PhD Mama Dewi: Anugerah studi PhD dibalut kisah LDR segitiga dengan anak dan suami
Halo mbak Dewi, boleh cerita Mbak, bagaimana perjalanan Mbak Dewi dalam menempuh PhD sejauh ini? Apa saja kemudahan dan kesulitan yang ditemui?
Hai mba Kanti. Perjalanan PhD saya di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) University secara resmi dimulai pada tanggal 02 Maret 2015. Saat ini adalah tahun ketiga perjalanan saya sebagai kandidat doktor. Dua milestone review seminar alhamdulillah telah terlalui dengan hasil yang memuaskan. Semoga kesuksesan ini terus konsisten sampai dengan dan setelah gelar doktor diperoleh, insya Allah, amin.
Kemudahan yang saya temui selama masa studi diantaranya: Pertama, saya mempunyai pasangan supervisor yang sangat peduli baik dari segi akademik maupun non akademik. Hubungan baik dengan supervisor diikuti dengan kemauan, kerja keras, ketekunan, kesabaran dan do’a merupakan kunci utama saya meraih sukses selama dua tahun ini. Dukungan positif dari kedua supervisor terhadap riset yang sedang dilakukan memotivasi saya untuk memberikan kontribusi yang terbaik.
Kedua barangkali adalah bahwa saya berkuliah di universitas dimana layanan perpustakaannya bisa dikatakan excellent. Saya dapat dengan mudah mengakses berbagai sumber referensi pendukung riset saya mulai dari buku sampai dengan jurnal international bereputasi koleksi terbaru ataupun lama. Akses sumber referensi ini tidak hanya dapat diperoleh dari RMIT library tetapi juga dapat dikirim dari berbagai universitas di Australia melalui document delivery service.
Ketiga, saya juga bisa mengakses layanan informasi dan teknologi (ITS) yang sangat up to date, responsive, dan supportive. Ketika saya bermasalah dalam hal teknis seperti komputer/laptop, password, software, koneksi, dan masalah teknis lainnya, maka saya tinggal menghubungi staf IT melalui telepon yang tersedia di ruang kerja, ponsel ataupun email dan mereka dengan cepat tanggap membantu mengatasi masalah yang kita hadapi baik secara langsung maupun jarak jauh.
Saya juga merasakan adanya dukungan finansial yang baik dari level school/college sampai dengan universitas. Dukungan finansial ini sangat signifikan dalam memberikan kesempatan bagi saya untuk dapat terhubung dengan berbagai expert yang mempunyai kaitan dengan kajian riset saya melalui konferensi internasional maupun lokal.
Di awal tahun 2016 atau tepat satu tahun perjalanan PhD saya, alhamdulillah saya mendapatkan HDR Travel Grant dari RMIT University ditambah dengan tambahan dana dari school untuk dapat mempresentasikan paper saya yang diterima dalam suatu IEEE conference di Las Vegas pada tanggal 11-13 April 2016. Perjalanan ini adalah perjalanan pertama saya ke konferensi internasional yang lokasinya di luar Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh RMIT University, sehingga bagi saya hal ini adalah anugerah yang luar biasa.
Sementara kalau tentang kesulitan yang saya temui selama studi diantaranya: Pertama, saya harus mempelajari ilmu baru, yaitu tentang kesehatan ibu dan janin. Hal ini tidaklah mudah bagi orang awam seperti saya. Akan tetapi berkat dukungan akses sumber referensi yang baik ditambah dengan koneksi dengan para ahli di bidang ini, kesalahpahaman atau misinterpretasi dapat diminimalkan.
Kedua, pada saat fieldwork atau penelitian lapangan, khususnya dalam hal birokrasi perijinan yang berjenjang dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupaten. Oleh karena riset saya melibatkan data retrospektif dan prospektif, maka pembatasan waktu rekomendasi penelitian yang singkat dari pihak pemerintah (per 6 bulan) mengakibatkan surat rekomendasi yang diberikan harus diperpanjang setiap semester sampai penelitian/pengambilan data selesai.
