merasa “dimanfaatkan” ibunya saat sering diajak ke restoran Warung Solo. Kebetulan penelitian S2 saya di situ. Mereka pikir ibunya baik sekali setiap bulan ngajak makan-makan di restoran Jawa. Mereka baru sadar kalau mereka diajak bukan karena mau makan enak, tetapi buat alasan ibunya untuk mewawancarai atau meneliti lebih rinci dan mendalam. Begitu juga saat melakukan penelitian S3 terkait PG (Pabrik Gula) Colomadu. Jika pulang ke Solo anak-anak selalu diajak ke sana. Setelah tiga kali ke sana, mereka curiga itu adalah bahan penelitian saya. Setelah itu, anak-anak tidak mau keluar dari mobil lagi jika diajak lagi.

Dalam proses kembali bersekolah, siapa pendukung Aik paling utama?

Pendukung utama saya sebenarnya adalah kakak pertama saya yang berkecimpung di dunia akademik. Dia melihat saya sejak kecil sebagai orang yang berambisi, high achiever, dan berprestasi di bidang ini. Akan tetapi, tentu saja pada praktiknya, tidak akan bisa berjalan tanpa persetujuan dan dukungan suami. Dia yang mengajari saya cara mengetik, mencari jurnal, teman diskusi, dan pembaca tulisan-tulisan saya Anak-anak sudah pasti karena mereka selalu mendukung apa yang orangtuanya lalukan. Namun, banyak yang belum tahu jika setiap akan melanjutkan sekolah lagi, yang saya ajak dialog adalah asisten di rumah yang mendampingi saya hampir 21 tahun. Sekolah mengambil waktu dan pikiran yang menyita urusan domestik. Dukungan mbak pekerja rumah tangga kami tentu akan berpengaruh dengan kelancaran studi saya. Sejauh ini pendapatnya selalu mendukung dengan segala konsekuensinya.

Apakah Aik pernah merasa ingin mundur dari proses bersekolah lagi?

Saya tidak pernah ingin mundur. Saya punya prinsip: selesaikan apa yang sudah dimulai. Penyemangat saya adalah menyelesaikan secepatnya dengan penderitaan seminimal mungkin.

Ada saran dari Aik untuk ibu yang akan memulai sekolah lagi?

Untuk level S2, atur waktu dan biaya untuk keluarga dan sekolah. Banyak membaca. Level S2 adalah sekolah paling gampang di antara semua proses belajar. Sedangkan S3 sendiri menjadi level belajar terberat sebelum S1. Jadi, siapkan diri untuk merendahkan hati bahwa kita pembelajar yang tidak mengerti apa-apa. Bahasa kami itu “ajar ndlosor”. Belajar menulis dulu dan coba terbitkan di jurnal. Itu menjadi pertimbangan universitas menerima kita juga.

Artikel ini ditulis oleh Alia K Prabandari, dan diedit oleh Ayu Rikza dan Chlara Yunita untuk PhD Mama Indonesia.

 


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: