Critical Social Research
Diskusi di ruang maya PhD Mama tidak jarang diisi tema-tema serius (selain tema-tema ringan seperti undangan ngopi bareng atau belajar membuat pastel dan siomay) seperti tentang beragam filosofi riset yang kami geluti dalam riset kami masing-masing. Di sini, saya akan berbagi tentang Critical Social Research, sebuah paradigma riset yang menurut saya relevan untuk semua disiplin ilmu sosial.
Critical social research membantu saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang konsep-konsep dominan yang dipakai untuk menjelaskan berbagai fenomena, baik dalam ranah akademisi maupun praktisi. Bagaimana sebuah fenomena didefinisikan, siapa yang diuntungkan dengan definisi tersebut, bagaimana ilmu pengetahuan tentang fenomena tersebut di produksi, untuk kepentingan siapa, dan seterusnya.
Saya juga dituntun untuk mengkritisi penggunaan apa yang disebut sebagai scientific method atau scientism, dimana metode kuantitatif sering menjadi “Tuhan” yang tak terbantahkan dalam mengorganisir konsep-konsep dan mendukung klaim atas kebenaran.
Metode kuantitatif yang berasumsi bahwa manusia adalah aktor rasional sering digunakan sebagai alat untuk memotret realita sosial yang demikian kompleks untuk direduksi ke dalam sebuah persamaan matematika. Apa implikasinya? Scientism berujung pada pengambilan kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat dalam memproduksi pengetahuan yang sarat kepentingan.
Contoh yang bisa saya berikan adalah topik penelitian saya sendiri yaitu tentang korupsi di Indonesia. Lewat metodologi yang berpayung dibawah critical social research, saya diarahkan untuk melihat baik-baik wacana dominan seputar (anti) korupsi. Bagaimana pengetahuan tentang korupsi diproduksi dan direproduksi oleh berbagai institusi? Mengapa korupsi begitu dibenci? Definisi apa yang dominan dipakai diluar sana? Siapakah yang diuntungkan dari definisi tersebut? Siapa yang dipojokkan?
Karena dimensi wacana tidak bisa dilepaskan dari dimensi praktis, saya pun dituntun untuk mengkritisi praktik (anti)korupsi misalnya dalam bentuk kampanye tata kelola yang baik dan kampanye tentang transparansi. Kedua kampanye ini telah melahirkan begitu banyak praktik (anti)korupsi tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Penggunaan indeks, modeling statistik dari yang sederhana sampai yang rumit, pemetaan, sistem pengawasan, lahir begitu masif dan diserap tanpa pertentangan berarti, padahal banyak yang mengungkap kecacatan dalam metode-metode tersebut dan bahwasanya indeks-indeks ini hanya melanggengkan ketimpangan posisi antara negara yang dikatakan ‘maju’ dan yang dikatakan ‘berkembang’, sebagaimana dirangkum oleh Davis et.al (2012). Telah lahir sebuah anti-corruption industry kata Sampson (2010) dan beberapa penulis lainnya. (bersambung)