Keterbatasan fasilitas dan akses terhadap surat elektronik di beberapa kota/kabupaten mengakibatkan saya harus mengirimkan pesan singkat (sms) atau menelpon pihak terkait, bahkan melibatkan teman sekerja, teman sealumni, dan mahasiswa untuk membantu menyampaikan permohonan perpanjangan surat rekomendasi penelitian ini. Terakhir, pengumpulan data yang sumber informasinya tertulis secara manual atau belum tersedia secara lengkap melalui online/komputerisasi. Akibatnya perlu waktu yang tidak singkat untuk mentransfer data manual ke dalam versi elektronik.
Kenapa sih, Mbak, mau susah payah studi PhD?
Ya, melanjutkan studi doktoral memang telah saya niatkan sejak lulus dari studi master di RMIT pada akhir tahun 2008. Motivasi utama tentu saja karena tuntutan profesi sebagai dosen di Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kalimantan Selatan.
Meskipun sempat berpikir bahwa studi doktoral itu tidaklah mudah, motivasi dan impian yang cukup tinggi untuk menuntut ilmu di luar negeri membuat saya gigih untuk mendapatkan sponsorship untuk melanjutkan program doktoral ini.
Secara pribadi, sekolah di dalam maupun di luar negeri sama baiknya tergantung bagaimana kita bisa memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri masing-masing.
Akan tetapi, belajar di luar negeri mempunyai nilai tambah tersendiri karena selain menuntut ilmu akademik kita juga dapat mempelajari budaya negara lain dan mengambil hal-hal positif yang mungkin nantinya dapat kita terapkan dalam membangun Indonesia menjadi lebih baik, terutama dari sisi proses belajar mengajar.
Selain itu, sekolah di negeri orang memberikan pelajaran tersendiri tentang bagaimana kita saling menghormati dan toleransi tanpa membedakan SARA sehingga membentuk kedewasaan dalam pola berpikir kita.
Selain itu, saya melihat bahwa menjalani studi doktoral memberikan dampak positif terhadap pola pikir saya untuk menjadi lebih kritis berdasarkan bukti dan praktik ilmiah, serta dalam hal pemahaman arti riset yang sesungguhnya.
Bagi saya, studi PhD itu adalah sebuah proses pendewasaan tersendiri terutama dalam hal bagaimana menyikapi komentar/feedback baik itu dari supervisor, panels, peer-reviewers maupun examiners.
Perjalanan PhD ini juga memberikan pelajaran bagaimana menjadi peneliti yang bertanggungjawab dan menghasilkan penelitian yang diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Terkadang studi di luar negeri mengharuskan para PhD Mama merasakan berpisah dari keluarga untuk sementara waktu. Bagaimana pengalaman Mbak?
Ya, saya pernah merasakan hidup berjauhan dari keluarga. Pastinya tidak ada seorang isteri yang ingin berjauhan dengan suaminya dan tidak ada seorang ibu yang ingin berpisah dengan anak-anaknya. Akan tetapi, perjalanan hidup tidaklah selalu indah ya, Mbak. Saya harus rela berpisah dengan suami dan bidadari kecil saya, Kayana Hana Arifa (Kaye), di usianya 4.5 tahun.
Beberapa alasan yang mendasari long distance relationship (LDR) ini antara lain karena mempertimbangkan pekerjaan suami sebagai anggota POLRI yang tidak memungkinkan untuk ikut bersama saya selama 4 tahun. Prosedur perijinan yang sangat ketat ditambah loyalitas kerja yang sangat tinggi dari suami saya mengakibatkan kami berkomitmen untuk menjalani LDR ini.
Kemudian, tuntutan jam kerja suami dan kedua orangtua yang tinggi mendorong keputusan saya dan suami untuk menitipkan sementara Kaye di tempat adik kandung ibu saya (tante) di Jakarta sampai dengan Kaye masuk sekolah dasar.
Artinya LDR nya tak cuma dijalani oleh ayah dan ibu, tapi juga anak?
Betul, kami berpisah di tiga lokasi mbak, Kalimantan Selatan—Jakarta—Melbourne. Perasaan sedih, khawatir dan rindu selalu saya rasakan setiap hari. Akan tetapi dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih alhamdulillah saya dapat berkomunikasi dengan mereka setiap hari baik melalui voice call maupun video call.
Untuk mencegah perasaan galau ini saya juga mengimbanginya dengan kegiatan positif dengan menghabiskan waktu di kampus hari kerja dan bekerja paruh waktu di akhir pekan. Saya juga niatkan bahwa semua karena Allah SWT dan saya yakin bahwa ini adalah ketentuan terbaik dariNya.

Bersama suami tercinta yang selalu memberi dukungan penuh
Luar biasa perjuangannya Mbak, apa saja tantangannya selain perasaan sedih dan kangen seperti Mbak bilang tadi?
Ya, tidak sedikit orang yang bilang “Wah kasian banget anak dan suaminya ditinggal”, “Nggak kangen”, “Gimana dong, suaminya sendirian?”, “Nggak takut suaminya diambil orang?”. Parahnya lagi ada yang menyuarakan “Kaye seperti anak yatim piatu” seakan meniadakan arti kasih sayang penuh yang telah diberikan Oom dan Tante saya untuk Kaye sehingga dia bisa merasa nyaman dan saya pun bisa merasa tenang selama studi.
Meskipun mungkin mereka hanya bercanda tapi Mbak Kanti mungkin bisa bayangkan bagaimana perasaan saya saat itu, sedih banget Mbak. Saya mencoba untuk tetap sabar dan istighfar mendengar semua perkataan ini. Mungkin ini juga salah satu ujian hidup saya agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Di sisi lain, ketika saya pulang ke Indonesia untuk menemui anak dan suami dengan menggunakan fasilitas reunion airfare yang diberikan sponsor saya, Australia Awards Scholarships (AAS), saya juga mendapat ucapan “Kok pulang terus, emang sudah selesai ya studinya?” Masya Allah, serba salah ya, Mbak, jadinya, jenguk keluarga dikatain, tidak pulang apalagi hehe…
Kesimpulan saya, biarlah orang mau berkata apa selama mereka tidak mengalami apa yang saya alami maka selama itulah mereka tidak akan pernah bisa mengerti.
Saya juga sangat berterima kasih kepada Oom dan Tante saya yang telah ikhlas merawat dan mendidik Kaye selama kurang lebih 2 tahun perjalanan PhD saya sehingga saya bisa melewati masa-masa ini dengan mudah.
Bagaimana memberikan pemahaman pada keluarga agar diberi dukungan merantau untuk studi yang cukup lama?
Alhamdulillah kedua orang tua, mertua dan keluarga saya sangat mendukung keputusan untuk lanjut studi program doktor ini. Mereka mengerti sepenuhnya bahwa studi lanjut ini merupakan bagian dari pekerjaan yang saya tekuni. Terlebih dari suami, dialah orang yang selama ini selalu mendukung pekerjaan saya sebagai dosen dan selalu menyemangati untuk sekolah lanjut.

Kesempatan jalan-jalan bareng ketika Ibu berkunjung
Alhamdulillah, kami berdua saling support satu sama lain dan menghormati pekerjaan masing-masing.
Saya yakin restu dari kedua orangtua dan ridho dari suami inilah yang alhamdulillah memberikan kelancaran bagi perjalanan studi PhD saya selama ini, Mbak.
Kabarnya sekarang putrinya sdh menyusul ke Melbourne ya Mbak, pasti senang sekali ya bisa berkumpul lagi? Apa saja yang berbeda sekarang?
Iya mba, alhamdulillah Allah mengabulkan rencana saya dan mungkin inilah saat terbaik untuk kami berkumpul bersama lagi. Putri saya, Kaye, menyusul saya pada bulan Desember 2016 atau setelah 2 tahun saya menetap dan cukup stabil kondisinya di Melbourne. Sekarang, dia sudah terdaftar sebagai siswi kelas 2 di Moreland Primary School.
Tentu saja banyak perubahan yang terjadi pada pola rutinitas saya sekarang, selain sebagai seorang pelajar saya juga berperan sebagai seorang ibu. Hal ini tentunya tidaklah mudah akan tetapi juga tidaklah asing bagi saya karena ketika di Indonesia rutinitas sebagai isteri, ibu dan dosen selalu dijalani tanpa jasa pembatu rumah tangga.
Hal yang berbeda hanyalah ketika di Indonesia jasa penitipan anak ketika jam kerja relatif mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau, maka lain halnya dengan hidup di Melbourne dimana untuk mendapatkan jasa penitipan anak tidaklah mudah ditambah dengan biaya yang sangat tinggi jika tanpa subsidi dari pemerintah yaitu child care benefit (CCB) atau child care rebate (CCR).
Tidak semua orang bisa memenuhi kriteria untuk mendapatkan kedua jenis benefit ini. Alhamdulillah karena saya disponsori oleh AAS (Australian government), peluang untuk mendapatkan salah satu atau kedua benefit ini sangatlah mungkin meskipun memerlukan waktu yang tidak singkat.
Sebenarnya tanpa child care pun anak saya bisa karena usianya sudah 7 tahun (usia sekolah). Akan tetapi, kembali pada tujuan utama saya disponsori untuk ke Melbourne adalah tidak lain untuk menyelesaikan studi PhD tepat pada waktunya. Oleh karena itu, saya tetap harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan akademik yang memerlukan dedikasi waktu yang tidak sedikit dengan kebutuhan anak.
Supervisor saya tidak mengharuskan saya untuk kerja di kampus setiap hari bahkan beliau menyaranan saya untuk studi dari rumah dengan menggunakan fasilitas super dari “Mydesktop”, dimana saya bisa akses PC di ruang kerja kampus secara remote. Akan tetapi, bagi saya suasana kerja di kampus lebih memotivasi untuk bisa fokus daripada kerja dari rumah.
Alhasil, saya menitipkan Kaye setiap habis pulang sekolah, Senin hingga Jumat, ke after-school care (penitipan setelah jam sekolah) agar saya mempunyai waktu lebih untuk studi di kampus dan Kaye pun mempunyai aktifitas positif selama program after-school care.
Saya berusaha untuk membuat Kaye nyaman dan mempunyai pengalaman berharga selama tinggal di Melbourne. Meskipun saat libur sekolah maupun akhir pekan saya sering menghabiskan waktu di kampus bersama Kaye, saya tetap imbangi dengan mengajaknya pergi ke kolam renang, taman, perpustakaan, ke mall, ke event-event yang menarik, ke pantai, atau cuma sekedar nongkrong untuk makan di resto atau makan es krim bareng.

Komunitas Indonesia di Melbourne yang menjadi salah satu sumber dukungan untuk saya
Alhamdulillah, Kaye anak yang baik dan tidak pernah mengeluh terhadap kondisi dan situasi yang dia hadapi sekarang ini meskipun kadang dia harus menghabiskan waktu saat akhir pekan dan libur sekolahnya di kampus bersama Mamanya. Kadang saya bisa meneteskan air mata sendiri mba disaat melihat dia sedang tertidur pulas.
Saya sedih sekaligus bangga dengan Kaye. Meskipun sempat berpisah jauh dari saya selama 2 tahun, alhamdulillah dia tidak pernah marah ataupun mengeluarkan kata-kata tidak sopan terhadap Mamanya.
Bahkan dia bisa tumbuh menjadi pribadi yang mandiri serta mampu mengenal dan menerapkan nilai-nilai positif dalam kehidupan.
Alhamdulillah saya juga mempunyai teman-teman PhD yang sangat pengertian dan baik sehingga keberadaan Kaye di meja kerja saya di kampus tidak menimbulkan masalah bagi mereka bahkan mereka sering mengajak bicara, memberikan buku-buku, dan makanan ringan seperti cokelat atau biskuit untuk Kaye.
Boleh cerita sedikit tentang penelitian mbak Dewi dan manfaat praktisnya?
Penelitian saya berbicara tentang aplikasi statistik di bidang kesehatan, terutama untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan janin selama proses kehamilan sampai dengan persalinan. Penelitian ini bersifat multidisiplin/lintas sektor karena selain bidang statistik yang saya tekuni selama ini saya juga melibatkan bidang kesehatan yang sebelumnya belum pernah saya tekuni.

Kegiatan pelatihan bersama perwakilan para bidan se- Kalimantan Selatan untuk pencatatan dan perekaman data antenatal care lengkap
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membantu menurunkan angka kematian bayi baru lahir (neonatal) (AKN) di Indonesia akibat bayi prematur dan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Berdasarkan WHO 2015, kejadian prematuritas yang juga sangat berkaitan dengan BBLR di Indonesia meningkat sebanyak 3% antara tahun 1990 dan 2013 dan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama kedua terhadap kematian anak di bawah lima tahun.

Jadi turis sejenak di Las Vegas AS, seusai presentasi di sebuah konferensi
AKN di Indonesia ini masih belum mampu mencapai target nasional, WHO, MDGs 2015 dan SDGs 2030. Berdasarkan data Kemenkes (2013), AKN di 28 dari 33 provinsi di Indonesia atau sekitar 85% masih belum dapat mencapai target nasional (15 per 1.000 kelahiran hidup), termasuk provinsi Kalimantan Selatan (lokasi penelitian ini) yang merupakan salah satu dari 5 provinsi yang mempunyai AKN tertinggi di Indonesia (Maluku Utara, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Aceh).
Oleh karena itu, penelitian saya ini secara khusus mengkaji tentang pengembangan model pengendalian kualitas dan pejaminan mutu proses layanan antenatal di Indonesia. Layanan antenatal ini diyakini dapat berperan sebagai salah satu upaya preventif dalam mengurangi risiko bayi lahir prematur dan BBLR.
Pemeriksaan rutin terhadap karakteristik utama ibu dan janin yang berkontribusi terhadap pertumbuhan janin serta pendokumentasian hasil pemeriksaan yang lengkap dapat membantu deteksi dini komplikasi kehamilan dan ketidaknormalan tumbuh kembang janin.
Model deteksi antenatal ini diharapkan dapat menjadi alat bantu visual/petunjuk bagi para bidan sebagai praktisi kesehatan utama bagi kesehatan ibu dan janin di Indonesia bahkan bagi ibu hamil itu sendiri dalam mengenali secara dini komplikasi kehamilan dan ketidaknormalan tumbuh kembang janin sehingga mampu memberikan tenggang waktu yang cukup untuk pengambilan tindakan/rujukan yang cepat dan tepat berdasarkan data hasil pemeriksaan (evidence-based decision) sebelum bayi dilahirkan, terutama bagi ibu hamil yang tinggal di rural/remote area dimana ketersediaan layanan/fasilitas kesehatan dan tenaga ahli masih minimum.
Terima kasih atas waktunya, Mbak Dewi, peluk sayang untuk Kaye dan sukses selalu bersama keluarga tercinta!
2 Comments
Ika Yuni R · May 4, 2017 at 5:52 pm
Menginspirasi sekali
Sri murni · April 8, 2018 at 1:14 am
Ceritanya seru dan Inspiratif Mama DeWi.. Luar biasa… Sy pernah di posisi Mama DeWi saat ambil master di ANU 2011 lalu… Skrg sedang berencana untuk lanjut PhD….